Menuju konten utama

Indonesia Sedang Tidak Perang, Menwa Memang Semakin Tak Relevan

Sudah menahun tugas dan fungsi Menwa di kampus diragukan. Kini terulang lagi lagi. Menwa meyakinkan masyarakat bahwa keberadaan mereka patut dipertanyakan.

Indonesia Sedang Tidak Perang, Menwa Memang Semakin Tak Relevan
Ratusan anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) mengikuti pawai bela negara di kawasan Tugu Pal Putih, DI Yogyakarta, Rabu (28/2/2018). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

tirto.id - Seorang mahasiswa Universitas Sumatera Utara, Juan Closer Silaen, dalam tulisan yang diunggah di Scribd, mengaku: “Aku bangga jadi Menwa.” Dia menganggap Menwa adalah tempat yang tepat untuk melatih fisik dan mental. “Kita tidak salah alamat jika bergabung di korps Menwa,” akunya.

Namun risiko yang harus ditanggung kadang tidak kecil. Selain bisa mendapat bogem mentah, tergabung dalam Menwa kemungkinan berakhir meregang nyawa.

Menwa atau Resimen Mahasiswa merupakan warisan pemerintahan Presiden Sukarno. Kekacauan politik dan pemberontakan di berbagai daerah membuat pemerintah menetapkan status darurat perang pada 1957. Pangdam III/Siliwangi Kolonel Raden Ahmad Kosasih kemudian menerapkan wajib latih (wala) pada mahasiswa di Bandung untuk melawan gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Meski Kosasih mengklaim wala bukan wajib militer, tapi pelatihannya tetap serupa tentara.

Perekrutan dimulai pada Mei 1959 dan seleksinya berjalan 13 Juni 1959 selama 20 minggu. Batalion Mahasiswa–cikal bakal Menwa–terbentuk dengan 6 kompi yang terdiri dari 160 orang. Kelompok ini mendapat apresiasi dari Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution dan juga Sukarno sendiri.

Jawa Barat, tempat di mana A. H. Nasution pernah memimpin, kelak menjadi pusat awal perkembangan Menwa.

Setelah tercetusnya Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 1961, Nasution memberikan arahan agar wala diperluas. Mengikuti arahan itu, Pangdam IV/Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie mengeluarkan Keputusan Penguasa Perang Daerah No. Kpts 04/7/1/PPD/62 pada 10 Januari 1962 tentang Pembentukan Resimen Serbaguna Mahasiswa/Mahasiswi.

Pemerintah kemudian membuat instruksi susulan melalui Wakil Menteri Pertama Urusan Pertahanan/Keamanan (Wampa Hankam) dan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) dengan surat keputusan No. M/A/20/63 tahun 1963 tentang Pelaksanaan Wajib Latih dan Pembentukan Resimen Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi. Surat ini menganjurkan agar latihan pertahanan dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan tinggi dan pembentukan Menwa di setiap universitas.

Pada 21 April 1964, Nasution yang telah menjabat Menko Hankam/KASAB mengeluarkan radiogram No. AB/3046/64 yang berisi pembentukan Menwa di tiap Kodam. Sejak saat itulah pembentukan Menwa di seluruh provinsi berjalan dan berada di bawah arahan Kodam.

Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah kampus perintis Menwa di seluruh Indonesia. Mahasiswa ITB juga menyumbang anggota paling banyak dalam wala angkatan 1959. Dari enam batalion yang dihasilkan, empat di antaranya berasal dari ITB. Mereka diikutsertakan dalam Operasi Pagar Betis untuk menumpas pemberontakan DI/TII. Menwa di ITB diberi nama Resimen Mahawarman. Lambang burung garuda pada logo Menwa dibuat oleh Doli Panggabean, mahasiswa ITB yang tergabung dalam Batalion I/ITB.

Bagi Menwa ITB, dan karena kampus ini adalah pelopor sehingga mungkin juga dianut Menwa di tempat lain, menjadi “tentara kampus” bukan hanya untuk bergaya, melainkan peduli pada keamanan dan pertahanan negara. Dalam situs resminya ITB menulis: “Visi yang dianut oleh Batalion I/ITB harus berfungsi sebagai 'Resimen Tempur' namun dalam kondisi damai (stabil) Batalion I/ITB harus berfungsi sebagai 'Resimen Pendidikan'.”

Fungsi pendidikan ini, yang karena perkembangan terkini, semakin diragukan.

Infografik Menwa Riwayatnya Dulu

Infografik Menwa Riwayatnya Dulu. tirto.id/Sabit

Jadi Perwujudan Tentara Pelonco Sipil

“Tau Menwa ga lu?" tanya saya kepada seorang kawan.

“Apaan Menwa? Kalau manhwa gw tau.”

“Itu komik Korea, bos... Menwa tuh yang kerjanya nyatronin orang pacaran.”

Bercanda aja lu.”

Teman saya tidak tahu kalau saya tidak sedang bercanda. Ini betulan terjadi, setidaknya dialami seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang enggan disebut namanya. Kepada Majalah Tempo yang terbit pada 28 Mei 2000, narasumber tersebut mengatakan Menwa “suka usil” menangkap mahasiswa yang sedang asyik berpacar-pacaran di seantero gedung perkuliahan.

Aktivitas semacam itu tentu jauh dari cerita pendirian dan fungsi Menwa. Masalahnya memang Menwa didirikan ketika situasi perang, dan ketika semua itu usai dan mereka tetap dipertahankan, para anggotanya berakhir dengan cap “petantang-petenteng” menjadi polisi moral mahasiswa lain, dan terutama perpanjangan tangan militer.

Fungsi yang disebutkan terakhir semakin dipertanyakan ketika Orde Baru runtuh. Kehendak Reformasi adalah menjadikan Indonesia negara demokrasi dan mengembalikan militer ke barak–termasuk dari kampus. Menwa tetap menjadi salah satu corong penanaman nilai-nilai militer kepada sipil–termasuk senioritas dan perpeloncoan. Hal ini dituangkan oleh Yan Lubis, alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam bukunya Baranangsiang (2019).

Yan bercerita bahwa dia dan teman-temannya mengikuti mata kuliah Kewiraan. Materinya: baris-berbaris, lari keliling lapangan, dan berguling-guling di rumput dan lumpur basah. Pelatihnya berasal dari tentara: Kodam 061 Surya Kencana. Tak jarang tentara itu menyuruh Yan dkk. tiarap di atas comberan atau tahi kambing.

“Pelatih-pelatih dari Kodim dibantu oleh anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) Mahawarman-IPB. Mereka lebih garang daripada tentara sungguhan,” catat Yan.

Dosen dari Universitas Indraprasta Wirawan Sukarwo dalam bukunya Tentara Bayaran AS di Irak(2009) mengatakan meski kewenangan tentara dilucuti di era Reformasi, tetap banyak kelompok yang hendak menyerupai TNI. Salah satunya Partai Golkar yang memiliki Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG). Keinginan semacam ini juga menjamur di antara mahasiswa, menjadikan Menwa tetap diminati.

Military wannabe juga dapat ditemui di lingkungan kampus,” catat Wirawan. “Kesan pertama saya adalah Menwa benar-benar dididik dengan etika dan birokrasi ala militer di negara ini.”

Dalam militer seseorang dididik untuk siap mati demi negara. Dan itu telah ditanamkan sejak masa pendidikan. Hal serupa dilakukan para military wannabe. Namun sebagian di antaranya benar-benar meninggal dunia.

Kematian Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Yonoli Untajana, pada 2013 menambah deretan orang yang meninggal di institusi tersebut. Yonoli tewas saat sedang mengikuti kegiatan Pra-Resimen Mahasiswa (Menwa). Kegiatan yang dimaksud adalah melintasi rintangan kubangan air (empang).

Melompat delapan tahun kemudian, pelatihan Menwa kembali menelan korban jiwa. Tepatnya 23 Oktober 2021, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Gilang Endi Saputra meninggal dunia. Polisi menduga Gilang tewas akibat tindak kekerasan saat mengikuti Diklatsar Menwa.

Tentara sudah tidak ada di kampus, tapi pendidikan ala kemiliteran masih bercokol dan menambah deretan masalah di perguruan tinggi.

Bubarkan Menwa?

Menwa kembali disorot dan muncul desakan agar mereka dibubarkan saja setelah kasus Gilang Endi. Desakan seperti ini sebetulnya telah muncul sejak lama, setidaknya sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Saat itu muncul kasus dari Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang. Mahasiswa fakultas dakwah bernama Nur Huda dikeroyok belasan Menwa hanya karena ingin keluar dari Menwa untuk bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) karate. Saat berpamitan, para anggota Menwa memberi 'restu' dengan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. “Saya sampai muntah lima kali,” kata Nur.

Ketika itu Menwa diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri 1994. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa Menwa bertanggung jawab pada Danrem. Mereka juga mendapatkan biaya operasional dari kampus setidaknya Rp 1 juta per anggota. Dengan kata lain, mereka dibayar seperti tentara profesional.

Majalah Tempo merekam pada 2000 pemerintah akhirnya mencabut SKB Tiga Menteri 1994.

Pencabutan SKB 1994 itu menguatkan wacana pembubaran Menwa, yang kemudian memicu resistansi Menwa seluruh Indonesia. Untuk menolak pembubaran, Menwa turun ke jalan. Ada berbagai alasan untuk tidak membubarkan Menwa menurut demonstran, seperti: Menwa mengajarkan kekompakan dan jiwa korsa.

Pemerintah akhirnya memutuskan tidak membubarkan Menwa, tapi mengaturnya dengan Keputusan Bersama No KB/14/M/XI/2000, 6/U/KB/2000, dan 39A Tahun 2000 tentang pembinaan dan pemberdayaan Resimen Mahasiswa. Inilah dasar hukum Menwa sampai sekarang.

Salah satu kritik dari sipil yang dicatat Majalah Tempo edisi tersebut berasal dari seseorang bernama Antyo. Meski latar belakangnya kurang dijelaskan, alasan yang dia kemukakan soal mengapa Menwa perlu dibubarkan tepat belaka. Misalnya sterilisasi kampus dari agenda militer agar bisa fokus menjadi lembaga ilmiah.

Selain itu, Antyo menganggap bela negara tak harus “memiliterkan kampus.” Jika memang militer kekurangan orang, maka seharusnya merekrut tambahan SDM.

“Untuk mahasiswa dan calon mahasiswa yang menyenangi kehidupan militeristis, sudah tersedia kampus khusus: akademi militer dan sejenisnya. Sebuah pilihan yang adil dan beradab, bukan?” catat Antyo.

Baca juga artikel terkait MENWA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino