tirto.id - Misteri kematian terduga teroris Siyono mulai terkuak. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Cabang Jawa Tengah pada Senin (11/4/2016) telah mengumumkan hasil autopsi yang dilakukan pada minggu lalu.
Tim memaparkan ada beberapa fakta dari hasil autopsi jasad Siyono, antara lain:
Tidak ada Autopsi sebelumnya
Tim dokter forensik mengatakan tidak benar telah dilakukan autopsi sebelumnya terhadap jenazah Siyono. Autopsi yang dilakukan oleh tim merupakan yang pertama kali dilakukan.
Tidak ada pendarahan di kepala
Menurut hasil autopsi, otak Siyono tidak dalam bentuk bubur merah, namun bubur putih, sehingga bisa diartikan tidak ada pendarahan di kepala. Jadi tidak benar ada indikasi kematian yang diakibatkan oleh pendarahan hebat di kepala.
Sebelumnya, pihak Kepolisian telah melakukan pemindaian computerized tomography (CT scan) kepada jenazah Siyono dan hasilnya menyatakan bahwa Siyono meninggal karena pendarahan di kepala.
Patahan tulang dada yang mengenai jantung (penyebab utama)
Hasil autopsi juga menunjukkan penyebab kematian Siyono karena patah tulang dada yang mengenai jantung. Proses autopsi juga mengemukakan pihaknya menemukan adanya luka yang bersifat intravital atau terjadi ketika hidup pada jenazah Siyono.
"Kematian Siyono adalah akibat dari tulang dada patah ke arah jantung sehingga mengakibatkan kematian. Ada luka di kepala, tapi tidak menyebabkan kematian," kata komisioner Komnas HAM Siane Indriani.
Tidak ada indikasi perlawanan dari Siyono
Tim dokter forensik tidak menemukan adanya indikasi perlawanan Siyono sebab tidak ditemukan adanya luka tangkisan yang bentuknya perlawanan.
Siane juga menyebutkan bahwa hasil autopsi menunjukkan ada memar pada bagian tubuh belakang. Analisisnya ada indikasi tindak kekerasan yang dilakukan ketika korban sedang menyandar ke sesuatu.
"Tidak ditemukan adanya perlawanan dari almarhum karena tidak ada luka defensif," kata Siane.
Kronologi autopsi Siyono
Kronologi Autopsi Terduga teroris Siyono, warga Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, berawal dari kabar meninggalnya Siyono di Jakarta, Jumat (11/3) setelah ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Polri.
Komnas HAM mencatat Siyono menjadi orang yang ke-121 yang tewas setelah ditangkap Densus 88 Antiteror sejak satuan khusus Polri untuk penanggulangan terorisme itu dibentuk 26 Agustus 2004.
Kematian misterius yang menimpa suaminya, istri Siyono, Suratmi, meminta keadilan. Belakangan Suratmi mendatangi PP Muhammadiyah Yogyakarta dan memberikan pernyataan resmi untuk menuntut pengusutan kasus kematian Siyono, termasuk autopsi.
Sebagai kuasa hukum Suratmi, PP Muhammadiyah kemudian menggandeng Komnas HAM untuk proses penyelidikan tersebut.
"Ini wujud keberdaulatan rakyat untuk bisa memperoleh informasi yang tidak direkayasa untuk banyak hal, dalam kasus ini tentang bagaimana proses kematian almarhum Siyono," kata Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas.
Dalam penyelidikan tersebut, PP Muhammadiyah dan pihak-pihak terkait tidak membenarkan apakah sosok Siyono sebagai teroris atau tidak, melainkan lebih kepada proses kematian Siyono berdasarkan asas kemanusiaan.
"Yang kami persoalkan proses kematian berdasarkan kemanusiaan oleh aparat yang terkait," kata Busyro.
Komnas HAM kemudian melakukan konsolidasi dengan dokter-dokter forensik di RS Muhammadiyah kemudian berkoordinasi akan kebutuhan autopsi dengan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Akhirnya setelah berkoordinasi dengan Polri autopsi jenazah dilakukan pada Minggu (3/4) pagi di tempat pemakaman Siyono di Klaten, Jawa Tengah.
Autopsi dipimpin oleh dokter Gatot Suharto. Ia bersama sembilan dokter forensik dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Cabang Jawa Tengah dan satu dokter forensik dari Polda Jawa Tengah untuk mengungkap kematian terduga teroris itu. "Autopsi dilakukan dengan memeriksa sampel kulit, tulang dan otot serta tempurung kepala," kata dokter Gatot.
Kondisi jasad Siyono
Kepada awak media, Gatot menceritakan bahwa terdapat anomali pada jasad Siyono ketika dilakukan autopsi di mana pembusukan jenazah Siyono tidak berlangsung cepat.
Gatot menjelaskan telah terjadi saponifikasi yang menyebabkan jasad Siyono tidak cepat membusuk melainkan menjadi licin seperti sabun. Penyimpangan pembusukan tersebut menyerupai mumifikasi yang terjadi di lingkungan padang pasir.
"Penyebabnya adalah tanah pemakaman yang lembab dan berair. Ini peristiwa yang jarang terjadi, tapi saya yakin ini tidak terjadi pada Siyono saja, tapi juga jasad-jasad lain di pemakaman. Ini karena faktor tanah di pemakamannya," kata dia.
Gatot menjelaskan bahwa upaya autopsi kepada Siyono dilakukannya secara profesional dan proporsional untuk misi penegakan hukum yang bermartabat. Busyro juga menyatakan bahwa autopsi tersebut bertujuan agar masyarakat terdidik dengan hal-hal yang jernih dan tanpa rekayasa. "Karena ini langkah akademis dan ilmiah," kata dia.
Sementara itu, Siane mengatakan Komnas HAM hanya bisa melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Komnas HAM tidak mempunyai kewenangan proses hukum. "Kami hanya penyelidikan, proses hukum kembali ke kepolisian dan pihak terkait," kata dia.
Sikap Polri
Berkaitan dengan hasil autopsi Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengucapkan terima kasih kepada PP Muhammadiyah. "Saya mengucapkan terima kasih sudah dilakukan autopsi terhadap almarhum Siyono dan sudah ada hasilnya. Kami hargai itu," kata Kapolri di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (12/4).
Menurut Kapolri, dari hasil autopsi Siyono bisa ditelusuri apakah ada pelanggaran atau tidak yang dilakukan oleh tim Densus 88 Antiteror Polri dalam menangkap dan mengawal Siyono ketika masih hidup.
Hasil autopsi tersebut, kata Badrodin, akan dibandingkan dengan hasil pemeriksaan Divisi Profesi Pengamanan (Divpropam) serta Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri yang saat ini masih memeriksa kasus Siyono.
Menurut Badrodin Haiti, Polri siap untuk menerima koreksi bila jajarannya, dalam hal ini tim Densus 88 Antiteror, benar-benar terbukti melakukan penyimpangan hingga menyebabkan kematian Siyono.
"Ada Itwasum yang melakukan pengawasan, ada Propam yang melakukan pemeriksaan. Kalau ditemukan ada pelanggaran, tentu akan disidangkan kalau pelanggarannya kode etik atau disiplin. Kalau pelanggaran pidana, akan diproses hukum," katanya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan perlunya evaluasi kinerja negara terkait dengan pemberantasan terorisme setelah adanya kasus dugaan kekerasan dan pelanggaran HAM kepada terduga teroris Siyono.
"Perlu ada evaluasi kerja negara, karena kerjanya pakai uang negara. Densus 88, BNPT, dan juga bantuan asing (Inggris, Amerika Serikat, Spanyol, Australia, dan lain-lain) pada polisi juga harus diperiksa," kata Koordinator Kontras Haris Azhar.
Menurut dia, pemaparan hasil autopsi membawa pesan penting bahwa memberantas terorisme harus profesional dan bermartabat.
"Kenapa terorisme masih ada, karena penegakan hukumnya amburadul. Komnas HAM melakukan suatu tidakan forensik dan profesional yang mudah-mudahan bisa jadi cermin, bahwa setelah ini harus ada evaluasi," kata Haris.
Menurut dia, hasil autopsi dapat digunakan oleh Komnas HAM dan ormas-ormas lain untuk menuntut agar kebenaran kasus Siyono diungkap dan segala akibat buruk harus ada kompensasinya.
(ANT)