Menuju konten utama

Jadi Murid Kesayangan Tak Selalu Menguntungkan

Fenomena guru pilih kasih kerap membikin iri siswa yang tak masuk hitungan disayang guru. Tapi sesungguhnya situasi kelas begini juga merugikan si siswa kesayangan.

Jadi Murid Kesayangan Tak Selalu Menguntungkan
Ilustrasi seorang guru memeluk muridnya. FOTO/Pichayada Promchertchoo

tirto.id - Banyak siswa berlomba-lomba untuk disayang guru. Mereka berusaha jadi anak yang penurut, tepat waktu mengumpulkan tugas, ramah, dan menonjolkan diri di kelas. Tentu saja ada kebanggaan jadi anak kesayangan guru. Biasanya, mereka diidentikkan sebagai anak pintar.

Fenomena siswa kesayangan umum terjadi. Siswa kesayangan biasanya siswa-siswa cerdas, pintar dalam pelajaran, rajin, penurut dan ikut aturan, dan pandai mengambil hati sang guru. Siswa kesayangan atau teacher's pet ada karena teacher favoritism atau guru pilih-kasih.

Menurut Z. Tal dan E. Babad dalam Teacher's Pet Phenomenon as Viewed by Israeli Teacher and Student (1989), 90 persen siswa yang mengikuti survei di Israel mengaku bahwa mereka melihat fenomena pilih-kasih di kelas. Para responden melihat fenomena ini secara negatif dan menggambarkannya sebagai hubungan pengistimewaan antara guru dan murid yang menghargai dan memuaskan gurunya, baik secara akademik maupun perilaku.

Meski guru biasanya mencoba menutup-nutupi bahwa ada yang spesial di antara seluruh muridnya, murid-murid itu tahu bahwa ada si-murid-kesayangan. Menurut HW Rickey dan MH Rickey dalam Nonverbal Behavior in the Classroom (1978), ada beberapa bentuk fenomena pilih kasih, mulai dari memuji seorang siswa di hadapan siswa lainnya lalu dengan isyarat non-verbal untuk menunjukkan rasa suka atau tidak suka.

Di Indonesia, fenomena siswa kesayangan juga menjadi hal lumrah. Siswa pintar umumnya dekat dengan guru. Syarat utama disayang guru harus pintar dalam mata pelajaran yang diampu sang guru. Padahal, semua siswa harus mendapatkan perhatian sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

Menurut Shahnila Laghari Baloch, dalam tulisan pendeknya "Teacher’s pet Syndrome is Bad For Students’ Self Esteem" pada The Sindh Times, sikap guru pilih kasih guru pada siswa tertentu berdampak buruk pada siswa lain. Ketika siswa-siswa yang bukan kesayangan ini tidak mendapat perhatian dari gurunya, mereka merasa direndahkan. Siswa akan berpikir mereka tidak bisa seperti siswa kesayangan guru tersebut dan akhirnya kehilangan kepercayaan dirinya dan memilih tidak maju dalam mata pelajaran yang diampu guru tersebut.

Pada dasarnya, menurut Baloch, setiap siswa tidak mungkin sempurna. Dalam pelajaran, ada yang jago dalam pelajaran dan ada juga yang lemah. Seharusnya, guru tak hanya memperhatikan siswa yang menonjol saja, tapi juga menguatkan yang lemah. Siswa pandai tentu harus diapresiasi, tapi siswa yang lemah juga harus diberi motivasi.

Infografik Kerugian Menjadi Siswa Kesayangan revisi

Sudah jadi cerita umum sekolah-sekolah di Indonesia jika sebagian guru hanya dekat dan memperhatikan siswa-siswa yang dianggap pandai secara akademisnya saja. Berjarak dengan siswa-siswa lain yang dianggap biasa-biasa saja, bahkan dengan siswa yang jadi juru kunci karena nilai-nilai akademisnya buruk, juga hal biasa. Di antara siswa-siswa yang jadi siswa kesayangan, ada juga yang enggan diistimewakan oleh guru pilih kasih di kelas dengan berbagai alasan.

Sudah jelas siswa-siswa yang biasa saja dan yang rendah nilai akademisnya dirugikan. Namun, yang jarang disadari siswa-siswa kesayangan pun sebetulnya juga dalam bahaya. Tidak jarang, rasa iri melingkupi siswa-siswa lain yang tidak disayang guru. Sebagian siswa kesayangan dijauhi teman-teman sekelasnya, kecuali jika siswa kesayangan ini mau berbagi ilmu. Tak jarang, guru berharap agar si siswa kesayangan ini mau mengajari siswa-siswa lain di luar kelas. Artinya ada waktu yang harus dikorbankan si siswa kesayangan ini.

Citra siswa kesayangan sebagai orang paling pintar dari yang lain membuatnya jadi dituntut lebih daripada yang lain juga. Anak kesayangan guru, dalam pikiran banyak orang harusnya tinggi nilai-nilai akademisnya juga selalu bisa mendapat sekolah maupun kampus bergengsi. Saat lulus, ada ekspektasi mereka bisa lulus ujian masuk jurusan bergengsi di perguruan tinggi favorit. Misalnya fakultas kedokteran.

Tidak jarang, mereka bisa “terpukul” jika gagal memasuki jurusan di kampus yang diinginkannya, sementara siswa yang dianggap biasa-biasa saja berhasil masuk ke jurusan di kampus bergengsi.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani