tirto.id - Ulin Yusron, salah seorang simpatisan pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin menyebarkan data pribadi seseorang yang dianggap sebagai pengancam Presiden Jokowi.
Ia menyebarkan data orang itu di akun media sosial miliknya. Namun, melalui akun Twitter @ulinyusron, ia meminta maaf karena dua orang yang dimaksud berbeda dengan yang ditangkap polisi.
“Pria yang Ancam Penggal Kepala Jokowi Ditangkap! Akhirnya. Mohon maaf kepada nama2 yang disebut dan keliru. Ini murni kesalahan menerima informasi dan mengolahnya. Terima kasih yang sudah meramaikan percakapan soal penggal sehingga telah menutupi demo," twit Ulin, Ahad siang, 12 Mei 2019.
Merujuk Pasal 58 Undang-Undang No 24 tahun 2013 atas perubahan Undang-Undang No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan [PDF], pembukaan informasi data kependudukan hanya bisa dilakukan instansi-instansi negara tertentu, contohnya Kemendagri dan Kepolisian.
Itu pun hanya dalam konteks pelayanan negara. Artinya, warga biasa seperti Ulin --meski dia termasuk selebritas di jagad Twitter-- jelas tidak termasuk di dalamnya. Sehingga apa yang dilakukan Ulin dengan menyebar data di media sosial itu melanggar UU Adminduk. Hal ini juga diakui Mendagri Tjahjo Kumolo.
Lalu, mengapa polisi belum memproses Ulin?
Ulin sebagai selebritas medsos pernah diundang ke Istana Negara bertemu Presiden Jokowi, pada 2 Februari 2016. Pertemuan tersebut membahas persoalan yang sedang aktif dibicarakan di media sosial.
Meski pelaku pengancam penggal leher presiden, Hermawan Susanto, telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, tapi Ulin tidak diproses hukum. Padahal, secara gamblang ia telah melanggar hukum sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Kependudukan.
Namun, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan bahwa untuk mengusut perkara Ulin Yusron harus menunggu laporan.
“Tetap ada yang melaporkan dahulu,” kata dia di Mabes Polri, Selasa (14/5/2019).
Meski ilegal akses bukan termasuk delik aduan, tapi Dedi berpendapat dalam hal ini perlu pendalaman. “Harus ada bukti yang sangat kuat oleh penyidik, sebelum penyidik melakukan langkah hukum selanjutnya,” kata Dedi.
Penyidik Bareskrim Polri maupun Polda Metro Jaya, kata Dedi, masih mengkaji perkara tersebut. Berkaitan dengan penggunaan data perorangan, polisi pernah menanganinya sejak tahun lalu. Pada 2019 ada satu kasus karena pelapornya merasa dirugikan.
“Dampak dari data itu ialah dapat digunakan atau disalahgunakan oleh pihak tertentu, sehingga mengakibatkan korban merasa dirugikan dan melapor ke polisi,” ujar Dedi.
Deputi Direktur Advokasi Lembaga Studi dan Advokasi (ELSAM), Andi Muttaqien menilai, dalam kasus ini semestinya polisi bisa menindak Ulin Yusron meski tanpa pengaduan masyarakat. Sebab, kasus ini tidak termasuk delik aduan.
“Karena perkara itu bukan termasuk delik aduan, jadi polisi bisa langsung menindak,” kata Andi Muttaqien ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (14/5/2019).
Andi mengatakan belum tahu pasti soal alasan polisi belum bergerak. Ia berpendapat mungkin saja masih banyak hal lain yang harus polisi kerjakan.
“Kalau pihak yang dirugikan tidak mengadukan, barangkali polisi akan menimbang urgensi dari proses pidana kasus Ulin ini, meski perkara itu bukan delik aduan,” kata Andi.
Namun, Andi tidak berani mengomentari ihwal dugaan kedekatan Ulin dengan pihak Istana Negara. Ia hanya menegaskan semestinya polisi tidak perlu menghiraukan ‘kedekatan’ itu. Dalam kasus ini, kata Andi, Ulin dapat dikenakan UU ITE dan UU Adminduk.
Selain itu, Andi menyarankan agar dibuat aturan yang jelas supaya tidak ada lagi masyarakat yang semena-mena menyebarkan data pribadi orang lain. Sebab, penyebaran itu bisa menimbulkan doxing.
Sementara itu, Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar menyebutkan Ulin Yusron bukanlah pegiat media sosial. Ulin dinilai selama ini berperan sebagai buzzer Jokowi.
“Ulin memang orang bayaran sana, campaigner Istana. Tidak ada yang aneh kalau dia tidak ditangkap, dia menerima fasilitas diskriminasi hukum,” kata Haris saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (14/5/2019).
Haris berpendapat hal ini sebagai bentuk dari penegakan hukum yang tidak sehat. “Kenapa yang bongkar data rahasia tidak diungkap, begitu ditindak hanya pilih-pilih orang,” kata Haris.
Haris menegaskan data pribadi merupakan data penting, sehingga polisi harus berani mengungkap pelaku pembocoran dan penyebaran data pribadi itu.
“Dia dapat dikenakan Undang-Undang Administrasi Kependudukan, sebab data itu adalah rahasia yang harus dijaga,” ucap Haris.
Hal senada diungkapkan ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti. Ia menilai wajar jika masyarakat memandang ada kedekatan Ulin dengan pihak Istana.
“Tidak bisa disalahkan juga jika orang-orang berpikir bahwa karena dugaan kedekatan inilah belum ada gugatan apa pun,” kata Bivitri.
Semestinya, kata Bivitri, polisi dapat menelaah terlebih dahulu apakah perbuatan Ulin meresahkan masyarakat. Jika terbukti meresahkan, maka polisi dapat bertindak tanpa perlu menunggu aduan.
“Seharusnya itu respons polisi, bersifat objektif. Tentu tak salah jika sekarang masyarakat berpikir dia dekat dengan presiden. Sah-sah saja [berpikir seperti itu]” kata Bivitri.
Bivitri menambahkan tidak perlu perubahan aturan atau peraturan baru untuk mengantisipasi hal serupa.
“Yang dilakukan [Ulin] itu pelanggaran, tidak perlu ada perubahan peraturan perundang-undangan. Tapi penegak hukum harus konsisten untuk menindaklanjuti kasus ini,” ujar Bivitri.
Terkait ini, Tirto mencoba menghubungi Ulin via telepon. Namun, usai reporter Tirto memperkenalkan diri, Ulin hanya berujar singkat “aku tak ada keterangan soal ini”.
Setelah itu, beberapa kali reporter Tirto mencoba menelepon Ulin, tapi dia tidak merespons lagi. Ia juga tidak membalas pesan singkat untuk diminta klarifikasi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz