tirto.id - Ada beberapa hal yang mesti dipersiapkan pasangan ketika memulai program hamil (promil): sehat fisik, finansial, dan—yang paling penting—mental. Namun, faktor terakhir seringkali diabaikan. Padahal, kesiapan mental berperan besar bagi kesuksesan program hamil.
Para pejuang garis dua—sebutan untuk pasangan yang tengah mengusahakan keturunan—pasti sudah kenyang dengan pertanyaan-pertanyaan semacam “kapan punya anak?” atau “sudah berapa lama nikah? buruan isi!”
Si pelontar kalimat—yang lazimnya datang dari saudara, rekan, bahkan keluarga sendiri—mungkin mengangap pertanyaan mereka sepele. Padahal, nyatanya amat menguras emosi. Belum lagi ketika pasangan tengah mempersiapkan promil, mereka juga harus membagi fokusnya bolak-balik konsultasi dokter, melakukan cek laboratorium, dan serangkaian terapi penunjang lainnya.
Dokter Spesialis Kandungan Yassin Yanuar dari Klinik Bamed menjelaskan kesiapan mental sangat berpengaruh pada rangkaian proses promil. Katanya wajar bagi pasangan yang tengah menjalani promil merasa cemas. Oleh karena itu, promil di Klinik Bamed, misalnya, akan memberi perawatan komprehensif pada pasien.
“Bertemu dokter saja sering kali bikin khawatir. Jadi, kita akan buka ruang bicara pada pasangan, dilihat seberapa jauh rasa cemas itu mengganggu mereka,” kata Yassin.
Yassin biasanya akan memberi edukasi tentang seluk-beluk promil untuk meminimalisasi kekhawatiran pasien. Jika mereka perlu dukungan tambahan, Yassin menyarankan pendampingan psikolog atau psikiater selama menjalani promil. Intinya, pasangan harus bahagia secara mental agar bisa mengelola kondisi psikologisnya dengan baik.
“Jadi, promil itu bukan sekadar hamil, tapi menjalankan langkah kehamilan yang tepat, di waktu tepat, dengan fisik dan mental optimal sehingga embrio tumbuh sehat karena tubuh ibu, ayah, dan lingkungannya sehat.”
Persiapan mental ini juga diperlukan untuk menghadapi kemungkinan belum tercapainya gol program, seperti tidak terjadi pembuahan, embrio gagal berkembang, dll. Jika kasus semacam ini terjadi, pasangan idealnya tetap melanjutkan program. Pasalnya, peluang keberhasilan promil akan terus meningkat di setiap fase.
Sayangnya, beberapa pasangan justru memutuskan hal sebaliknya, berhenti program saat mendapati kegagalan di fase mula.
Program Hamil Juga Tanggung Jawab Suami
Kondisi infertilitas alias gangguan kesuburan terjadi ketika pasangan telah melakukan aktivitas seksual secara rutin dan benar selama setahun, tapi belum memiliki keturunan. Rutin dan benar artinya dilakukan dengan frekuensi 2-4 kali dalam seminggu, tanpa kontrasepsi, dan ejakulasi di dalam vagina.
Dengan mekanisme tersebut, perempuan memiliki peluang kehamilan sebesar 30 persen—dalam satu bulan pertama pernikahan, setidaknya ada 30 persen pasangan mendapat kehamilan. Sementara itu, sekira 70 persen pasangan lain mendapatkan kehamilan pada enam bulan pertama.
“Sebanyak 85 persen pasangan akan hamil pada tahun pertama. 15 persen lainnya infertilitas. Bisa primer, artinya belum pernah hamil sebelumnya, atau sekunder, sudah pernah hami, tapi susah saat merencanakan kehamilan selanjutnya,” tutur Yassin.
Jika mengalami kondisi tersebut, pasangan bisa langsung memeriksakan diri. Selanjutnya, dokter akan melakukan analisis sperma pada pria, memeriksa jumlah, kemampuan gerak, dan bentuknya. Pada perempuan, yang diperiksa adalah kondisi rahim dan indung telur dengan ultrasonography (USG) dan histerosalpingografi (HSG).
Lantaran pembuahan terjadi akibat pertemuan sperma dengan sel telur, kata Yassin, pemeriksaan dalam promil harus dilakukan oleh istri dan suami—bukan cuma perempuan saja seperti paradigma yang terjadi selama ini. Perempuan dan laki-laki memiliki risiko infertilitas yang sama.
Jika dianalogikan, dari 100 persen pasangan yang melakukan promil, sekira 30-40 persen gangguan kesuburan terdapat pada pihak laki-laki. Persentase yang sama juga dialami perempuan. Sementara itu, 10-15 persen gangguan terjadi pada kedua pihak suami dan istri.
“Sisanya sekitar 10-15 persen memiliki infertilitas yang tak dapat dijelaskan penyebabnya. Misal sudah diperiksa keduanya sehat, tapi ya memang belum waktunya,” lanjut Yassin yang sekaligus merupakan CEO Klinik Bamed ini.
Mekanisme Program Hamil
Lalu, apa langkah yang harus dilakukan ketika melakukan promil?
Pertama, dokter akan membuat rencana program yang sesuai dengan kondisi pasien. Inseminasi dapat menjadi salah satu terapi infertilitas yang disarankan. Tindakan ini mempermudah pembuahan dengan memasukkan sperma langsung ke serviks, saluran tuba, atau rahim. Sperma disemprot menggunakan tabung tipis yang disebut kateter dengan tujuan membuat perjalanan menuju sel telur jadi lebih pendek.
Pada terapi ini, pembuahan tetap terjadi di dalam tubuh. Namun, ada beberapa kondisi yang tidak memungkinkan pasangan melakukan inseminasi. Beberapa di antaranya adalah gangguan sperma berat seperti jumlah sperma terlalu sedikit, kemampuan berenang sperma bermasalah, dan cacat morfologi. Pada perempuan, tak boleh ada gangguan saluran telur seperti penyumbatan yang dapat menghalangi jalan sperma.
“Biasanya saya menyarankan terapi ini maksimal dilakukan hingga 4 kali, baru beralih ke [terapi] bayi tabung,” ujar Yassin dalam wawancara bersama Tirto.
Mekanisme inseminasi pada perempuan dimulai dengan memberikan obat untuk membesarkan sel telur dan menebalkan dinding rahim. Obat ini bisa berbentuk cairan atau oral. Inseminasi dengan injeksi memiliki tingkat keberhasilan mencapai 20 persen, sedangkan dengan obat oral kemungkinannya jadi 8-10 persen. Sementara itu, inseminasi tanpa obat rangsang hanya memberi peluang sebesar 4 persen.
Jamaknya, sel telur mulai matang dan membesar pada 8-12 hari setelah pemberian obat. Dokter akan melakukan USG setiap dua hari sekali untuk melihat perkembangan sel telur. Baru kemudian memberi obat pematangan final dan inseminasi dilakukan setelah 36 jam kemudian.
“Inseminasi pertama punya peluang 15-20 persen, akan bertambah jadi 45-50 persen di tahap keempat tanpa putus siklus.”
Peluang tersebut berlaku ketika inseminasi dilakukan tanpa jeda. Jika terapi gagal pada percobaan pertama, inseminasi ulang harus dilakukan di bulan berikutnya. Begitu seterusnya hingga empat kali percobaan. Perlakuan inseminasi ke-5 dan seterusnya tak memiliki perubahan peluang yang signifikan sehingga pasangan bisa langsung beralih ke jenis terapi lain.
Dokter akan menyarankan terapi infertilitas dengan fertilisasi in vitro (IVF) atau bayi tabung ketika metode inseminasi tak membuahkan hasil. Metode ini menggabungkan telur dan sperma di laboratorium dan pembuahan berlangsung di luar tubuh. Setelah embrio terbentuk, ia baru ditempatkan di rahim.
Teknik bayi tabung dapat diikuti individu dengan diagnosis endometriosis, rahim, saluran tuba, dan ovulasi bermasalah, atau antibodi yang membahayakan sperma atau telur.
Teknik bayi tabung bisa juga menjadi solusi bagi pria dengan jumlah sperma rendah atau ketidakmampuan sperma menembus lendir leher rahim, serta masalah kesuburan yang tidak dapat dijelaskan.
Tingkat keberhasilannya dapat mencapai 40 persen—lebih tinggi dibandingkan terapi infertilitas lain. Sayangnya, karena biayanya cukup mahal, hanya sekitar 5 persen pasangan dengan infertilitas yang berani menjajal terapi ini.
Sama seperti inseminasi, mekanisme bayi tabung dimulai dengan memberikan obat pembesar telur dan penebal dinding rahim. Bedanya, pada terapi bayi tabung, obat yang diberikan berupa injeksi. Setelah matang, telur akan diambil menggunakan jarum berongga. Prosedur ini memakan waktu kurang dari 30 menit.
Setelahnya, sel telur akan dicampur dengan sperma di labolatorium dan diawasi pertumbuhannya. Perlu waktu sekitar lima hari sampai embrio mencapai tahap blastokista. Saat embrio siap, jamaknya dokter akan meletakkan lebih dari satu embrio ke dalam rahim dengan kateter. Tujuannya, untuk meningkatkan peluang kehamilan. Tes kehamilan akan dilakukan dua minggu pascatransfer embrio.
Inti keberhasilan dari promil adalah kerja sama antara pasangan dan dokter. Jadi, butuh optimisme tak hanya dari pihak istri, tapi juga suami sebagai sistem pendukung terdekat.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi