Menuju konten utama

Ironi Bisnis Sawit: Lahan Terus Bertambah, tapi Tak Patuh Pajak

Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan pemerintah memiliki data terkait kepatuhan pajak dan akan mempelajarinya bersama KPK.

Ironi Bisnis Sawit: Lahan Terus Bertambah, tapi Tak Patuh Pajak
Sebuah mobil melintas di perkebunan kelapa sawit Bumiarjo, Mesuji Raya, OKI, Sumatera Selatan, Sabtu (10/9). Pemerintah mulai merancang aturan untuk menghentikan sementara (moratorium) pembukaan lahan baru perkebunan kelapa sawit dan tambang. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada keanehan dalam penerimaan negara dari sektor kelapa sawit. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif melihat ada potensi masalah karena luas lahan terus bertambah, tapi bertolak belakang dengan penerimaan pajaknya.

Laode mengatakan dirinya memang belum dapat menyebutkan potensi pajak yang menguap, tapi ia memastikan setidaknya 40 persen perusahaan sawit diduga tak membayar pajak sesuai peraturan. Menurut Laode pada 2018 lalu saja, sawit bukan pembayar pajak terbesar, tetapi malah para BUMN.

“Pajak dari sawit bukannya meningkat malah menjadi menurun. Ketika apa? Ketika lahan sawit kita bertambah luas," kata Laode di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (16/7/2019).

Karena itu, kata Laode, KPK menaruh perhatian pada persoalan ini. Sebab, sumber daya alam kerap menjadi praktik nakal para pengusaha.

“Karena dia paling banyak korupsi. Di setiap [sektor yang] banyak uang, di situ ada potensi korupsi,” ucap Laode.

Peneliti fiskal dari Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet mengatakan kritik KPK itu bisa jadi ada kaitannya dengan persoalan penghindaran pajak oleh perusahaan berbasis komoditas. Paling tidak, kata Yusuf, ada dua langkah yang bisa ditempuh.

Pertama, transfer pricing yaitu pemindahan keuntungan ke perusahaan berstatus sister company di luar negeri yang tarif pajaknya lebih rendah. Alhasil keuntungan yang dikenakan pajak di Indonesia juga berkurang.

Kedua, kata Yusuf, thin capitalization, yaitu ketika suatu perusahana melakukan pinjaman yang berlebihan sehingga rasio utangnya meningkat tinggi. Melalui praktik ini, pembayaran pajak dapat menjadi lebih rendah karena rasio pemodalan perusahaan seolah-olah tergerus.

“Tidak boleh dilupakan ada kecenderungan praktik penghindaran pajak perusahaan besar. Ini bukan menuduh, melainkan rahasia umum,” ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto, pada Rabu (17/7/2019).

Kendati demikian, Yusuf mengingatkan ada lagi faktor yang cukup masuk akal, yaitu melemahnya kinerja industri sawit akhir-akhir ini. Ia mencontohkan saat ini harga kelapa sawit internasional berada di bawah 500 dolar AS per ton sehingga wajar bila akhir-akhir ini ini industri itu lolos dari pungutan sesuai aturan Permenkeu.

Belum lagi pertumbuhannya, kata Yusuf, juga berangsur melemah akibat sentiment ekonomi global yang tidak mendukung.

Namun hal ini, kata Yusuf, bukan berarti pemerintah bisa lepas tangan. Ia menilai pemerintah terutama Ditjen Pajak (DJP) tetap harus bertindak menyelidiki potensi pajak yang hilang ini.

“Harus ada tindak lanjut DJP ini, enggak apa di ekspose saja secara umum biar masyarakat dan perusahaan itu tahu bahwa DJP ini tidak main-main melakukan law enforcement bagi yang membandel,” ucap Yusuf.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan juga angkat bicara usai ia mengetahui data Bank Dunia bahwa 80 persen lahan sawit Indonesia ternyata bermasalah. Luhut membenarkan selain soal aspek lingkungan, perusahaan sawit bisa jadi tak patuh terkait pajak.

Tak mau ambil pusing, Luhut pun mau mereka dedenda agar pelanggarannya bisa “diputihkan”. Dengan demikian, perkiraan potensi pajak hingga 70 miliar dolar AS per tahun bisa segera diterima negara.

“Mereka harus bayar penalti kepada pemerintah sejak itu. Kita tahu berapa banyak lahan dia yang harus kita pajaki. Kalau dikelola dengan sistem pajak yang bagus, ada potensi 70 miliar dolar AS per tahun,” ucap Luhut kepada wartawan saat ditemui di Gedung Kemenko Kemaritiman, Selasa kemarin.

Catatan Yayasan Madani Berkelanjutan memastikan bahwa temuan KPK itu bukan omong kosong. Sebab, lembaga itu mencatat volume ekspor sawit terus mengalami peningkatan selama 2011 sampai 2015, tetapi kepatuhan wajib pajak badan sektor ini justru merosot dari 70 persen di 2011 menjadi 46 persen di 2015.

“Volume ekspor sawit itu meningkat dari tahun ke tahun. Tapi kok kepatuhan pajaknya menurun bertahun-tahun,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya usai diskusi bertajuk “Logika Sempit RUU Kelapa Sawit” di Jakarta, 10 April 2019.

Teguh pun mengkritik kebijakan Kemenkeu untuk memberlakukan insentif bagi pungutan sawit. Menurut dia, dengan tingkat kepatuhan seperti itu tak sebaiknya pemerintah memberi kemudahan bagi industri itu sehingga ia berkesimpulan kebijakan itu salah sasaran.

“Solusi harga anjlok masa pembebasan pajak. Ini masih banyak yang enggak bayar atau lemah pelunasannya, tapi dibebaskan dari cukai saat harga anjlok. Ini, kan, ngawur,” ucap Teguh.

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu, Robert Pakpahan mengatakan pemerintah senantiasa selalu mengawasi semua sektor. Terutama tingkat kepatuhannya.

Ia menyebutkan pemerintah memiliki data terkait hal ini dan akan mempelajarinya bersama KPK. Lagi pula, kata Robert, DJP saat ini juga tengah menangani persoalan pajak di lingkup batu bara, sehingga berbagai upaya masih dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini.

“Kami punya data dan kami dengan KPK (sedang) mempelajari bersama. Kami mau kedepankan dulu akurasi dan kepastian hukum,” ucap Robert kepada wartawan saat ditemui di Ritz Carlton SCBD pada Rabu (17/7/2019).

Baca juga artikel terkait HARGA SAWIT atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz