tirto.id - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY menyambut baik keputusan Pemkot Yogyakarta mencabut moratorium izin pembangunan hotel yang diumumkan, Rabu (2/1/2019). Dengan keputusan ini, maka izin pembangunan hotel kembali dibuka pada tahun ini.
Sikap itu bertolak belakang dengan sikap PHRI pada September 2017, yang justru mengusulkan perpanjangan moratorium pembangunan hotel di Yogyakarta hingga 2021.
Saat itu, Ketua PHRI DIY Istidjab Danunagoro mengatakan moratorium perlu diperpanjang karena tingkat hunian masih berada di bawah angka ideal. Menurutnya, jika hotel ditambah, akan terjadi over supply kamar di Yogyakarta.
Perpanjangan moratorium hotel sebelumnya pernah dilakukan pada awal 2016. Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengeluarkan Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 77 Tahun 2013 bertanggal 20 November tentang Pengendalian Pembangunan Hotel.
Dalam Perwal itu, moratorium berlaku hingga Desember 2016. Akan tetapi, berdasarkan Perwal Nomor 100 Tahun 2017 (PDF) moratorium berlaku hingga 31 Desember 2018. Namun, PHRI meminta diperpanjang hingga 2021, lantaran rata-rata okupansi hotel di Yogyakarta hanya 55-57 persen, kala itu.
Berdasarkan data PHRI, pada 2014, misalnya, tingkat okupansi hotel bintang di Kota Yogyakarta sebesar 57,48 persen dan nonbintang (melati) 26,77 persen. Pada 2015, tingkat okupansi hotel bintang 57,64 persen dan melati 27,11 persen.
Angka ini masih di bawah okupansi ideal, yakni 70 persen. Jika pembangunan hotel terus dilakukan, PHRI cemas tingkat okupansi akan semakin menurun dan tentu saja bikin pengusaha hotel merugi.
Namun, PHRI langsung berubah sikap saat Pemkot Yogyakarta mengumumkan pencabutan moratorium izin pembangunan hotel, Rabu kemarin (2/12/2019).
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan izin pembangunan hotel kembali dibuka pada tahun ini. Hal ini ditandai dengan terbitnya Perwal Nomor 85 tahun 2018 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel.
"Kami di 2019 ini akan membuka [izin pembangunan hotel] tetapi sangat terbatas. Terutama [untuk hotel] bintang lima dan empat serta guest house atau penginapan," kata Heroe saat menggelar jumpa pers di Balai Kota Yogyakarta, kemarin.
Alasan pembukaan izin untuk hotel bintang empat dan bintang lima, kata Heroe, adalah untuk memenuhi tingginya permintaan kamar saat musim liburan.
"[Hotel] bintang lima dan bintang empat merupakan satu kawasan yang mampu menampung lebih banyak. Artinya dengan memaksimalkan jumlah bangunan yang tidak banyak, tetapi kapasitas kamar tetap memenuhi," kata Heroe.
Dalih PHRI DIY
Terkait perubahan sikap ini, Ketua PHRI Istidjab menyatakan pencabutan moratorium khusus hotel bintang 5 dan bintang 4 itu dampaknya tidak terlalu luas karena sektornya terbatas.
"Hotel bintang 1, 2, dan 3 tidak terkena imbasnya, karena penambahannya hotel bintang 4 dan 5 itu diharapkan membantu menambah jumlah wisatawan mancanegara khusus ke DIY karena mereka punya pasar sendiri dengan jaringan luas,” kata Istidjab pada reporter Tirto, Kamis (3/1/2019).
Selain itu, Istidjab beralasan penambahan hotel bintang 4 dan 5 akan membantu sekolah pariwisata di Yogyakarta untuk menyalurkan lulusannya.
Ia menambahkan, pembangunan hotel juga bisa menambah pendapatan Pemkot Yogyakarta dari sektor pajak. Imbasnya, kata dia, juga bisa meningkatkan ekonomi karena wisatawan yang datang berbelanja makanan dan barang.
Istidjab pun tak menampik pada 2017 lembaganya pernah mengusulkan moratorium diperpanjang karena pertimbangan okupansi hotel yang belum memenuhi angka ideal. Namun, ia berdalih okupansi yang dimaksud adalah untuk hotel bintang 1, bintang 2, dan bintang 3.
"Iya kami yang mengusulkan moratorium karena okupansi enggak bagus. Tapi Pak Wali ada wacana dibuka kerannya tapi bintang 4 dan 5 saja, tidak menambah yang kecil, besar-besar aja karena pemasarannya sudah punya jaringan luas," ujar Istidjab.
Menurutnya, moratorium dicabut juga untuk mempersiapkan bandara New Yogyakarta International Airport yang rencananya dibuka pada April 2019. Karena itu, kata Istidjab, akan ada penambahan tamu sehingga dibutuhkan penambahan hunian hotel.
Istidjab bahkan mengklaim okupansi hotel ring 1 Malioboro pada Desember 2018 mencapai 80 persen. Jika dihitung rata-rata dalam satu tahun, kata dia, maka okupansinya bisa mencapai 60 persen.
Berdasarkan data PHRI pada 2017, kata Istidjab, okupansi hotel bintang mencapai 67,76 persen dan hotel tidak berbintang 43,79 persen. Jumlah ini meningkat dibanding 2016, hotel berbintang okupansinya 66,67 persen sedangkan hotel nonbintang 42,15 persen.
Oleh sebab itu, kata dia, penambahan hotel baru hanya dilakukan untuk bintang 4 dan 5 saja. Sementara hotel bintang 1, 2, dan 3 serta guest house tidak ditambah.
Istidjab memprediksi penambahan hotel pada 2019 mencapai 10-15 persen untuk melayani target satu juta wisatawan. Pembangunan hotel, menurutnya akan dipusatkan pada ring 1 Malioboro dan ring 1 Mangkubumi di mana hotel-hotel itu mencapai okupansi 80 persen pada bulan ini.
Berdasarkan data 2017, jumlah hotel bintang 5 di DIY mencapai 9 hotel dengan jumlah kamar 1.873 dan hotel bintang 4 sebanyak 18 dengan jumlah kamar 2.516. Deretan hotel bintang 5 di DIY, yaitu Hotel Melia Purosani, The Phoenix, Royal Ambarrukmo, East Parc, Sheraton, Hyatt, Tentrem, Grand Aston, dan Marriot.
Namun demikian, penambahan hotel di Yogyakarta ini dikhawatirkan akan menambah kemacetan di kota pelajar ini. Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, Nur Yuwono mengatakan potensi kemacetan akibat penambahan hotel pasti ada, sebab tanpa ada hotel pun Yogya sudah mulai macet.
"Potensi pasti ada, semua pasti ada potensi itu. Enggak ada hotel baru pun Yogya macet. Karena ada potensi, maka solusi juga harus ada," ujarnya pada reporter Tirto.
Menurut Yuwono, salah satu solusinya adalah hotel yang dibangun harus punya tempat parkir yang cukup sehingga bus atau mobil yang datang tidak parkir di tepi jalan. Selain itu, kata dia, Pemkot Yogyakarta juga perlu menyediakan kantong parkir lebih banyak.
Yuwono menilai, jika jumlah wisatawan ditargetkan bertambah, maka harus dipikirkan pula solusi kemacetan akibat penambahan jumlah itu.
Pencabutan moratorium, kata Yuwono, mestinya sudah mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan, salah satunya soal kemacetan. Apalagi, jumlah kendaraan yang datang ke Yogyakarta akan terus bertambah sehingga pemerintah perlu memikirkan cara yang lebih luas untuk mengatasinya.
Salah satu caranya bisa dengan meningkatkan kualitas transportasi umum, menambah kantong parkir, memperbaiki trotoar sehingga wisatawan nyaman berjalan kaki.
Ia pun meminta hotel-hotel yang akan dibangun untuk memiliki kajian analisis mengenai dampak lalu lintas. Hal itu, kata dia, tak hanya berlaku untuk hotel, tapi juga mal, pusat perbelanjaan, dan bangunan-bangunan yang menarik banyak orang.
Sebaliknya, Ketua PHRI Istidjab justru mensyukuri potensi kemacetan yang akan terjadi. Alasannya, kemacetan justru menjadi tanda banyak wisatawan yang mengunjungi Yogyakarta.
"Kalau macet, ya itu kami syukuri. Kalau enggak macet pasti hotel sepi. Kalau macet, kan, kami bersyukur, hotel ramai, toko ramai. Kalau lagi macet orang Yogya enggak usah ke Malioboro, biar saja dari luar Yogya yang ke Malioboro,” kata Istidjab.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Abdul Aziz