tirto.id - Minuman energi dicampur susu merupakan salah satu menu populer yang disajikan oleh warung-warung kopi pinggir jalan. Pekerja berat meminumnya karena ia dipercaya mampu membangkitkan energi, mengusir lelah, ngantuk, dan membikin lebih fokus. Namun, di balik klaim manfaat itu, terdapat risiko buruk bagi kesehatan.
Adam J Berger and Kevin Alford mencatat seorang pria berusia 28 tahun pingsan seusai balapan motorcross pada tahun 2007. Ia dilarikan ke Rumah Sakit Port Macquarie, Australia, dan didiagnosis terkena serangan jantung. Sebelum balapan, pria tersebut menenggak minuman energi untuk membuatnya tetap terjaga.
Sayangnya, kombinasi alkohol, kafein, dan taurin dalam minuman tersebut membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Akibatnya, tekanan darah menjadi tinggi dan pembuluh darah menyempit karena konsentrasi darah mengental. Kondisi ini berlanjut dan mengakibatkan aliran darah ke jantung berhenti mendadak.
Selain pria tersebut, pada 2016 sebuah studi kasus dari BMJ Case Reports (2016) membeberkan dampak buruk konsumsi minuman energi. Selama tiga minggu, seorang pria berusia 50 tahun pekerja konstruksi meminum 4-5 gelas minuman energi. Setelahnya, si pria merasa tak enak badan, seperti terkena flu, tak nafsu makan, mual, dan muntah. Ia mulai panik ketika mendapati urinnya berwarna gelap dan kulitnya menguning.
Pemeriksaan oleh Jennifer Nicole Harb, dkk, tim dari University of Florida College of Medicine, menyatakan bahwa pria tersebut memang pernah terinfeksi virus hepatitis C. Namun, sang dokter menyimpulkan bahwa ia mengalami pembengkakan hati (hepatitis) akut yang diakibatkan konsumsi minuman energi berlebihan. Kandungan asam folat (B9), vitamin B12, B6, dan vitamin B3 menumpuk pada hati. Pemeriksaan via USG menunjukkan adanya jaringan parut di hati dan penebalan dinding kantung empedu.Sementara itu, Naren Gunja dan Jared A Brown pada 2012 meneliti 217 konsumen minuman berenergi. Sebagian besar responden penelitian melaporkan efek seperti detak jantung cepat, gelisah, tremor, dan gangguan sistem pencernaan. Ada yang terkena tanda-tanda toksisitas jantung atau neurologis serius, di antaranya halusinasi, kejang, aritmia atau iskemia jantung. Dan, ada 128 orang yang dirawat inap karena masalah-masalah kesehatan tersebut.
Bahkan, anggota militer di Amerika Serikat dianjurkan agar tak mengkonsumsi kafein lebih dari 200 mg setiap empat jam. Berdasarkan penelitian Robin L. Toblin, terdapat risiko kesehatan pada 1.000 tentara yang melakukan operasi di Afganistan di tahun 2010 yang menenggak minuman berenergi.
Mereka menemukan 45 persen personel militer mengonsumsi setidaknya satu minuman energi setiap hari. Sementara 14 persen lainnya minum lebih dari tiga per hari. Semakin banyak konsumsi minuman mereka, gangguan tidur terkait stres juga semakin meningkat.
Bagaimana Minuman Berenergi Bekerja?
Zat yang paling umum ditemukan dalam minuman berenergi adalah kafein. Anda tentu tahu bahwa kafein juga ditemukan dalam kopi. Zat ini juga ada teh hijau. Sepuluh menit pertama konsumsi zat ini mengakibatkan denyut jantung dan tekanan darah naik. Lalu 15-45 menit berikutnya, kadar kafein berada di puncak aliran darah dan membikin konsentrasi tubuh meningkat.
“Kafein itu licik, ia memberi kesegaran palsu dengan menghambat jalur kimia yang bertugas memberikan reaksi lelah pada tubuh,” kata Dr. Stuart Farrimond, peneliti ilmu pengetahuan dan makanan.
Zat ini mulai diserap dalam waktu 30-50 menit setelah konsumsi minuman energi. Hati merespon dengan menyerap lebih banyak gula ke aliran darah. Dalam waktu satu jam, efek kafein mereda dan terjadi kecelakaan gula. Tingkat energi pun mulai terasa menurun dan timbul rasa lelah.
Butuh waktu selama 5-6 jam untuk mengurangi 50 persen kadar kafein dalam aliran darah. Lalu, butuh rata-rata 12 jam bagi tubuh menghilangkan kafein secara total. Diperlukan waktu lebih lama untuk menghilangkan kafein pada orang dengan kondisi hamil, kerusakan hati, dan pengaruh obat-obatan.
Meski sudah hilang dari tubuh setelah 5-6 jam konsumsi, efek samping konsumsi kafein seperti pusing dan mual bisa bertahan sampai 12-24 jam. Farrimond menjelaskan gejala tersebut bisa bertahan hingga 9 hari, bergantung pada jumlah kafein yang dikonsumsi.
Kerena efeknya tersebut, Holly J. Benjamin, MD, FAAP, anggota komite eksekutif American Academy of Pediatrics (AAP) bidang olahraga dan kebugaran, menyatakan anak-anak tak perlu menelan minuman energi. Terlalu banyak kalori pada minuman energi menyebabkan obesitas dan karies gigi. Ia menyarankan agar anak-anak mengonsumsi jus atau susu rendah lemak.
“Untuk anak dengan aktivitas fisik rutin, air putih adalah yang terbaik,” pungkasnya.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani