tirto.id - Brenton Tarrant jadi buah bibir banyak orang di seluruh dunia. Warga Australia ini menembaki orang-orang yang berada di dua masjid, Masjid Al Noor dan Masjid Linwood, di Kota Christchurch, Selandia Baru. Sebanyak 49 orang merenggang nyawa karena aksi kejinya.
Kabar sempat beredar, pelaku yang masih berusia 28 tahun tersebut belajar menembak dan terinspirasi melakukan teror salah satunya melalui video game dengan genre battle royale macam Fortnite. Namun, game lainnya sepertiPUBG alias Player Unknown’s Battlegrounds sempat jadi "kambing hitam". Namun, kabar ini hanya isapan jempol. Tarrant mengaku tak terpengaruh oleh game macam Fortnite maupun PUBG dalam aksi kejinya.
Ia justru terinspirasi dari Anders Behring Breivik, seorang teroris dari Norwegia yang menjadi pelaku pemboman di Oslo dan penembakan yang menewaskan 77 orang pada 2011 silam.
Namun, kabar soal PUBG maupun Fortnite dengan aksi Tarrant kadung menyebar di media sosial. Respons bermunculan, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat yang mewacanakan untuk menyikapi keberadaan game PUBG. MUI Pusat pun sudah merespons, Wakil Ketua Umum MUI Pusat Zainut Tauhid Sa'adi termasuk yang berpendapat game macam PUBG menimbulkan mudarat.
Di Malaysia, beberapa kelompok masyarakat di sana, mendesak pemerintah mengharamkan PUBG, yang dianggap dapat memberi inspirasi tindakan keji bagi para pemainnya.
Di luar persoalan respons publik setelah kejadian Kota Christchurch dengan game macam PUBG, ada pertanyaan mendasar, apakah game bertema battle royale bisa memengaruhi penggunanyamelakukan kekerasan?
PUBG, Free Fire, Fortnite dan lainnya merupakan video game bergenre battle royal game, suatu game yang memadukan elemen survival atau bertahan hidup dan eksplorasi.
Phil Hornshaw, dalam tulisannya “The history of Battle Royale: From mod to worldwide phenomenon”, mengatakan setidaknya ada dua hal yang harus tersedia dalam battle royal game: peta yang besar, sebagai tempat virtual pemain bermain game dan “start with nothing”, pemain dituntut bermain game dari ketiadaan menjadi kejayaan.
Dua hal itu, tulis Carter Melrose dalam “Why Battle Royale Games Like Fortnite Are Everywhere” membuat PUBG, beserta game sejenis jadi populer segala umur.
“Alasan populernya game tipe ini cukup banyak. Penekanan Battle royale pada pencapaian individu, tidak terpaku pada capaian tim, menjadikannya (pemainnya) dan penontonnya mudah dan terpesona. Game tipe ini sangat cocok di zaman Twitch (layanan video streaming game),” tulis Melrose.
Tipe game yang Twitch-friendly didukung dengan fakta bahwa PUBG dan game sejenis lainnya bisa dimainkan di berbagai perangkat, seperti konsol, PC, hingga ponsel. Segala kemudahan ini membuat game PUBG naik daun, hingga pertengahan 2018, game PUBG telah diunduh 50 juta kopi, untuk konsol seperti Xbox dan PC. Versi mobile game ini meroketkan jumlah pengguna PUBG menjadi 400 juta pengguna.
Jika ditarik lebih jauh, battle royal game merupakan "turunan" dari jenis game bernama first-person shooter, jenis game yang telah lahir sejak awal dekade 1970-an.
First-person shooter (FPS) merupakan tipe video game yang berpusat tentang pertempuran bersenjata dalam perspektif orang pertama. Tipe video game FPS bermula dari game bernama “Maze War”, yang dikembangkan pada 1973 oleh Greg Thompson, Steve Colley, dan Howard Palmer, siswa sekolah menengah yang tergabung dalam program studi kerja NASA yang mengembangkan program visualisasi dinamika fluida untuk desain pesawat ruang angkasa.
Namun, kepopuleran FPS baru terjadi pada awal dekade 1990-an. Video game bernama “Doom” dirilis dan menuai sukses di pasaran. Tercatat, dua juta kopi Doom terjual. Media teknologi Wired kala itu bahkan menjuluki Doom sebagai “video game komputer paling populer sepanjang masa.”
Mengapa Doom dan FPS sukses?
Maria Konnikova dalam tulisannya di New Yorker menyebut salah satu kunci kesuksesan tipe game FPS ialah konsep bernama “flow.” Dalam konsep tersebut, pemain dituntut untuk “terus berjalan”, seperti kehidupan yang pada akhirnya mengeluarkan perasaan nostalgia seperti "ini sangat menyenangkan" dan "ini sangat menggembirakan". Konsep flow sama seperti konsep kehidupan.
Lennart Nacke, Direktur Games and Media University of Toronto, sebagaimana dikutip Konnikova menegaskan bahwa FPS dengan konsep flow-nya “seperti kehidupan, penuh dengan keputusan yang mesti dibuat” untuk memenangkan permainan.
Sayangnya, FPS dan turunannya seperti battle royal game menitikberatkan permainan pada aspek kekerasan. Menggunakan senjata virtual untuk mengalahkan lawan-lawannya, seperti yang ditegaskan John Carmack, salah satu pencipta Doom. Ia bilang video game FPS adalah “kamu (pemain game FPS) adalah senjata bergerak.”
Simon Darveau, Direktur Kreatif game The Darwin Project, menyebut game FPS, termasuk battle royal game, merupakan game yang sangat kuat menyentuh elemen psikologi sosial penggunanya.
“Anda bisa disalahgunakan secara psikologis dalam sebuah game. Dan saya merasa itu adalah pengalaman yang paling kuat dari bermain FPS,” kata Simon.
Dalam paper berjudul “Virtual Violence or Virtual Apprenticeship,” yang ditulis Bonnie Phillips, video game memang tidak membunuh manusia. Namun, kekerasan yang hadir dalam bermain video game, khususnya dari game bertipe FPS, bisa saja berkorelasi dengan dengan dunia nyata. Persoalan ini sudah menjadi perhatian regulator di seluruh dunia.
Masih dalam paper itu, di Indianapolis, Amerika misalnya, ada kenaikan kekerasan yang dilakukan remaja yang tercipta atas “bantuan” video game. Akibatnya, melalui “Indianapolis City-County General Ordinance, No. 72, section 831-1” negara bagian itu membatasi ruang peredaran video game yang menghadirkan kekerasan dalam permainannya. Di antaranya dengan pembatasan usia, dan pengendalian dengan pencantuman label.
Di Indonesia, pemerintah juga tak tinggal diam, Kemkominfo pada Juli 2016 menerbitkan Peraturan Menteri No 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik yang mengatur mengenai klasifikasi atau sistem rating game yang dinamakan Indonesia Game Rating System atau IGRS. IGRS diatur berdasarkan kelompok usia, yaitu 3 tahun, 7 tahun, 13 tahun, 18 tahun, dan Semua Usia. Hal yang diatur antara lain mengenai muatan yang ditampilkan dalam permainan sehingga orangtua bisa mengawasi.
Bila melihat dari karakternya, game macam PUBG diklasifikasikan ke dalam kelompok usia 18 tahun atau lebih karena memuat "konten yang terdapat pada produk menampilkan unsur kekerasan pada tokoh animasi yang dapat menyerupai manusia" (Pasal 8).
Artinya, penyikapan pada game yang berpotensi mendorong pada tindakan kekerasan masih bersifat pengendalian, bukan pelarangan.
Apakah game PUBG dan sejenisnya perlu sampai harus dilarang? Tentu, perlu kajian yang jelas sebelum mengambil sikap. Persoalannya, saat ini pihak terkait hanya saling menunggu, termasuk regulator.
"Kalau memang dirasakan merusak, dikaji dulu dan silakan diajukan ke Kominfo. Kami siap menindaklanjuti permintaan pemblokirannya," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika) Kementerian Kominfo Semuel Abrijani.
Editor: Suhendra