tirto.id - Isi pasal 51 KUHP mengatur tentang perihal perintah jabatan yang terkait dengan hal-hal yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan pidana.
Indonesia memiliki sebuah induk peraturan yang mengatur urusan atau perkara pidana positif yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. KUHP sendiri merupakan landasan bagi penegakan hukum pidana yang digunakan untuk mengadili perkara pidana agar bisa melindungi kepentingan umum.
KUHP berisikan aturan-aturan mengenai tindak pidana yang bisa berdampak buruk terhadap keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan ketertiban umum. Sistem hukum pidana sendiri merupakan bentuk upaya terakhir atau ultimum remedium dalam penyelesaian perkara dan memiliki sanksi yang bersifat memaksa.
Pada zaman kolonial Belanda, terdapat sebuah produk hukum pada zaman kolonial Belanda yang bernama Wetboek van Strafrechtvoor Nederlandsch Indie (WvSNI).
WvSNI dibuat pada 15 Oktober 1915 dan baru resmi berlaku pada 1 Januari 1918. Di dalamnya masih terdapat unsur-unsur khas zaman kolonial seperti aturan tentang kerja rodi dan denda dalam bentuk mata uang gulden. WvSNI inilah yang menjadi cikal bakal dari KUHP
Setelah kemerdekaan, Indonesia pun mengubah WvSNI menjadi KUHP pada tanggal 26 Februari 1946 melalui UU No. 1 Tahun 1946 yang sekaligus menghapus unsur-unsur kolonialisme pada WvSNI.
KUHP terdiri dari 3 bagian atau buku. Buku 1 tentang Aturan Umum (Pasal 1-103), Buku 2 tentang Kejahatan (Pasal 104-488), dan Buku 3 tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Isi Pasal 51 KUHP Tentang Perintah Jabatan
Pasal 51 KUHP termasuk dalam Buku 1 tentang Aturan Umum dan Bab III mengenai hal-hal yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan pidana.
Pasal tersebut mengatur tentang ketentuan bagi seseorang yang melakukan perbuatan atas dasar perintah jabatan. Berikut adalah isi pasal 51 KUHP tentang perintah jabatan.
Pasal 51
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah mengira dengan itikad baik bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Pasal 51 ayat 1 tersebut menegaskan bahwa ketentuan perintah jabatan yang dapat menghapuskan pidana adalah perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.
Pasal ini terkait dengan kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan empat tersangka yaitu Bharada Elizer, Bripka Ricky Rizal (RR), KM, dan Irjen Pol Ferdy Sambo (FS).
Dalam pemeriksaan, Bharada Elizer mengeluarkan kesaksian tertulis bahwa ia merupakan penembak Yoshua dan menyatakan adanya instruksi dari atasan untuk menembak rekannya tersebut.
Menurut Menko Polhukam, Mahfud MD, kesaksiannya tersebut berpotensi bisa membuatnya terbebas dari jerat hukum pidana berdasarkan Pasal 51 KUHP.
Penulis: Muhammad Iqbal Iskandar
Editor: Yulaika Ramadhani