tirto.id - Pers atau media massa menjadi kekuatan tak terpisahkan dari sejarah berdirinya negara Indonesia pada 72 tahun lalu.
Kemerdekaan yang diplokamirkan oleh dwi tunggal Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, bergema ke seantero jagat setelah disiarkan oleh kantor berita perjuangan Antara.
Namun demikian, kemerdekaan yang direngkuh Indonesia tidak serta merta turut pula membuat pers juga merdeka. Usai kemerdekaan hingga saat ini, pers mengalami dinamika yang luar biasa.
Baik di era Orde Lama dan era Orde baru, pers sempat dijadikan sebagai alat penguasa untuk memanggul beban gagasannya. Pers tidak dibiarkan bebas dan harus dikendalikan, dijinakkan.
Era Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), setiap Pers harus memperoleh SIT atau Surat Ijin Terbit dari pemerintah. SIT menjadi salah satu alat sensor pemerintah. Mereka yang bertentangan bisa saja dibredel atau ijin terbitnya tidak keluar.
Kondisi ini dilanjutkan di era Orde Baru. Meski rezim berganti tapi pengendalian pers tidak berhenti. Orde Baru menerbitkan Surat Izin untuk Penerbitan Pers (SIUPP), setali tiga uang dengan SIT.
Perubahan drastis kemerdekaan pers baru diperoleh saat tumbangnya Rezim Orde Baru. Setelah Presiden Soeharto menyatakan diri mundur pada 21 Mei 1998, tiupan angin kebebasan pers terus menguat.
Era Reformasi, Presiden Habibie mencabut SIUPP. Sementara pers sendiri dibuat aturannya melalui UU No 40/1999 tentang Pers. Sedangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers tidak berlaku.
Dalam UU Pers yang baru, seperangkat 'amunisi' pers diperkenalkan. UU menyatakan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Pers nasional juga tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Sementara dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.
Selain itu, dalam UU tersebut juga memperkenalkan hak jawab bagi siapa saja yang merasa dirugikan oleh pemberitaan.
Namun demikian, sudakah pers Indonesia benar-benar merdeka? Indeks Kemerdekaan Pers Jumlah media massa usai Reformasi berkembang pesat seiring dengan kemunculan teknologi internet. Meski pers cetak menurun, namun media online justru membumbung tinggi jumlahnya.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam buku IKP 2016 mengatakan diperkirakan terdapat 2.000 media dengan 320 media cetak yang memenuhi untuk disebut media profesional berdasarkan data pers 2015.
Sementara media online mencapai 43.300 dan hanya 68 media online yang lolos verifikasi. Sedangkan radio tercatat 674 dan 523 media TV hingga akhir 2014.
Namun kemunculan banyaknya media tersebut juga tidak serta merta membuat Indonesia dipandang sebagai negara dengan pers merdeka yang mumpuni.
Dalam Indeks Kemerdekaan Pers 2016 yang telah diluncurkan oleh Dewan Pers, nilai yang diperoleh adalah 62,81 yang berarti agak bebas (fairly free).
Menurut indeks tersebut, kemerdekaan pers dinyatakan baik atau cukup bebas pada angka 70-89 dan baik sekali atau bebas pada skor 90-100. Sedangkan buruk sekali atau tidak bebas bila skor 0-30, buruk atau kurang bebas pada skor 31-55, sedang atau agak bebas pada skor 56-69.
Sementara lembaga internasional Freedom House yang juga menerbitkan indeks kebebasan pers, menempatkan Indonesia selama enam tahun sejak 2012 hingga 2017 tak beranjak ke dalam kategori bebas sebagian (partly free) dengan skor 49/100. Freedom House menilai bila skor 0-30 bebas, 31-60 bebas sebagian dan 61-100 tidak bebas.
Lembaga internasional Reporters Sans Frontiers (RSF) pada 2017 menempatkan Indonesia berada di urutan 124 dari 180 negara yang diteliti terkait kebebasan pers dengan skor 39.93. Posisi Indonesia lebih buruk dibandingkan Afganistan (120) dan Uganda (112).
Untuk itu, menurut Yosep, kemerdekaan pers di Indonesia belum menggembirakan meskipun saat ini pers bermunculan secara bebas.
Intervensi Pemilik Menurut Indeks Kemerdekaan Pers 2016 yang diterbitkan Dewan Pers, ancaman serius bagi kemerdekaan pers saat ini bukan lagi dari negara. Namun justru dari para pemiliknya dan kelompok kepentingan yang kuat.
Negara saat ini secara regulasi tidak lagi memiliki alat sensor untuk membelenggu. Namun para pemilik modal dan kelompok kepentingan justru memiliki kemampuan untuk melakukan intervensi terhadap redaksi.
Alih-alih menjadikan pers yang mencari kebenaran dan bersandar kepada kepentingan publik, pers kadangkala digunakan oleh pemiliknya untuk kepentingan politik dan ekonominya.
Hal ini diungkapkan Ketua Tim Peneliti IKP 2016 Antonio Pradjasto dalam pemaparan IKP 2016 di Gedung Dewan Pers, Selasa pekan lalu (8/8/2017). Indeks Kemerdekaan Pers 2016 tersebut meneliti 24 provinsi di Indonesia.
Dalam temuan IKP 2016, secara umum independensi dari kelompok kepentingan meraih poin tiga terbawah yaitu 56,18 dari 20 indikator utama yang dinilai. Dua indikator terbawah lainnya adalah kesetaraan kelompok rentan (49,99) dan perlindungan disabilitas (26,85).
"Secara internal independensi media menghadapi masalah serius. Campur tangan pemilik media dan kelompok kepentingan yang kuat membuat media kurang independen," katanya.
Hal itu terutama terjadi ketika pemilik perusahaan media berafiliasi pada kekuatan politik setempat (partai politik dan pemerintah daerah) dan ketergantungan perusahaan-perusahaan media di tingkat provinsi terhadap sumber dana pemerintah daerah dan bentuk-bentuk kerja sama.
Di tingkat nasional, fenomena di atas terutama terlihat sekali dalam media televisi. Maka tidak heran dengan kemunculan fenomena TV Merah dan TV Biru, yang masing-masing mengusung agenda politiknya sendiri, katanya.
'Gangguan' terhadap kemerdekaan pers itu sangat terasa terutama saat tahun politik tiba baik pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden.
Akibatnya, media seringkali tidak menjadi 'anjing penjaga' yang mengawasi kekuasaan, berkhidmat kepada kepentingan publik dan memastikan dirinya sebagai pilar demokrasi keempat, kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo.
Fenomena intervensi pemilik modal terhadap pers tersebut hingga kini layaknya selilit yang menyempil di barisan gigi, gangguannya terasa meski pers dirasa merdeka.
Sumber: Antara
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani