Menuju konten utama

Inovasi & Adaptasi sebagai Kunci Bertahan Hidup di Tengah Pandemi

Beberapa orang berhasil keluar dari situasi buruk saat pandemi Corona dengan berinovasi dan beradaptasi. 

Inovasi & Adaptasi sebagai Kunci Bertahan Hidup di Tengah Pandemi
Warga melintas di depan mural Lawan Corona di Jalan Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (26/3/2020). ANTARA FOTO/Moch Asim/hp.

tirto.id - Pandemi COVID-19 memporak-porandakan perekonomian seluruh negara yang terdampak, tak terkecuali Indonesia. Negara kita bahkan resmi memasuki resesi setelah pertumbuhan ekonomi minus beruntun. Berbagai perusahaan pun mengalami kesulitan keuangan.

Namun, di antara seluruh kepayahan itu, Glorio Yulianto justru berani mengambil risiko.

Bersama Kalvin Handoko, Glorio memberanikan diri berinovasi dengan membuat bisnis baru, Ubifresh. Melalui situs Ubifresh.id dan situs jual beli lain, ia menyediakan jasa belanja berbagai kebutuhan makanan langsung dari pasar. Berbeda dengan layanan serupa, produk ini benar-benar hanya fokus pada kebutuhan dapur, dari mulai daging, sayur, hingga buah-buahan. Ke depan, Glorio ingin membuat aplikasi khusus agar pemesanan bisa menjadi lebih mudah.

Barang-barang yang sudah dipesan hari itu juga dikirimkan oleh mitra Ubifresh atau melalui penyedia layanan antar barang. Ini berbeda dengan jasa penjual sayur online yang pengiriman barangnya memerlukan waktu sehari atau lebih.

Mudahnya, Ubifresh memangkas jarak, waktu, dan tenaga orang untuk belanja ke pasar di tengah pandemi.

Ide ini muncul karena Glorio sadar saat pandemi orang-orang sangat berhati-hati untuk belanja. Mereka khawatir tertular virus dengan pergi ke tempat yang pasti terdapat kerumunan orang, terutama di awal masa pandemi.

“Kami melihat belum ada online delivery yang belanja dari pasar untuk diantar ke rumah langsung,” kata Glorio kepada reporter Tirto, Jumat (6/11/2020). “Memang sesuatu yang menurut saya diperlukan.” Ia juga mengatakan, “sebagai entrepreneur, kami melihat ini suatu kesempatan.”

Dia memang begitu yakin bahwa pandemi mengubah tren belanja. Seluruh transaksi yang biasanya konvensional kini mulai ditinggalkan. Ia bahkan yakin tren ini akan bertahan setelah pandemi.

Sebelum mencetuskan Ubifresh, Glorio yang masih berumur di bawah 30 telah sibuk mengembangkan Ubiklan, platform layanan periklanan. “Mungkin orang lihat jauh banget dari iklan ke pasar, padahal kalau kita teliti, enggak juga.” Dari jaringan yang dibangun dari Ubiklan, ia bisa menjangkau pula para pedagang pasar. “Kami bisa jadi berkah, jadi penghubung antara pasar ke customer-customer rumah,” katanya.

Ubifresh memang resmi bekerja sama dengan para pedagang pasar. Sejauh ini mereka telah bekerja sama dengan 17 pasar di Jabodetabek dengan puluhan pemilik lapak. Target Glorio adalah seluruh pasar–kecuali supermarket--di Jakarta, kemudian Jabodetabek, baru seluruh Indonesia--jika memungkinkan.

Glorio enggan merinci berapa modal yang telah dikeluarkan untuk mengembangkan Ubifresh. Dia hanya mengatakan sejauh ini banyak menggunakan modal, termasuk untuk mengupah tenaga kerja, dari Ubiklan. Menurutnya, mengeluarkan modal pertama memang perkara keberanian belaka.

Pengguna Ubifresh sejauh ini mencapai ratusan orang, terhitung setelah diaktivasi pada Mei 2020. Awalnya pengguna layanan ini hanya kalangan sendiri. Seperti banyak pebisnis lain, ia pun mengaku awalnya cukup kesulitan mengedukasi masyarakat untuk terbiasa berbelanja dengan memanfaatkan teknologi.

Glorio mafhum bahwa di tengah situasi yang serba mendesak ini, siapa pun tidak semestinya menyerah, tapi sebaliknya: menghasilkan sesuatu dari kesulitan tersebut. “Kita enggak bisa cuma menunggu nasib. Kita harus menciptakan sebuah inovasi yang baru. We’ll never know what will happen in the future,” kata Glorio. “Tapi kita bisa mengatur apa yang kita plan hari ini buat besok.”

Ia ingin orang lain melakukan hal serupa. Dan tipsnya: “Enggak usah jauh-jauh atau muluk-muluk untuk membuat sesuatu yang jauh banget. Kita lihat apa yang kita punya atau kita pernah punya. Dari situ kita hubungkan titik-titik itu untuk bisa memulai sesuatu yang dari simpel atau sesuatu yang kita kasih pupuk atau beri air untuk itu bertumbuh.”

Glorio, pada akhirnya, satu contoh mereka yang tidak putus asa di tengah pandemi dan memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin. Hal ini selaras dengan pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate, saat membuka acara Startup Weekend COVID-19 Jumat (24/04/2020) silam.

