tirto.id - “Seorang bocah dari Rosario Argentina mewakili semua bocah yang mengenakan baju bertuliskan namanya,” kata komentator asal Inggris Peter Drury. Kita semua tahu siapa orang yang dia maksud.
Saat itu, Piala Dunia 2014, Drury menyaksikan Lionel Messi mengambil tembakan bebas melawan Jerman. Tembakan itu datang di menit 120+ dengan kondisi Argentina tertinggal satu angka.
Messi menyeka keringat dari muka beberapa kali. Dia meyakinkan diri tak ada yang menghalangi matanya melihat gawang. Setelah peluit berbunyi dan beberapa langkah diambil, kaki kiri Messi yang telah mencetak ratusan gol itu menyalak.
Hasilnya membuat pendukung Argentina pulang dengan tangan kosong. Mereka tak percaya dengan kenyataan pahit yang akan segera terjadi: Argentina kalah di final.
“No, no, no, it’s got away, it's got away,” lanjut Drury ketika bola melambung jauh di atas mistar gawang yang dijaga Manuel Neuer.
Messi belum patah arang membawa Argentina menuju kejuaraan lainnya. Setidaknya, jika bukan Piala Dunia, dia harus membawa pulang Copa America dan Copa America Centenario yang menentukan tim nomor satu di Amerika Selatan. Kejuaraan ini selevel Euro yang menentukan tim nomor satu di Eropa.
Tapi tragedi berlanjut. Tiga kali dieliminasi Jerman dalam perhelatan Piala Dunia ternyata tidak cukup.
Dua kali final, dua kali pula Argentina melawan Cile–yang punya ujung tombak Alexis Sánchez, mantan rekan setim Messi di Barcelona. Sebagian besar pundit sepak bola memprediksi Argentina akan menjadi juara, terlebih Cile pernah takluk dengan skor 2-1 pada fase grup 2016.
Namun, seperti kena kutuk, Argentina kalah beruntun dalam situasi seperti melawan Jerman. Di tahun 2015 Messi memang berhasil menjebloskan bola ke gawang lawan, namun rekannya, Gonzalo Higuain dan Ever Banega, gagal. Argentina gagal angkat piala. Tahun 2016, giliran Messi yang tidak mampu mengeksekusi tendangan dari jarak 12 meter.
Pada tahun yang sama, rival abadi Messi, Cristiano Ronaldo, berhasil memenangkan Euro 2016.
Kekalahan ini menjadi pukulan berat buat Messi dan dia memutuskan selesai. Di umur yang ke-29, dia hendak mengakhiri karier sebagai pemain tim nasional. Keputusasaan ini dimaklumi oleh rekan-rekan yang lain seperti penyerang Sergio Agüero–yang juga menimbang pensiun dari tim nasional mengikuti jejak La Pulga.
“Saya telah berusaha sangat keras untuk menjadi juara bersama Argentina, tapi itu tidak terjadi. Saya tidak bisa melakukannya. Saya pikir ini yang terbaik untuk semuanya, untuk saya sendiri, dan semua orang yang menginginkan kemenangan untuk Argentina. Pilihan itu bagi saya sudah selesai, ini sudah menjadi sebuah keputusan. Saya mencoba berkali-kali (untuk menjadi juara) dan pada akhirnya itu tetap tidak terwujud,” ucap Messi dilansir The Guardian.
Keputusan Messi tidak disambut baik oleh Argentina. Maksudnya bukan tim nasional atau asosiasi, tapi orang-orang Argentina. Ratusan orang, termasuk Presiden Mauricio Macri dan Diego Maradona, berkumpul di monumen Obelisco yang ada di tengah ibu kota Argentina, Buenos Aires pada Juli 2016. Mereka meminta Messi untuk kembali; berpikir ulang perihal keputusannya pensiun.
Sebulan kemudian, Messi berhasil ditarik untuk merumput lagi bersama tim nasional.
Lima tahun berselang, Messi akhirnya berhasil membawa Argentina menjadi juara Copa America 2021. Setahun berikutnya, tepatnya Minggu (18/12/2022), Messi bersama Argentina meraih puncak: mengangkat Piala Dunia–sesuatu yang sudah diimpikan sejak lama.
Dalam sebuah wawancara, Messi ditanya apakah dia rela menukar lima Ballon d’Or (penghargaan pemain terbaik dunia) dengan Piala Dunia. Messi sempat berpikir sebentar. “Pertanyaan sulit,” katanya. “Tapi Piala Dunia adalah penghargaan tertinggi yang bisa kamu capai sebagai pemain. Jadi sudah pasti (saya memilih) Piala Dunia.”
Saling Gotong dengan “Pemain Muda”
Messi mendulang kegagalan beruntun di Piala Dunia sebelumnya di Rusia tahun 2018. Itu adalah kali keempat dia harus menelan pil pahit keganasan ajang sepak bola terbesar itu. Bahkan salah satu yang paling parah dibandingkan sebelumnya sebab Argentina gugur di babak 16 besar. Dan, sekali lagi, Messi menghilang dari tim nasional. Baru kembali lagi di tahun 2019 setelah hampir 9 bulan berselang.
Argentina sudah memulai regenerasi. Lionel kedua, Scaloni, menjadi manajer. Dia adalah bagian dari skuad 2006 atau ketika Messi terpuruk di Piala Dunia untuk kali pertama. Beberapa pemain senior seperti Federico Fazio, Lucas Biglia, Willy Caballero, Ever Banega, dan Gonzalo Higuain tidak ada lagi di tim. Meskipun dengan racikan baru, Argentina tetap meraih hasil buruk di Copa America 2019.
Di tahun 2021, wajah-wajah segar kembali mengisi tim nasional. Julián Álvarez yang waktu itu masih di River Plate dibawa masuk ke timnas senior pada umur 21 bersama Lisandro Martínez di umur 23. Kemudian ada Emiliano Martínez. Meski umurnya sudah 28, Martínez baru dipanggil ke timnas tahun itu.
Tahun 2022, Scaloni kembali menambah pemain anyar seperti Enzo Fernández dan Alexis Mac Alister di barisan pemain tengah. Scaloni benar-benar hanya menyisakan Messi yang merupakan veteran dari skuad terdahulu sebagai reguler–kadang sesekali bersama Angel Di María. Kelak, wajah-wajah baru inilah yang berhasil membantu Argentina juara Piala Copa America 2021 dan Piala Dunia 2022.
Pada pertandingan final kemarin, upaya untuk menguasai lapangan tengah dilakoni Fernández, Rodrigo De Paul, dan Mac Alister. Di akhir pertandingan, Opta Analyst mencatat 77 dari 91 operan Fernández berhasil mencapai kaki rekannya. Dia juga berperan aktif dalam perebutan bola dengan 10 kali men-tackle lawan. Di bagian depan, Álvarez melakukan “tugas kotor” Messi. Dia berkali-kali memberikan pressing pada Prancis.
Tiga pemain muda ini: Fernández, Mac Alister, dan Álvarez berkontribusi 21 kali dalam skema serangan.
Prancis yang tertekan di babak pertama melakukan dua pergantian pemain. Olivier Giroud dan Ousmane Dembélé yang selama ini jadi andalan lini depan Prancis bersama Kylian Mbappé diganti dengan Marcus Thuram dan Randal Kolo Muani pada menit 41.
Pergantian ini belum membuahkan banyak peluang bagi Prancis. Lini depan tetap tumpul dan Mbappé yang menjadi andalan tercatat hanya 11 kali menyentuh bola sepanjang babak pertama. Jalan pertandingan babak pertama hampir sepenuhnya dikuasai Argentina. Penguasaan bola adalah satu hal, tapi Prancis bahkan tidak bisa melesakkan satu tembakan pun.
Yang jadi tokoh kunci tak lain adalah Di María yang diturunkan Scaloni sejak awal. Dia berhasil membangun serangan secara konsisten dari sisi kiri. Di María mencatatkan 27 kali operan di babak pertama, hanya satu di antaranya yang gagal. Tingkat akurasi operan mencapai 96%.
Gol pertama Argentina di menit 23 didapat dari hasil penetrasi Di María dalam kotak penalti. Ia dijatuhkan oleh Dembélé dan Messi berhasil mengeksekusi tendangan dengan sempurna. Angka kedua Argentina pada menit 36 dicetak oleh kaki Di María sendiri.
Namun, di babak kedua, Prancis mengganas. Didier Deschamps memperkuat lini tengah dan depan. Pergantian pemain di menit 71 memasukan Eduardo Camavinga dan Kingsley Coman, sedangkan Théo Hernandez yang berfungsi sebagai bek dan Antoine Griezmann ditarik keluar.
Serangan Prancis yang hampir seluruhnya dibangun dari area Mbappé akhirnya berujung runtuhnya tembok pertahanan Argentina. Gol pertama didapat dari pelanggaran Nicolas Otamendi terhadap Kolo Muani di kotak terlarang. Mbappé yang jadi eksekutor berhasil melesakkan bola ke kanan gawang Martínez.
Gol kedua berhasil diraih Argentina setelah Messi kalah beradu bola dengan Muani. Bola kemudian diarahkan ke sektor Mbappé. Thuram membantu Mbappé dengan operan 1-2 dan tembakan voli Mbappé tak mampu diredam Martínez.
Argentina yang merasakan Prancis masih haus darah kemudian mengganti bek kanan Nahuel Molina dengan Gonzalo Montiel untuk menjaga serangan dari Mbappé. Mereka berhasil bertahan sampai perpanjangan waktu.
Untuk menambah daya dobrak, Argentina memasukan Lautaro Martínez di menit 103. Hasilnya, beberapa peluang serangan berhasil tercipta termasuk salah satunya tendangan keras Messi di menit 107–yang berhasil ditepis kiper Prancis, Hugo Lloris. Semenit kemudian, tembakan keras Lautaro Hugo Lloris kembali ditepis. Tapi bola pantul mendarat di orang paling berbahaya yang pernah dibayangkan Prancis, Messi. Dia memaksa bola masuk ke gawang. Inilah gol ke-100 Messi dari kaki kanannya.
Namun, untuk kedua kalinya, Prancis menolak tunduk. Di menit 116, bola tembakan Mbappé mengenai tangan Montiel. Wasit sekali lagi menghadiahi Prancis tembakan penalti yang berhasil diselesaikan Mbappé. Dia resmi mencetak hat-trick oleh Mbappe pada usia 24.
Tapi Mbappé belum unggul. Dia harus bisa membawa timnya melewati tembok tebal Emi Martínez. Meski sudah tiga kali kebobolan, Martínez berhasil membuat penyelamatan penting pada menit 120+3, menepis tendangan Kolo Muani yang bebas di depan gawang Argentina dan memaksa Prancis bersaing di babak adu penalti.
Argentina sudah bersiap sebelumnya. Mereka mencadangkan pemain bertahan Nicolás Tagliafico dan menggantinya dengan Paulo Dybala yang memiliki kans lebih besar untuk sukses memasukan bola dari titik 12 pas.
Empat pemain Argentina, termasuk Messi dan Dybala, menjebloskan bola dalam babak adu penalti. Sedangkan Emi Martínez kembali menjadi pahlawan Argentina dengan menggagalkan dua tendangan Prancis setelah sebelumnya juga membawa Argentina menang melawan Belanda dalam situasi yang serupa.
Sebagian orang percaya konspirasi bahwa Piala Dunia Qatar 2022 sudah diatur sedemikian rupa agar Messi bisa menang. Kepercayaan semacam itu sah-sah saja, tapi menuding adanya pengaturan terstruktur sama saja menafikan perjuangan pemain-pemain “muda” Argentina yang setengah mati berusaha membawa pahlawan mereka menggondol piala emas untuk pertama dan sangat mungkin terakhir kalinya.
The Greatest of All Times (GOAT)
Kurang lebih satu bulan lalu, pembawa acara asal Inggris, Piers Morgan, mewawancarai Cristiano Ronaldo. Dia membuat satu skenario: Portugal bertemu Argentina di final Piala Dunia. Ronaldo dan Messi sama-sama mencetak 2 gol. Lalu di menit 90+4, Ronaldo mencetak gol kemenangan.
“Apakah itu mimpimu?” tanya Morgan. “Itu terlalu bagus untuk menjadi kenyataan,” kata Ronaldo. “Tapi jika itu terjadi, aku akan selesai dengan sepak bola. Aku akan pensiun.”
Spekulasi ini hampir jadi nyata di final Piala Dunia 2022. Tentu ada beberapa perbedaan. Pertama, Portugal tidak sampai ke babak final. Kedua, Messi mencetak dua gol dan Mbappé tiga. Sayangnya, hat-trick Mbappé tidak berhasil membawa kemenangan.
Kalimat lain dari Ronaldo menjadi sangat relevan di sini. “Siapa pun boleh mencetak gol. Aku tidak peduli. Jika Portugal masuk final dan mencetak gol, meskipun itu kiper, aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia,” ucapnya. Messi bukan pencetak gol tunggal bagi Argentina tapi tohtim Tangomalah berhasil menang.
Menjadi juara dunia adalah target bagi dua orang dengan capaian sepak bola yang paling mentereng sepanjang sejarah. Ronaldo punya lima penghargaan Ballon d’Or dan Messi tujuh. Ronaldo mencetak 819 gol sepanjang kariernya dan Messi punya 793 gol. Keduanya juga bersaing dalam perebutan juara Liga Champions. Ronaldo punya lima piala, sedangkan Messi empat piala.
Yang tak kalah penting, Ronaldo telah memenangkan Euro dan Messi menyusul dengan memenangkan Piala Copa America.
Kedua figur ini dianggap pemain terbaik bukan hanya karena keahlian mengolah kulit bundar masuk ke jaring lawan, tetapi konsistensi. Bicara kemampuan mengolah bola, Diego Maradona pada masa keemasannya bisa jadi masuk dalam persaingan, tapi keahlian Maradona tidak mampu konsisten dalam setiap pertandingan.
Namun baik Maradona, Pelé, Ronaldinho, atau Zidane, sederet nama yang dianggap orang-orang sebagai pesepak bola terhebat di dunia punya satu kesamaan: mereka berhasil membawa negaranya jadi juara Piala Dunia.
Ronaldo dan Messi belum mencapai itu, setidaknya sampai Piala Dunia 2022 berada di tangan Messi.
Messi memang tak berhasil mencetak banyak gol ciamik dalam perhelatan Piala Dunia. Sampai pada hari ini, dia hanya mencatatkan 13 gol, tujuh di antaranya baru ia dapat tahun ini di umurnya yang ke-35. Dari tujuh gol tersebut, empat gol dilesakkan dari titik putih.
Namun peran Messi di lapangan untuk Argentina belum tergantikan.
Meski tak lagi muda, Scaloni tetap memakai Messi sebagai pemain utama dan dia selalu tampil penuh dalam semua pertandingan Piala Dunia 2022. Ini bukan tanpa alasan. Messi masih jadi ujung tombak terbaik Argentina dalam membangun serangan.
Dalam laga final melawan Prancis, Messi menyentuh bola sebanyak 86 kali dan terlibat dalam skema serangan sampai 10 kali–paling banyak di antara pemain mana pun malam itu. Empat dari 10 skema tersebut berujung tembakan ke gawang lawan. Messi menjadi pencetak gol kedua terbanyak di Piala Dunia sekaligus menjadi penyumbang operan yang menjadi gol (assist) terbanyak dalam Piala Dunia 2022.
Kontribusi Messi membuat FIFA mengganjarnya dengan Golden Ball Award yang menandakan sebagai pemain terbaik turnamen Piala Dunia 2022. Ini pertama kalinya seorang pemain menerima penghargaan Golden Ball sebanyak dua kali sepanjang sejarah–Messi sebelumnya mendapat penghargaan serupa di tahun 2014.
Sepanjang karier sepak bolanya, Messi terus saja dihantui oleh kekalahan Argentina dalam laga delapan tahun yang lalu melawan Jerman. Penghargaan pemain terbaik tidak bisa menghilangkan mimpi buruk kegagalan Piala Dunia.
“Kamu tahu berapa kali aku terus mengulang permainan final (Piala Dunia 2014) dan kesempatan-kesempatan yang kami dapatkan? Hasilnya bisa sangat berbeda jika saja kami bisa melesakkan satu dari sekian kesempatan itu,” kata Messi dalam sebuah wawancara tahun 2019 bersama Reuters.
Untuk memenangkan Piala Dunia, Messi melanjutkan bahwa dia “akan menunda masa pensiun sejauh yang aku bisa.”
Tahun ini adalah waktunya. Dia mencium trofi Jules Rimet di podium sebanyak dua kali. Kemenangan yang telah ia idam-idamkan. Messi sudah menunggu terlalu lama, 16 tahun sejak kemunculan pertamanya di Piala Dunia 2006. Dia menolak untuk menunggu lebih lama lagi.
Kemenangan Argentina ini sekaligus menjadi penyelesaian yang bisa diterima sebagian orang tentang perdebatan GOAT (Greatest of All Time) antara Messi dan Ronaldo. Messi punya satu hal yang tidak Ronaldo punya: Piala Dunia–dan itu akan sulit–bisa jadi tidak mungkin lagi didapat Ronaldo dengan umurnya yang sekarang menginjak 37.
Editor: Rio Apinino