Menuju konten utama

Sejarah Menwa dari Asuhan Militer hingga Jadi UKM Biasa

Cikal-bakal Menwa lahir kala Indonesia mengalami krisis politik pada akhir 1950-an. Sempat lama dimasukkan dalam rantai komando militer.

Sejarah Menwa dari Asuhan Militer hingga Jadi UKM Biasa
Salah satu anggota kepolisian sedang memperlihatkan sejumlah barang bukti pada kasus kematian salah satu mahasiswa UNS saat mengikuti Diklatsar Menwa di Solo, Senin (25/10/2021). FOTO/ANTARA/Aris Wasita

tirto.id - Resimen Mahasiswa alias Menwa tengah jadi soroton dalam beberapa hari ini. Semua bermula dari kasus meninggalnya Gilang Endi Saputra ketika mengikuti Diklatsar Menwa pada hari Minggu malam. Gilang adalah mahasiswa D4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sekolah Vokasi (SV) Universitas Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Ada 12 peserta yang mengikuti kegiatan yang rencananya bakal berlangsung selama sembilan hari sejak 23-31 Oktober. Tapi, Gilang meninggal dan pihak keluarga melihat ada kejanggalan karena terdapat lebam dan darah pada jenazah korban. Keluarga korban pun melaporkan peristiwa itu kepada polisi pada 25 Oktober.

Berdasarkan hasil sementara, ditemukan tanda kekerasan di tubuh korban. "Dari hasil autopsi ada tanda-tanda kekerasan," ucap Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Iqbal Alqudusy.

Lantas, bagaimana bisa ada organisasi Menwa yang eksis di kampus-kampus di Indonesia?

Sejarah Menwa dapat dirunut hingga akhir dekade 1950-an. Kala itu, Indonesia sedang dilanda kekacauan politik dan beberapa pemberontakan di daerah. Pemerintah pun telah menetapkan status darurat perang sejak 1957.

Dalam konteks itulah cikal-bakal Menwa terbentuk. Mulanya adalah program pelatihan kemiliteran untuk mahasiswa di wilayah Jawa Barat. Para mahasiswa itu dilatih oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi dalam rangka persiapan menghadapi gangguan keamanan dari gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Program pelatihan yang dinamai Wajib Latih (Wala) itu diinisiasi oleh Panglima Siliwangi Kolonel Raden Ahmad Kosasih. Seturut Kosasih, seperti dicatat Raditya Christian Kusumabrata dalam Resimen Mahasiswa Sebagai Komponen Cadangan Pertahanan 1963-2000 (2011, hlm. 27), program Wala itu bukanlah wajib militer, melainkan bentuk pendidikan pendahuluan tentang pertahanan rakyat.

Pengumuman rekrutmen Wala mulai diedarkan pada Mei 1959. Lalu, proses seleksinya dimulai pada 13 Juni. Para mahasiswa yang lolos lantas mengikuti pelatihan yang dipusatkan di Lapangan Diponegoro, Bandung.

Dalam pelaksanaannya latihan dilakukan 6 kali dalam satu minggu, dan setiap harinya jumlah peserta yang mengikuti latihan jumlahnya 960 orang. Latihan dilakukan secara bergiliran. Latihan diberikan setiap hari selama 4 jam per hari. Dan pelaksanaan Wajib Latih ini diberlangsungkan selama 20 minggu,” tulis Raditya (hlm. 27).

Menurut Kosasih, dalam Teguh-tenang Menempuh Gelombang (1962, hlm. 209), tahap awal dari Wala memang ditujukan untuk mahasiswa. Kala itu, jumlah mahasiswa tidak sebanyak sekarang sehingga pelatihannya bisa ditangani oleh pelatih militer yang ada di kesatuannya.

Kosasih kemudian menyebut hasil didikan program Wala itu sebagai Batalyon Mahasiswa. Mereka kemudian dibagi ke dalam 6 kompi yang masing-masingnya terdiri dari 160 orang. Hasil didikan Kosasih dan jajarannya itu rupanya dapat apresiasi positif dari Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, bahkan juga Presiden Sukarno.

Dari Wala Jadi Menwa

Program Wala kembali mendapat momentum kala Indonesia mulai menggencarkan kampanye pembebasan Irian Barat. Pada Desember 1961, Presiden Sukarno mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora). Langkah itu kemudian disambut Mayjen Nasution dengan Surat Keputusan No. MI/B/00307/1961.

Surat itu pada intinya memerintahkan perluasan latihan ketangkasan keprajuritan di kalangan mahasiswa melalui program Wala. Kali ini, seluruh Kodam wajib bekerja sama dengan perguruan tinggi. Kodam akan bertindak sebagai pelatih dan perguruan tinggi sebagai penyelenggaranya.

Program pelatihan militer ini kemudian jadi kewajiban di beberapa perguruan tinggi, di antaranya Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, dan Akademi Pos, Telegraf, dan Telepon.

Pada 24 Januari 1963, Wakil Menteri Pertama Urusan Pertahanan/Keamanan dan Menteri Perguruan Tinggi menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. M/A/20/63. SKB itu jadi dasar untuk memasukkan latihan pertahanan ke dalam kurikulum perguruan tinggi. Lain itu, SKB juga menginstruksikan pembentukan Resimen Mahasiswa di setiap universitas.

Secara organisasi dan administratif Resimen Mahasiswa berada di bawah Kepala Perguruan Tinggi/Rektor, namun untuk pelatihan Resimen Mahasiswa dilatih oleh anggota Angkatan Bersenjata,” tulis Raditya (hlm. 37).

Dinamika Menwa

Menwa pada akhirnya terus dipertahankan usai Indonesia berhasil merebut Irian Barat. Bahkan, Menwa yang dekat dengan Angkatan Darat itu kemudian ikut diseret dalam pertarungan politik.

Jenderal Nasution dalam memoar Memenuhi Panggilan Tugas Volume 5-6 (1985, hlm. 186) menyebut, “Rencana saya semula ialah untuk membuat mahasiswa menjadi calon perwira-perwira cadangan.”

Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI (2006, hlm. 161) menyebut Menwa menjadi “sasaran perhatian PKI.” Lebih lanjut, Rosihan menyebut PKI menginstruksikan mahasiswa kiri untuk rajin berlatih di Menwa dan berusaha menduduki posisi-posisi komandan regunya.

Ketika PKI mengkampanyekan pembentukan Angkatan Kelima, Angkatan Darat tak tinggal diam. Untuk membendung kampanye PKI itu, Angkatan Darat lantas memperluas jaringannya lewat Pertahanan Sipil (Hansip), Menwa, dan kesatuan-kesatuan karyawan perusahaan negara.

Pada 1965, Menwa berada langsung di bawah arahan Kodam. Struktur organisasinya pun dibuat mirip dengan Kodam. Maka tak mengherankan Ketua CC PKI D.N. Aidit, seperti disebut Hasyrul Moechtar dalam Mereka dari Bandung: Pergerakan Mahasiswa Bandung 1960-1967 (1998, hlm. 61), menganggap Menwa merupakan tentaranya Nasution.

Infografik Menwa Riwayatnya Dulu

Infografik Menwa Riwayatnya Dulu. tirto.id/Sabit

Setelah G30S 1965 pecah, Menwa memainkan peran sekubu dengan Angkatan Darat. Mereka ikut dikerahkan untuk memberantas PKI.

Keorganisasian Menwa mengalami sedikit perubahan pada 1994. Menwa jadi bagian pelaksana bela negara setingkat provinsi. Komandan Menwa kini dijabat oleh Asisten Teritorial Kepala Staf Kodam atau Korem yang bertanggung jawab kepada Pangdam atau Danrem. Sementara itu, satuan-satuan Menwa di perguruan tinggi dapat status sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Khusus.

Dalam berkegiatan Komandan Menwa bisa memberi perintah atau komando kepada satuan Menwa di kampus setelah berkoordinasi dengan pimpinan perguruan tinggi. Namun, pada praktiknya, seringkali Komandan Menwa tidak mengindahkan posisi perguruan tinggi.

Danmenwa berlaku demikian karena menganggap Menwa adalah anggota militer atau minimal dipersiapkan sebagai cadangan militer. Hasilnya, pimpinan perguruan tinggi merasa dilangkahi setiap ada kegiatan menwa di luar kampus yang berhubungan dengan Kodam,” tulis Raditya (hlm. 58-59).

Posisi Menwa jadi bermasalah gara-gara sikap arogan anggotanya. Tak jarang pula terjadi kasus penyerangan atau kekerasan yang melibatkan anggota menwa. Masalah-masalah ini kemudian memunculkan desakan untuk meninjau kembali posisi menwa di kampus.

Desakan itu makin mengemuka setelah Reformasi 1998. Ujung dari polemik itu adalah terbitnya Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Menteri Pendidikan Nasional, dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. KB/14/M/X/2000, 6/U/KB/2000, dan 39A pada 11 Oktober 2000.

Sesuai SKB baru itu, Menwa dilepas dari asuhan Kodam dan statusnya diturunkan jadi UKM biasa. Pembinaan Menwa pun kini diserahkan kepada pimpinan perguruan tinggi.

Baca juga artikel terkait MENWA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi