tirto.id - Gim produksi Tencent bernama Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG) baru-baru ini menjadi sorotan Majelis Ulama Indonesia karena dianggap telah menginspirasi aksi terorisme yang menewaskan puluhan orang di Selandia Baru.
Wasekjen MUI, Muhammad Zaitun Rasmin, mengatakan PUBG hanya menimbulkan mudarat. Ia menyatakan pihaknya bakal mengkaji lebih lanjut tentang rencana fatwa haram (pelarangan) PUBG di masyarakat.
“Kalau itu jelas-jelas mempunyai efek yang besar terhadap perilaku teroris, pasti akan dikeluarkan fatwa yang melarang. Tentu akan melarang kaum muslimin menggunakan gim itu,” kata Zaitun di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Kendati menganggap PUBG hanya menimbulkan mudarat dan setara dengan “perilaku zina”, Zaitun menegaskan MUI tak serta merta memberi stempel haram pada gim tersebut. MUI, Zaitun bilang, akan melakukan penelitian terlebih dahulu secara komprehensif tentang dampak PUBG sebelum akhirnya mengeluarkan keputusan.
Baiknya Meniru Jepang
Mengambinghitamkan gim sebagai pemicu aksi teror tidak hanya dilakukan MUI. Tak lama usai penembakan massal di SMA Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida, 14 Februari 2018, yang menewaskan belasan siswa, Presiden AS, Donald Trump, menyatakan bahwa video gim yang memuat kekerasan adalah biang kerok tragedi di Parkland.
Pernyataan Trump disambut para politisi pendukungnya yang langsung menyalahkan video gim. Argumennya hampir sama: gim bermuatan kekerasan membuat pola pikir anak-anak muda brutal sehingga memicu penembakan massal.
Dari kasus MUI dan Trump lantas muncul pertanyaan: benarkah video gim memicu aksi teror dan kekerasan? Jika melihat apa yang terjadi di Jepang, kemungkinan besar jawabannya tidak.
Di Jepang, ada begitu banyak gim dengan konten kekerasan seperti halnya PUBG. Dari Realm Royale, H1Z1, Rules of Survival, Cuisine Royale, The Last of Us, Call of Duty, Resident Evil, sampai Earth Defense Force. Rata-rata, sebanyak 60 persen warga Jepang bermain gim, demikian menurut NewZoo, perusahaan riset pasar gim, pada 2016.
Namun, keberadaan gim-gim dan angka partisipasi warga yang cukup tinggi itu tak lantas meningkatkan angka kekerasan bersenjata di Jepang. Bahkan, Jepang menjadi salah satu negara dengan kejahatan senjata terendah di dunia. Di AS pada 2014, ada 33.599 kasus kekerasan terkait senjata api. Pada tahun yang sama, hanya ada enam kasus kekerasan bersenjata saja di Jepang.
Pemerintah Jepang memperkuat regulasi, alih-alih membredel gim. Faktor regulasi yang kokoh adalah kunci dari semuanya—dan inilah yang jarang disadari oleh negara-negara yang punya isu dengan kepemilikan senjata api.
Undang-undang kontrol senjata api di Jepang pertama kali diperkenalkan pada 1958. Regulasi ini menjadi senjata ampuh untuk menekan penggunaan senjata api secara sembrono. Pasalnya, untuk membawa senjata api, warga Jepang setidaknya mesti melewati 13 tahapan─bandingkan dengan masyarakat di AS yang cuma butuh lolos pemeriksaan latar belakang sebelum akhirnya bisa membeli bedil.
Untuk memperoleh izin penggunaan senjata api, warga Jepang harus bergabung terlebih dahulu dengan klub berburu atau menembak. Setelah itu, mereka diwajibkan ikut kelas dan lulus ujian tertulis. Mereka juga harus mendapat surat dari dokter yang menyatakan sehat secara mental dan tak punya riwayat penyalahgunaan narkoba.
Tahap selanjutnya adalah mengajukan permohonan pelatihan menembak yang proses izinnya bisa memakan waktu hingga satu bulan. Pihak polisi akan melakukan wawancara dengan individu bersangkutan; menanyakan apa motivasi untuk membeli senjata api, catatan kriminal, pekerjaan, hingga hubungan dengan keluarga maupun tetangga.
Pelamar juga diminta memperoleh sertifikat dari agen senjata dan menyediakan brankas atau loker untuk menyimpan senapan yang akan dibeli. Setelah semua perlengkapan administrasi dan teknis telah dipenuhi, pelamar baru dipersilakan membeli senjata yang diinginkan─itu pun terbatas pada senapan biasa dan senapan angin.
Panjang─dan rumitnya─proses yang harus dilalui membuat tingkat kepemilikan senjata api di Jepang sangat rendah, sekitar 0,6 dari 100 orang pada 2007. Ini tentu kontras dengan tingkat di AS, misalnya, yang mencapai 88,8 dari 100 orang.
Masyarakat Jepang mengenal pepatah: "Hanya penjahat yang punya senjata api". Namun, menariknya, para penjahat di Jepang─atau dalam hal ini adalah Yakuza─sebetulnya merasa was-was ketika diharuskan membawa senjata api sebab berpotensi dihukum berat.
“Di bawah undang-undang yang ada, Yakuza yang kedapatan melakukan aksi kriminal dengan senjata api bisa didakwa hukuman penjara tujuh tahun,” terang koresponden Japan Times, Jake Adelstein. “Dan hanya menembakkan peluru saja bisa kena tiga tahun [kurungan].”
Selain alasan hukum, rendahnya tingkat penggunaan senjata api di kalangan penjahat disebabkan oleh faktor gengsi dan kehormatan. Pada era 1980-an, seperti ditulis Quartz, Jepang diramaikan dengan fenomena geng motor, atau bōsōzoku, yang beranggotakan anak-anak muda di bawah usia 21 tahun. Tiap geng biasanya diisi 20 sampai 50 orang.
Walaupun kerap bikin onar, hampir tak ada geng menggunakan senjata api ketika beroperasi. Alasannya, memakai senjata api sama saja mencederai kehormatan geng. Mereka memilih bertarung dengan tangan kosong atau mungkin pisau sebab dinilai lebih berani dan terhormat.
Senjata api nyatanya juga bukan jadi barang wajib aparat kepolisian. Polisi di Jepang lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlatih kendo (bertarung dengan pedang bambu) dan judo alih-alih belajar cara menggunakan pistol. Dalam kesehariannya pun para polisi jarang membawa senjata api.
Keberadaan regulasi memang punya andil besar, namun faktor sosial dan budaya di Jepang juga tak bisa ditepikan begitu saja. Dalam “Japanese Gun Control” yang dipublikasikan Asia Pacific Law Review (PDF, 1993), David Kopel menyatakan pengendalian senjata api di Jepang sebagai salah satu bagian dari mekanisme kontrol sosial yang luas. Kontrol senjata menggarisbawahi budaya yang meresap di lingkungan sosial Jepang: individu berada di bawah masyarakat dan pemerintah. Budaya tersebut, tulis Kopel, menciptakan iklim yang positif terhadap ketaatan akan hukum.
Berdasarkan penelitian The New York Times yang dilakukan pada 2013 dijelaskan bahwa bermain gim memang bisa membangkitkan hasrat permusuhan dan perilaku agresif di kalangan anak muda dalam waktu singkat. Tapi, yang harus ditegaskan, kebiasaan semacam itu tidak memiliki hubungan yang jelas dengan pembunuhan, pemerkosaan, apalagi pembantaian.
Di AS, menyalahkan gim sebagai biang keladi serangan teror adalah cara pemerintah konservatif untuk menutupi kegagalan (atau ketidakmauan) mereka dalam mengetatkan regulasi senjata api.
Untuk negara dengan isu senjata api seperti AS, membatasi gim mungkin saja dapat meminimalisir lahirnya serangan-serangan brutal─kendati penelitian menunjukkan dua hal tersebut tak ada hubungannya.
Sekarang, apa pentingnya melarang PUBG mengingat masyarakat Indonesia tak punya masalah senjata api?
Editor: Windu Jusuf