“Pada saat pandemi COVID-19, kita diharuskan melakukan physical distancing, sehingga ruang digital memegang peranan yang besar. Hal tersebut tentu akan memberikan kesempatan yang begitu besar bagi startup Indonesia,” katanya.

Adaptasi sebagai Kunci

Sebelum pandemi, Dwi Apriyanto adalah seorang fotografer pernikahan yang per bulannya bisa mengumpulkan duit hingga Rp 30 juta. Semua itu tiba-tiba sirna. “Di tengah pandemi, banyak wedding yang ter-cancel atau ter-pending. Saat itu pula perekonomian saya sangat berubah,” kata Dwi kepada reporter Tirto.

Saat itulah ia bertransformasi. Kini orang sekitar mengenal Dwi sebagai penjual nasi kucing. “Pandemi membuat saya memutar otak karena tanggung jawab saya besar sekali,” ucapnya. Ia punya tanggungan satu istri dan dua anak, 5 tahun dan 2 tahun. Istri Dwi awalnya tidak bekerja dan hanya Dwi yang menjadi tulang punggung keluarga.

Kendati untung dari menjual nasi kucing hanya sekitar Rp 1,5 juta per bulan, bagi Dwi itu lebih baik daripada tidak menghasilkan apa-apa. Ia juga mengaku masih untung karena tak perlu menjual kamera, mobil, hingga rumah untuk bisa bertahan hidup seperti teman-temannya.

“Sekarang kebutuhan anak sudah tercukupi, hanya saja kebutuhan rumah yang memang agak susah,” katanya.

Situasi juga kian membaik setelah pemerintah mulai memperbolehkan acara pernikahan, meski tetap secara terbatas. Istrinya juga mendapatkan pekerjaan di salah satu rumah sakit daerah Bekasi. Kini bisnis nasi kucing itu terus digeluti sambil keduanya bekerja sesuai keahlian masing-masing.

Cicilia Dini juga berhasil memutar otak untuk beradaptasi dengan situasi. Ia awalnya karyawan paruh waktu di sebuah toko bunga dan akhir pekan menjadi perangkai bunga (florist) secara mandiri. Menggunakan bunga-bunga impor, Dini berupaya keras merangkai bunga di kamar yang ia sulap menjadi studio foto.

Usaha sampingan yang berjalan sejak Januari itu tidak banyak menghasilkan. Salah satu halangan terbesarnya adalah masalah pembagian waktu. Dini juga mengakui saat itu gaya merangkai bunganya tidak begitu orisinil--hanya meniru yang lain.

Saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia di bulan Maret, kala bisnisnya belum berjalan lancar, Dini malah diberhentikan oleh tempatnya bekerja. Karena harus menjaga jarak dan mematuhi protokol kesehatan, ia tidak dibutuhkan lagi di toko tempatnya bekerja. Penghasilan menjadi nol. Dini pun berusaha fokus meniti karier sebagai perangkai bunga profesional.

Masalah besarnya adalah, pandemi membuat pengiriman bunga impor menjadi mahal dan tersendat. Dini lantas mengakali menggunakan bunga lokal. Justru dari sini kemudian Dini tahu bahwa banyak bunga lokal yang bagus. Sambil berlatih menggunakan gaya rangkai sendiri, yang diadaptasi dari Jepang, ia mulai serius menggarap pekerjaan yang tadinya hanya sampingan.

“Kalau enggak ada pandemi ini gue enggak bakal kepikir pakai bunga lokal," kata Dini kepada reporter Tirto. “Gue [juga] enggak [akan] kepikiran punya desain sendiri.”

Dini mempromosikan produknya di Instagram dengan nama @kinimerekah. Ia juga serius memikirkan persoalan iklan dengan menggandeng jasa influencer. Meski hanya sekali, itu sudah cukup membuat karya Dini cukup dikenal. Pesanan mulai masuk dan Dini kini bisa mengumpulkan hingga Rp 5 juta per bulan.

Kebanyakan kliennya adalah mereka yang ingin mengirimkan hadiah kepada orang tersayang di tengah pandemi dan mereka yang ingin melakukan foto pra-nikah. Dengan sulitnya akses perjalanan, foto di studio menggunakan dekorasi bunga menjadi pilihan. Kliennya meningkat hingga sekitar 200 persen.

“Gue sudah ada orderan sampai Januari 2021 malah,” katanya bangga.

Dengan adaptasi semacam ini, Dini bahkan bisa mengajak temannya, seorang fotografer, untuk membantu foto pra-nikah di studio. Dia malah bisa sekaligus membuka jasa foto pra-nikah dan mulai diminta untuk mendekorasi acara nikah terbatas atau pun pernikahan di gereja.

Atas semua kemajuan ini Dini merasa percaya diri untuk terus menekuni profesi ini setelah pandemi selesai.

Semua pencapaian ini tentu sama sekali tidak pernah terpikir mereka bertiga. Apa yang dicapai Glorio, Dwi, dan terakhir Dini adalah bukti bahwa semua bisa terwujud asal kita dapat beradaptasi dengan situasi.

Baca juga artikel terkait ADAPTASI KEBIASAAAN BARU atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Bisnis
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino