Menuju konten utama
Inul, Ernest, dan Uus

Jangan Pernah Lupa Dunia Siber Itu Nyata

Kasus yang dialami oleh Inul, Ernest, dan Uus adalah gambaran bagaimana ruang siber juga tidak serta merta sebebas yang dikira.

Jangan Pernah Lupa Dunia Siber Itu Nyata
Massa yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) Sulawesi Tengah menyegel Rumah Karaoke Inul Vista di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (31/3). Penyegelan rumah karaoke yang terletak di Jalan Chairil Anwar Palu, milik artis Inul Daratista itu adalah buntut dari pernyataan Inul yang dinilai melecehkan ulama. ANTARAFOTO/Basri Marzuki/ama/17

tirto.id - “Saya pikir ini tidak nyata,” tanya Neo.

“Pikiranmu yang membuatnya nyata,” jelas Morpheus.

“Jika kamu mati di dunia Matrix, apakah kamu mati di sini?”

“Sebuah tubuh tidak bisa hidup tanpa pikirannya,” jelas Morpheus yang menekankan bahwa jika mati di dunia matrix, tubuh di dunia nyata juga akan ikut mati.

Bagian pembuka yang memperkenalkan dunia matrix dalam film The Matrix (1999) karya Wachowski bersaudara ini bisa menjadi penjelasan sederhana bagaimana cyberspace atau ruang siber bekerja.

Meminjam pemikiran David Bell di An Introduction to Cybercultures (Routledge, 2000), ruang siber memungkinkan dilakukanapapun di dalamnya. Ruang yang terlepas dari segala macam norma yang eksis di dunia nyata sehingga memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan suaranya tanpa perlu khawatir.

Sekilas, ruang siber seperti entitas yang berbeda dari dunia nyata, namun benarkah demikian?

Kasus yang sedang menyeret Inul Daratista bisa digunakan membantah premis tersebut. Setelah dilaporkan atas dugaan penghinaan terhadap ulama oleh Advokat Peduli Ulama (27/3), Inul kembali dilaporkan Majelis Ta’lim Jannah yang diketuai Ketua Umum Pengusaha Indonesia Muda (PIM), Sam Aliano pada 4 April 2017 .

Saat dilaporkan oleh anggota Advokat Peduli Ulama pada akhir Maret lalu, pernyataan Inul dianggap telah melecehkan ulama. “Sudah ada pemberitaan status dari Inul Daratista ya tentang penghinaan terhadap ulama yang mana fitnah-fitnah yang mereka bilang skype sex itu lho,” ujar Dahlia Zein, salah satu anggota Advokat Peduli Ulama saat di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya, Jakarta (27/3).

Sebuah pernyataan yang muncul dari ruang siber.Hal ini bermula saat Inul memposting foto dirinya berpose bersama Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di akun resmi Instagram miliknya. Dengan latar acara kontes dangdut, Ahok memang menjadi bintang tamu di mana Inul menjadi juri. Sambil menunjukkan salam dua jari Inul menulis, “Berfoto sama Bapak Gubernur beserta Wagub dengan jajarannya.”

Foto bersama Ahok ini kemudian mendapat reaksi dari para followers Inul. Tidak disangka, kebanyakan komentar bereaksi cukup negatif dengan menyerang sosok Ahok. Komentar pedas inilah yang kemudian memancing Inul dengan tulisan di komentarnya “…aku cuma bayangin yg pake syurban bisa mojok ama wanita sambil main sex skype itu piyee critane bisa jd panutan ????!”

Tak pelak komentar ini menyebar tak terkendali. Bahkan tagar #BoikotInulDaratista sempat mewarnai trending topic Twitter sejak 26 Maret 2017. Komentar-komentar Inul memang kemudian dihapus, namun aksi boikot ini pun sudah terlanjur menjadi aksi masal. Dimulai dari boikot stasiun televisi swasta Indosiar sampai dengan usaha karaoke milik Inul: Inul Vista.

Aksi yang bukan gertak sambal. Di Palu, Sulawesi Tengah, puluhan massa dari Forum Umat Islam (FUI) benar-benar menyambangi Inul Vista untuk melakukan penyegelan pada 31 Maret lalu. Menurut Imam Sudirman, Koordinator Aksi, apa yang dilakukan Inul merupakan bentuk penistaan terhadap ulama. Terutama karena pernyataan itu dilontarkan sesaat setelah Inul berfoto bersama dengan Ahok, yang bagi Sudirman sudah jelas statusnya sebagai penista agama[t2] .

Apa yang dialami Inul hampir mirip dengan yang pernah dialami oleh Ernest Prakasa. Komedian dan sutradara film ini juga mencicipi boikot saat menyinggung kehadiran Zakir Naik di kediaman Jusuf Kalla. Kunjungan pada 4 Maret 2017 tersebut segera direspons pria 35 tahun ini melalui akun Twitter-nya.

“JK dengan hangat menjamu Zakir Naik, orang yang terang-terangan mendanai ISIS. Sulit dipahami.”

Kicauan ini langsung mendapatkan respons negatif dari nitizen. Beberapa bahkan langsung menyebarkan tagar #BoikotTolakAngin, produk yang menggandeng Ernest sebagai brand ambassador. Ernest memang segera meralat kicauannya dengan—secara terbuka—melayangkan permintaan maaf dua hari kemudian.

“Saya tahu ini mungkin percuma. Tapi secara tulus saya mengaku salah karena tergesa-gesa percaya pada artikel hanya karena medianya cukup ternama,” kata Ernest di akun media sosialnya. Artikel yang dimaksud Ernest adalah Islamic Preacher Zakir Naik Gave RS 80,000 to ISIS Recruit di laman Dailymail.co.uk.

Beberapa memang mengeluarkan tagar #MaafkanErnestPrakasa menanggapi permintaan maaf Ernest. Sayang, kemarahan beberapa pihak atas kicauan Ernest masih sulit dibendung. Jusuf Kalla tidak menganggap bahwa kicauan Ernest cukup bermasalah secara hukum.

“Jika dia (Zakir Naik) membantu ISIS, sudah ditangkap di mana-mana, dia kan pergi kemana-mana. Tidak ada urusannya,” komentar Kalla soal tuduhan hubungan Zakir Naik dengan ISIS.

Sebelum Ernest dan Inul, Rizky Firdaus Wijaksana atau yang lebih akrab disapa Uus sudah lebih dahulu mengalaminya. Pada 21 Januari 2017, Uus mengomentari sebuah spanduk yang dipasang oleh massa Front Pembela Islam (FPI) bertuliskan, “Sehelai rambut Habib Rizieq Jatuh, Bukan Urusan dengan FPI! Tapi dengan Umat Islam.”

Spanduk ini merupakan dukungan terhadap Rizieq Shihab karena dugaan penistaan lambang negara atas laporan Sukmawati Soekarnoputri. Uus, melalui akun twitternya berkicau, “Shampo untuk Rizieq. Viralkan! Bantu Rizieq beli shampoo!” Tidak sampai di sana, bahkan Uus kembali berkicau, “Emang Rizieq ulama?” dan “Aku kira pulo doang yang gadung, ternyata ulama juga.”

Akibat kicauannya, Uus pun diberhentikan dari dua pekerjaannya sekaligus. Pembawa acara di INBOX di SCTV dan sebagai pelawak di Opera Van Java (OVJ) Trans7. Pada akhirnya selang dua hari dari kicauannya yang dianggap menghina ulama, Uus kembali berkicau, “Udah, udah. Besok aku sudah enggak di INBOX. OVJ pun sepertinya demikian. Terima kasih ya semuanya.”

infografik artis netizen

Kasus yang dialami oleh beberapa selebriti ini adalah gambaran bagaimana ruang siber juga tidak serta merta sebebas yang dikira. Walau bagaimanapun juga, ruang siber hanyalah representasi dari dunia nyata. Apa pun yang ada di dalamnya merupakan gambaran dan proyeksi dari ide-ide di dunia nyata. Konsekuensinya, hal-hal seperti aturan, norma, atau bahkan tingkatan-tingkatan sosialnya juga ikut masuk ke dunia siber dengan beberapa penyesuaian.

Contoh paling dekat misalnya tingkatan sosial yang ditentukan dari jumlah followers pada akun media sosial atau dari contoh laman kaskus yang memiliki beberapa level sosial di dalamnya. Dari Newbie, Kaskuser, sampai Kaskus Freak atau Made in Kaskus. Secara fisik bentuknya memang berbeda, namun secara konsep sama saja.

Sekalipun kelihatan terpisah dan tidak berbentuk secara fisik, pada titik tertentu beberapa hal di ruang siber acapkali malah lebih “nyata” daripada kenyataan itu sendiri. Beberapa hal yang tadinya tidak jadi masalah di dunia nyata, akan jadi masalah serius di ruang siber lalu merambat menjadi persoalan yang harus dihadapi si individu di dunia nyata.

Seperti kasus yang dialami Ernest maupun Uus, kebebasan berpendapat mereka mungkin tidak masalah ketika disampaikan di dunia nyata. Sebab, ruang nyata memiliki batas-batas geografis. Persebarannya yang terbatas kemudian malah menjadikan kritik-kritik mereka tidak akan jadi masalah karena publik yang tidak menyaksikan langsung tidak tahu.

Namun ketika disampaikan di dunia yang bebas sekat, maka semua orang bisa tahu. Semua pendapat bisa saling berbenturan. Dan dalam kasus paling berat, beberapa pendapat bisa dibungkam dan dipersoalkan sampai ke meja hijau.

Meminjam penjelasan Morpheus kepada Neo dalam film The Matrix, “sebuah tubuh tidak bisa hidup tanpa pikirannya,” dan tentu saja sebaliknya: sebuah pikiran atau ide, tidak bisa berdiri sendiri tanpa tubuhnya. Dan bagi ide yang dianggap bermasalah, tubuhnyalah yang kemudian harus jadi pihak yang bertanggung jawab.

Baca juga artikel terkait MEDIA SOSIAL atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS