Menuju konten utama

Infid: Ketimpangan Penghasilan dan Akses Pekerjaan Paling Dirasakan

54,2 persen masyarakat merasa penghasilan mereka di bawah harapan.

Infid: Ketimpangan Penghasilan dan Akses Pekerjaan Paling Dirasakan
Potret kemiskinan di Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Kesenjangan ekonomi di Indonesia masih menjadi persoalan. Berdasarkan Laporan Survei Ketimpangan 2017 yang dirilis International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) pada Kamis (8/2/2018) lalu di Jakarta, indeks ketimpangan sosial pada tahun lalu adalah 5,6. Adapun angka tersebut mengalami peningkatan dari indeks ketimpangan sosial di 2016 yang sebesar 4,4.

Dari sebanyak 2.100 responden yang dilibatkan dalam survei, Infid menemukan ketimpangan paling terasa pada ranah penghasilan dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan.

“Ketimpangan penghasilan berdampak pada ketimpangan terhadap kepemilikan rumah dan harta benda, pendidikan, dan kesehatan. Pengaruh ketimpangan penghasilan dan kesempatan kerja terhadap ketimpangan sosial keseluruhan paling besar,” tulis Infid dalam laporan tersebut.

Setidaknya ada 54,2 persen masyarakat yang merasa penghasilan mereka berada di bawah harapan mereka, bahkan kurang dan tidak layak. Sementara itu, 40,1 persen masyarakat menilai penghasilan mereka sudah layak atau lebih dari layak.

Apabila dibagi berdasarkan kesesuaian penghasilan, Infid mengkategorikan masyarakat Indonesia ke dalam tiga kelompok, yakni warga yang berpenghasilan kurang layak, warga yang berpenghasilan layak, dan warga yang berpenghasilan lebih dari layak.

Kelompok dengan proporsi terbesar ialah kelompok warga yang berpenghasilan layak, dan kemudian diikuti dengan kelompok warga yang berpenghasilan kurang layak. Sementara proporsi terkecil adalah warga yang berpenghasilan lebih dari layak.

Infid pun menyatakan keadaan ini tersebar hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.

Direktur Eksekutif Infid Sugeng Bahagijo berpendapat ketimpangan pada penghasilan karena pemerintah daerah yang belum menggelontorkan alokasi dana dari pemerintah pusat secara maksimal. Padahal sekitar 60 persen angkatan kerja di Indonesia lulusan SD dan SMP.

“Warga di daerah padahal tergantung belanja-belanja modal dan barang yang tergantung pemerintah. Ternyata percepatan pembangunan di pusat yang berupa infrastruktur tidak diimbangi dengan yang di daerah,” kata Sugeng saat dikonfirmasi Tirto melalui telepon pada Jumat (9/2/2018) sore.

Selain belanja daerah yang belum optimal, Sugeng juga menilai alokasi prioritas dari pemerintah belum mengarah pada dukungan terhadap angkatan kerja bagi anak muda. Salah satu indikatornya ialah masih minimnya Balai Latihan Kerja (BLK) yang ada di setiap daerah.

Dengan memperbanyak investasi ke arah pelatihan kerja, Sugeng mengatakan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dapat tercapai.

“Untuk LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) misalnya, harusnya menyediakan kesempatan untuk yang mengambil pendidikan vokasi, agar mereka juga bisa terlatih di negara lain. Tidak hanya (untuk yang) profesor,” ungkap Sugeng.

Selain pada penghasilan dan pekerjaan, ketimpangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki juga tergolong tinggi. Sebanyak 45 persen responden yang ditemui Infid menilai ketimpangan itu nyata, meskipun di sisi lain masyarakat ternyata semakin sadar terhadap wacana kesetaraan gender dan berbagai bentuk diskriminasi berbasis gender.

Persepsi warga terhadap ketimpangan gender sendiri mengalami peningkatan. Pada 2016, hanya ada sebanyak 31 persen warga yang menyadari terjadinya ketimpangan di tengah masyarakat. Adapun persepsi ketimpangan gender di Indonesia bagian timur lebih tinggi ketimbang di wilayah barat.

“Menurut saya, itu dikarenakan budaya dan kegiatan di sana yang tidak mendukung perempuan. Sehingga memang diperlukan adanya affirmative action,” ucap Sugeng.

Pemerintah pun diharapkan bisa lebih hadir dalam memajukan perempuan di Indonesia bagian timur, di antaranya dengan menyediakan beasiswa maupun fasilitas agar mereka lebih memahami hukum. Selain itu, pendekatan seperti kampanye juga dirasa perlu dilakukan guna menurunkan ketimpangan berbasis gender.

Sementara itu, aspek yang dinilai paling timpang antara laki-laki dan perempuan ialah kesempatan dalam mendapatkan pekerjaan dan penghasilan.

Masih dalam kesempatan yang sama, Sugeng menekankan bahwa pemerintah perlu memperhatikan betul alokasi anggaran dan ukuran lapangan kerja bagi masyarakat. Apabila dua hal itu dapat dipenuhi, Sugeng meyakini persoalan ketimpangan sosial dapat diatasi.

Dana pendidikan yang saat ini dialokasikan pemerintah sebesar 20 persen pun dirasa Sugeng belum bisa memberikan dampak yang signifikan. “Alokasi anggaran di 2019 harus lebih tajam dan fokus pada pengembangan SDM, serta mendukung anak muda untuk vokasi,” ujar Sugeng.

Lapangan kerja bagi masyarakat pun harus dibuat berkesinambungan dengan percepatan pembangunan infrastruktur yang tengah digenjot pemerintah pusat. Menurut Sugeng, proyek pembangunan di berbagai daerah harus bisa memberikan dampak kepada masyarakat di sekitarnya.

“Selain itu, sebesar 10 persen APBD (Angkatan Pendapatan dan Belanja Negara) juga harus difokuskan kepada angkatan kerja,” kata Sugeng.

Baca juga artikel terkait KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Jay Akbar