tirto.id - Perhatian dunia pada Juni lalu tertuju pada Inggris Raya. Itu tak lepas dari hasil referendum rakyatnya yang memilih keluar dari Uni Eropa setelah 43 tahun menjadi anggota. Peristiwa Brexit tersebut itu cukup menggemparkan, sehingga menghiasi halaman utama media-media di Eropa dan Amerika Serikat.
Meski opsi Brexit menang, banyak juga yang keberatan. Alasan utama pendukung Brexit adalah karena ingin agar Inggris mengatur perekonomiannya sendiri. Tapi mereka yang tak mendukung Brexit juga memandang soal ekonomi sebagai alasan. Kubu ini berpandangan bila Inggris keluar, maka Inggris tak lagi dapat menikmati perdagangan bebas antarnegara anggota Uni Eropa, sehingga tarif pajak perdagangan baru pun akan berlaku. Selain itu, nilai mata uang poundsterling akan melemah.
Karena itu, sekitar 1.200 raksasa perekonomian—termasuk Bank Inggris—mengajukan keberatan terhadap Brexit. Wakil Menteri Irlandia Utara Martin McGuinness juga mengungkapkan keberatannya karena jika keluar dari Uni Eropa. Ia mengatakan keluarnya Inggris Raya akan berdampak yang “sangat dalam” terhadap Irlandia Utara.
Selain masalah ekonomi, dua mantan perdana menteri, Sir John Major dan Tony Blair, juga memperingatkan bahwa pilihan untuk keluar dari Uni Eropa itu “akan merusak kesatuan” Britania Raya.
Tapi kekuatiran itu tak berarti di hadapan hasil pemungutan suara. Sebanyak 52 persen rakyat Inggris Raya mendukung keluar, dan sisanya 48 persennya ingin tetap tergabung dalam Uni Eropa.
Keputusan itu langsung memengaruhi nilai dari mata uang poundsterling yang anjlok lebih dari 11 persen terhadap dolar Amerika Serikat. Bagi rakyat Inggris secara umum, ini tentu berita buruk. Tapi ada berkah di balik turunnya nilai mata uang poundsterling.
Karena nilai poundsterling melemah, harga barang Inggris harganya jadi relatif murah bagi pembeli mancanegara. Momen ini kemudian tak disia-siakan oleh mereka yang suka berbelanja barang-barang mewah, sebab yang tadinya sangat mahal kini harganya turun.
"Brexit telah membuat Inggris menjadi pasar termurah di dunia untuk barang-barang mewah. Lemahnya nilai mata uang poundsterling akan meningkatkan arus perjalanan ke Inggris, membantu para pemain barang-barang mewah Inggris seperti Burberry, Mulberry dan Jimmy Choo,” ujar kepala divisi barang-barang mewah Exane BNP Paribas, Luca Solca, seperti dilaporkan IB Times.
Selain itu ada juga brand lainnya seperti Louis Vuitton, Balenciaga, Loewe dan Brunello Cucinelli yang harga lebih mahal hingga $400 jika dibeli di Amerika Serikat. Gaun Balenciaga di Inggris Raya misalnya hanya diberondol seharga $1.321 namun di AS harganya $1.765. Ada juga sweater dari Brunello Cucelli yang di Inggris dijual $808 namun di Cina dapat mencapai $1.287.
Selisih harga yang cukup besar ini kemudian mengundang para penggila belanja atau shopaholic untuk berbelanja di Inggris. Wisatawan Cina misalnya banyak menyerbu Westfield London yang merupakan pusat perbelanjaan terbesar kedua di kota tersebut. Para turis Cina itu menyerbu outlet dari barang-barang mewah seperti Aquascutum, Aspinal, dan Burberry. Mereka rata-rata membeli 10 barang bahkan lebih.
Banyaknya turis yang datang ke Inggris secara otomatis juga meningkatkan pemasukan di sisi travel (travel inflow) di Inggris karena meningkatnya jumlah turis yang ingin berbelanja di Inggris. Fenomena ini sudah terlihat sejak sehari setelah Brexit, dari pemesanan tiket ke Inggris yang melonjak tajam.
Situs pemesanan online Hotels.com mengungkapkan jumlah orang Amerika yang mencari penerbangan dan akomodasi di Inggris pada 24-26 Juni meningkat 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pihak British Airways juga menyatakan bahwa terjadi lonjakan penumpang sebesar 80 persen asal Amerika Serikat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Masih di minggu yang sama, pencarian penerbangan dan hotel ke Inggris di Cheapflight.com juga meningkat. Dari hasil pencarian, terdapat peningkatan 61 persen datang dari turis Cina, 49 persen dari Kanada dan 31 persen dari berbagai negara di Uni Eropa.
“Hal pertama yang mendorong orang untuk memesan tiket liburan adalah harga,” ujar Direktur Dewan Pariwisata Inggris, Patricia Yates, seperti dilaporkan The Wall Street Journal.
Sedangkan pemesanan tiket perjalanan untuk periode Oktober sampai Desember dari AS ke Inggris Raya naik 6 persen dari tahun lalu. Tak hanya AS, pemesanan tiket ke Inggris dari India untuk periode Oktober-Desember juga naik 11 persen. Adapun pemesanan dari Cina ke naik hingga 24 persen.
Namun menurut Managing Director Harrods, Michael Ward, fenomena Inggris Raya sebagai surga belanja bagi para shopaholic hanyalah keuntungan jangka pendek belaka. Menurutnya, para perusahaan fashion mewah nantinya tentu akan menaikkan harga jika poundsterling terus melemah.
Kapan perusahaan fashion akan menaikan harga untuk produknya, belum ada yang tahu. Hingga saat ini, para wisatawan di Inggris masih terus berbelanja, memanfaatkan nilai mata uang negeri pimpinan Ratu Elizabeth yang melemah.
Belanja, belanja, belanja!
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani