tirto.id - “Saya sebagai pengusaha biasanya dalam berbisnis itu ada modal dan utang. Kalau Sandiaga dapat membangun sesuatu tanpa utang, mungkin saya ingin bertemu dan belajar.”
Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Erick Thohir mengatakan hal itu, di Jakarta Pusat, Minggu (9/12/2018). Pernyataan ini merespons calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno yang berjanji akan melanjutkan pembangunan infrastruktur tanpa menambah utang negara.
Erick yang selama ini dikenal sebagai pengusaha dan rekan Sandiaga menyatakan, dirinya bersama Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Rosan Roeslani, dan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bahlil Lahadalia akan berdiskusi serta mengundang Sandiaga ihwal bagaimana usaha tanpa utang.
Sandiaga memang kerap mengkritik kebijakan Jokowi soal infrastruktur. Saat menghadiri ulang tahun Kadin, di Hotel Ritz Carlton, Pasific Place, Jakarta Selatan, 24 September 2018, secara blak-blakan ia bahkan menyebut proyek infrastruktur Jokowi tidak efektif menyerap lapangan kerja.
Sebab, sejumlah proyek infrastruktur yang dikerjakan pemerintah lebih banyak diambil perusahaan BUMN. Dengan demikian, kata Sandiaga, maka perusahaan-perusahaan swasta nasional tidak bisa menyerap tenaga kerja yang siap pakai.
Akibatnya, selain penyerapan tenaga kerja tidak optimal, kebijakan itu justru menambah utang negara dan BUMN di bidang kontruksi. Karena itu, jika terpilih sebagai cawapres di Pilpres 2019, maka Sandiaga berjanji akan melibatkan swasta agar utang negara dan BUMN tidak bertambah.
Juru Kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Faldo Maldini mengatakan negara bisa melakukan pembangunan tanpa utang, asal harus menjalankan skema public-private partnership (PPP).
“Coba cek saja berapa proyek yang bisa jalan dengan skema itu sekarang? Setahu saya, kecil sekali. Kalau tidak salah, power plant itu ada satu atau beberapa, sisanya paling banyak jalan tol,” kata Faldo kepada reporter Tirto, Senin (10/12/2018).
Saat ini, Faldo menilai fenomena skema PPP lebih banyak diambil oleh BUMN sendiri yang utangnya sudah banyak. Karena itu, kata dia, jika Prabowo-Sandiaga menang, maka pembangunan infrastruktur dengan skema PPP ini akan menjadi yang paling utama.
“Jangan yang main BUMN saja, kita buka pintu yang besar [bagi swasta] agar tidak membebani APBN,” kata Faldo.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah mendukung bila proyek pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintah tanpa harus utang.
“Sejauh APBN itu bisa menutup semua kebutuhan pembangunan, maka tanpa utang ini adalah pilihan sangat bagus,” kata Piter kada reporter Tirto, Senin (10/12/2018).
Hanya saja, kata Piter, jangan sampai karena tidak mau berutang, maka pembangunan infrastruktur yang memerlukan biaya besar justru harus ditunda. “Di sini ada trade off antara adil dan [APBN] sehat. Kita tidak bisa memilih dua-duanya,” kata Piter.
Sebab, kata Piter, bila sehat itu tidak berutang, maka kemungkinan besar pemerintah tidak bisa membangun infrastruktur yang merata di sejumlah daerah. Jadi, kata Piter, dalam kondisi yang terbatas, maka pembiayaan dengan cara utang itu menjadi kebutuhan.
“Kalau kita memutuskan untuk tidak berutang itu sulit, sementara biaya membangun [di APBN] itu terbatas,” kata Piter.
Sementara itu, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan idealnya pembangunan infrastruktur memang tanpa harus menambah utang. Sebab, hal itu akan menjadi beban APBN.
“Kalau target [pendapatan] APBN enggak tercapai, maka akan menimbulkan konsekuensi pada fiskal,” kata Eko kepada reporter Tirto.
Menurut Eko, banyak skema yang bisa dilakukan agar tidak menjadi beban APBN. Salah satunya dengan kerja sama antara pemerintah dan swasta. Menurutnya, skema ini ide dasarnya sangat menarik karena untuk bisa mendorong pembangunan.
Namun, kata dia, konsep kerja samanya harus jelas. “Kalau mau, ya paling partnership, kerja sama pemerintah dan badan usaha,” kata Eko.
Konsep paling ideal, kata Eko, yaitu melalui public private partnership (PPP). Hal ini sebenarnya sudah dipraktikkan pemerintah Jokowi, tapi konsepnya terlalu menguntungkan pemerintah. Akibatnya, kata Eko, perusahaan swasta kurang tertarik karena dinilai kurang menguntungkan.
Karena itu, kata Eko, pemerintah perlu membenahi hal ini agar kerja sama pembiayaan melalui konsep PPP sama-sama menguntungkan, sehingga proyek infrastruktur yang dicanangkan pemerintah berjalan tanpa harus menambah utang negara.
“Nanti diterjemahkan ke skema yang kebih realistis. Jadi bisa berbagi keuntungan di situ, mulai dari apakah memberi fasilitas dan keringanan, misal pajak,” kata Eko.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz