Menuju konten utama

Inilah Tsunamigenic: Gempa Penyebab Tsunami seperti di Palu

Umumnya, hanya gempa dengan ukuran besaran permukaan gelombang 7,0 ke atas dapat menimbulkan tsunami.

Inilah Tsunamigenic: Gempa Penyebab Tsunami seperti di Palu
Ilustrasi Tsunami. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Gelap, sunyi dan mencekam. Itu adalah suasana kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9/2018), setelah gempa berkekuatan 7,4 skala Richter (SR) dan tsunami dengan tinggi mencapai dua meter menerjang kota tersebut.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa gempa pertama di kawasan Kabupaten Donggala, Palu, terjadi pukul 14.00 WIB dengan kekuatan gempa berkisar antara 5,9-6 SR.

Sekitar pukul 17.02, kekuatan gempa kemudian memuncak menjadi 7,7 SR. Titik pusat gempa berada di kedalaman 10 kilometer dan berjarak 27 kilometer dari Donggala. BMKG kemudian memperbarui data kekuatan gempa menjadi 7,4 SR.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, lima menit setelah puncak gempa terjadi, BMKG kemudian mengeluarkan peringatan dini tsunami. Pukul 17.22, gelombang tsunami pertama dengan ketinggian mencapai 1,5 meter kemudian menerjang bibir pantai kota tersebut.

Tsunami kali ini bukanlah yang pertama kalinya di Sulawesi. Seperti dilansir Tempo, BMKG, pernah mencatat terdapat tiga kali peristiwa tsunami di pulau tersebut. Yang pertama terjadi pada 11 April 1967 ketika terjadi gempa di Tinambung. Peristiwa ini memakan korban 58 jiwa, 100 orang luka-luka, dan 13 orang hilang.

Peristiwa kedua terjadi pada 23 Februari 1969 di Majene yang menewaskan 64 orang, menyebabkan 97 orang luka-luka. Yang ketiga tejadi di Ulaweng Mamuju pada 13 April 1993. Pada peristiwa ini tidak terdapat korban jiwa.

Penyebab Tsunami

Seperti dituliskan dalam buku Tsunami: The Underrated Hazard (2014) karya Edward Bryant, terdapat beberapa fenomena alam yang dapat menyebabkan tsunami. Aktivitas gunung berapi dan jatuhnya asteroid atau komet termasuk di dalamnya.

Namun, penyebab paling umum dari tsunami adalah adanya aktivitas seismik atau gempa di bawah laut. Gempa yang menghasilkan tsunami dapat disebut dengan istilah gempa bumi tsunamigenic.

Lebih lanjut, dalam publikasi ilmiah dari Kenji Satake dan Yuichiro Tanioka berjudul "Sources of Tsunami and Tsunamigenic Earthquakes in Subduction Zones" (1999) gempa disebut dengan ‘gempa tsunami’ jika gempa itu menghasilkan tsunami yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan dari gelombang seismiknya.

Masih dari catatan Edward Bryant, dalam dua ribu tahun terakhir, gempa bumi telah menghasilkan 82,3 persen dari semua tsunami yang telah terjadi di Samudra Pasifik. Meski demikian, perlu dicatat bahwa tsunami merupakan kejadian langka. Sebagian besar gempa bawah laut tidak menghasilkan tsunami. Antara 1861 dan 1948, terjadi lebih dari 15.000 gempa bumi, tapi "hanya" menghasilkan 124 tsunami.

Di sepanjang pantai barat Amerika Selatan, yang merupakan salah satu pantai paling rentan terhadap tsunami di dunia, 1.098 gempa lepas pantai hanya menghasilkan 20 tsunami. Dari rendahnya frekuensi terjadinya tsunami tersebut dapat mencerminkan fakta bahwa sebagian besar tsunami terjadi dalam amplitudo yang kecil dan tidak terdeteksi.

Perlu diperhatikan, dua pertiga dari tsunami di wilayah Samudra Pasifik yang sifatnya merusak biasanya disebabkan oleh gempa bumi yang memiliki permukaan gelombang dengan besaran 7,5 SR atau lebih. Sebagian besar dari gempa bumi tersebut merupakan peristiwa teleseismik. Buku tersebut mencatat, satu dari setiap tiga peristiwa teleseismik ini diproduksi pada abad ke-20 oleh gempa bumi di Peru atau Chili.

Seperti dilansir International Tsunami Information Center IOC-UNESCO, sejauh ini, tsunami yang paling merusak dihasilkan dari gempa bumi yang besar dan dangkal, dengan pusat gempa atau garis patahan di dekat atau di dasar lautan.

Kondisi tersebut biasanya terjadi di daerah yang ditandai oleh subduksi tektonik di sepanjang batas lempeng tektonik. Tingginya seismisitas atau frekuensi gempa di daerah tersebut disebabkan oleh tumbukan lempeng tektonik.

Ketika lempeng-lempeng ini bergerak melewati satu sama lain, mereka menyebabkan gempa bumi besar, yang memiringkan atau menggeser area besar di dasar samudera mulai dari beberapa kilometer hingga sejauh 1.000 km atau lebih.

Perpindahan vertikal yang mendadak di atas area yang begitu luas itu kemudian berdampak pada permukaan laut, menggerakkan air, dan menghasilkan gelombang tsunami yang merusak.

Gambarannya adalah seperti Anda melayangkan tinju di dalam air ketika berendam di kolam renang. Tinju itu tidak menembus permukaan air, tapi mengganggu permukaaannya dan menciptakan gelombang. Gelombang inilah yang serupa dengan gelombang tsunami.

Infografik Tsunami Dalam Catatan sejarah

Secara umum, hanya gempa dengan ukuran besaran permukaan gelombang 7,0 SR ke atas yang dianggap dapat menciptakan tsunami. Meski demikian, terdapat pula gempa-gempa kecil yang dapat menyebabkan tsunami. Bryant mencatat, banyak gempa bumi dengan momen seismik sedang dan kecil dapat menghasilkan tsunami besar yang menghancurkan.

Dalam bukunya, ia menyebut gempa bumi Sanriku di Jepang pada 1896 sebagai salah satu contoh gempa tipe kecil ini. Gempa Sanriku tidak dirasakan secara luas di sepanjang garis pantai yang dekat dengan gempa tersebut. Namun, tsunami menghempas wilayah tersebut 30 menit kemudian. Dengan tinggi mencapai 30 meter, tsunami itu memakan korban jiwa hingga 27.132 orang.

Sementara itu, berdasarkan database tsunami dari Pusat Data Geofisika Nasional NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) 2013, sebanyak 50 persen dari gempa dengan besaran permukaan gelombang di bawah 7,1 SR telah menciptakan tsunami yang dapat diidentifikasikan.

Database NOAA itu mencakup 1684 tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi sejak 2.000 tahun SM. Bryant menuliskan kejadian-kejadian itu sebagai sebuah anomali.

Yang Sebaiknya Dilakukan Ketika Tsunami Menerjang

Dalam video amatir yang merekam kejadian sesaat menjelang Tsunami menerjang Palu, tampak banyak orang yang menunggu di atas gedung bertingkat di dekat bibir pantai. Mereka kemudian panik ketika melihat gelombang tsunami menerjang daratan.

Pusat Krisis Kementerian Kesehatan menuliskan beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum dan pada saat tsunami terjadi. Pertama, segera jauhi pinggir pantai ketika Anda melihat air laut surut secara mendadak. Ini merupakan tanda krusial akan potensi tsunami dan harus benar-benar menjadi perhatian.

Yang kedua, usahakan jangan melihat ke arah pantai untuk memastikan terjadinya tsunami. Jika gelombang air laut sudah terlihat, segera selamatkan diri. Ketiga, cari tempat aman seperti daratan yang lebih tinggi dan tetap tinggal di sana hingga Anda dapat memastikan tsunami benar-benar tidak terjadi. Keempat, tetap memantau berita dari sumber-sumber yang dapat Anda peroleh.

Setelah terjadi tsunami, jauhi reruntuhan di dalam air, sebab hal ini sangat berpengaruh terhadap keamanan perahu penyelamat. Utamakan pula keselamatan diri sendiri dan jangan pikirkan barang-barang milik Anda. Kemudian, tetap berada di tempat yang aman serta tunggu adanya informasi dari pihak berwenang jika situasi telah benar-benar aman.

Selain langkah-langkah di atas, penting pula untuk memahami status peringatan dini yang dikeluarkan oleh BMKG. Seperti dikutip BBC, status WASPADA berarti tinggi tsunami kurang dari 0,5 meter. Warga dianjurkan untuk menjauhi pantai dan sungai. SIAGA berarti tinggi tsunami berkisar 0,5 hingga 3 meter. Pemerintah diharapkan mendorong warga untuk melakukan evakuasi.

Yang paling berbahaya adalah status AWAS: tinggi tsunami lebih dari 3 meter. Evakuasi menyeluruh warga dilakukan secara tegak lurus dari pinggir pantai. Pemerintah juga wajib menginformasikan jalur serta tempat evakuasi terdekat.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Maulida Sri Handayani