Menuju konten utama

Ini Tantangan Serius Industri Energi Baru Terbarukan

Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, terkadang implementasi di lapangan tidaklah semanis atau tidaklah linear.

Ini Tantangan Serius Industri Energi Baru Terbarukan
Petugas memeriksa pipa Proyek Pembangkit Listik Panas Bumi (PLTP) Karaha Unit I PT. Pertamina Geothermal Energy (PGE) di Kadipaten, Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (2/2/2018). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

tirto.id - Lembaga studi publik yang fokus pada ketersediaan energi, ReforMiner Institute menilai terdapat tantangan serius bagi pelaku industri Energi Baru Terbarukan (EBT), tak terkecuali geothermal. Apalagi bisnis transisi energi dari fosil ke EBT masih tergolong anyar.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menyarankan, setidaknya perusahaan yang bergerak dalam penyediaan energi baru terbarukan, khususnya geothermal, lebih pandai berhitung dalam menentukan proyeksi target implementasi.

“Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, terkadang implementasi di lapangan tidaklah semanis atau tidaklah linear,” ujarnya dalam dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (2/3/2023).

Dalam pandangannya, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dianggap lebih ekonomis dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Pada Perpres 112 Tahun 2022 dinyatakan harga listrik PLTA dengan kapasitas 20 MW - 50 MW, harga patokan tertingginya senilai 8,86 sen/kWh. Sedangkan untuk harga listrik PLTP kapasitas 10 - 50 MW, harganya 9,41 sen/kWh.

Padahal PLTP sejatinya harus dibangun di dekat sumber panas bumi, berbeda dengan PLTU yang menggunakan batu bara, di mana tambangnya bisa beratus kilometer dari lokasi pembangkit.

Menurut Komaidi, hingga saat ini belum ada metodologi yang baku sebagai standar tunggal mengenai cara pendataan cadangan sumber daya pada industri panas bumi, termasuk soal diperkirakan, dicatat dan disertifikasi. Hal ini seperti yang tertuang dalam prospektus PGEO.

“Jadi penentuan cadangan sumber daya panas bumi betul bersifat probabilistik atau kemungkinan, sehingga tidak terdapat jaminan bahwa data cadangan sumber daya panas bumi perseroan dapat mencerminkan hasil aktual yang dimiliki perseroan secara akurat,” jelasnya.

Hal itu sekaligus mengingatkan bahwa ada faktor ekspektasi yang harus dikelola PGEO kepada pemegang saham publik. “Apakah itu akan berdampak positif langsung ke kinerja saham mereka di pasar modal? Saya rasa dampaknya tidak langsung ya,” tambah Komaidi.

Diketahui, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) sebelumnya resmi melakukan pencatatan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat kemarin dengan kode saham PGEO. Dengan melepas sebanyak 10,35 miliar saham baru atau 25 persen pada harga Rp875 per saham, PGEO meraih dana segar sebesar Rp9,056 triliun.

"Pelepasan saham perdana atau IPO untuk mendukung rencana PGEO mengembangkan kapasitas terpasang perseroan sebesar 600 MW hingga 2027 mendatang," kata Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy, Ahmad Yuniarto di Bursa Efek Indonesia.

Dia menuturkan PGEO menargetkan untuk meningkatkan basis kapasitas terpasangnya yang dioperasikan sendiri, dari 672 MW saat ini menjadi 1.272 MW pada tahun 2027. Selain juga mendukung ambisi PGEO untuk terus tumbuh dan mengembangkan seluruh value chain dari sumberdaya panas bumi Indonesia.

Baca juga artikel terkait ENERGI PANAS BUMI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Reja Hidayat