Menuju konten utama

Indeks Keterbukaan Anggaran Indonesia Naik di Level 64

Tingkat keterbukaan anggaran Indonesia pada 2017 mengalami peningkatan dibandingkan penelitian dua tahun sebelumnya yang sebesar 59.

Indeks Keterbukaan Anggaran Indonesia Naik di Level 64
Ilustrasi. Rapat pembahasan RAPBD 2018. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Sekretariat Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparan Anggaran (FITRA) merilis Survei Keterbukaan Anggaran (Open Budget Survey) 115 negara di 5 benua pada 2017. Dilaporkan, indeks keterbukaan anggaran Indonesia berada pada level 64 dari 100 poin.

Peneliti FITRA sekaligus peneliti OBS untuk Indonesia, Yenti Nurhidayat menyebutkan peringkat Indonesia itu dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu tingkat transparansi anggaran di level 64, partisipasi publik sebesar 22, dan pengawasan anggaran sebesar 85.

Ia juga menyebutkan tingkat keterbukaan anggaran Indonesia pada 2017 mengalami peningkatan dibandingkan penelitian dua tahun sebelumnya yang sebesar 59. Dari beberapa tahun ke belakang, diperoleh data peringkat Indonesia pada 2006 sebesar 42, tahun 2008 sebesar 54, tahun 2010 sebesar 51, dan pada 2012 sebesar 62 poin.

Yenti mengatakan naik-turun peringkat ini tidak lepas dari tokoh regulator. "Pola kebijakan anggaran dipengaruhi leadership siapa yang memimpin dan kebijakan yang lahir dari setiap periode. Kemudian mempengaruhi tingkat keterbukaan anggarannya," ujarnya di Jakarta pada Selasa (24/4/2018).

Terkait partisipasi publik di tingkat regional Asia Tenggara, Indonesia disebutkannya kalah jauh dari Filipina yang menduduki peringkat 41. Adapun Indonesia hanya di level 22.

Indonesia dikatakan sulit menandingi Filipina soal partisipasi publik karena memiliki perbedaan signifikan di sistem keuangan dan pemerintahan (legal framework). Selain itu, hal ini juga terkait kondisi geografis yang berbeda dengan perbedaan tingkat pemahaman pula soal anggaran negara.

"Filipina cenderung lebih mudah menjangkau setiap warga negara mereka. Kita enggak perlu copy-paste, tapi yang penting prinsipnya masyarakat kita bisa menyampaikan aspirasinya, itu ada," kata Kepala Subdirektorat Data dan Dukungan Teknis Penyusunan APBN Kementerian Keuangan-RI, Wawan Sunarjo.

Filipina memungkinkan adanya dokumentasi setiap partisipasi masyarakat di tingkat lembaga legislatif. Sementara itu, di pemerintah Indonesia sulit diterapkan dengan jumlah penduduk sekitar 262 juta yang tersebar di 35 provinsi.

Ia mengatakan adanya partisipasi publik memang dibutuhkan karena pada prinsipnya anggaran keuangan negara digunakan untuk rakyat. Namun, adanya partisipasi masyarakat tidak serta-merta dapat diterima. Karenanya, perlu ada penyaringan dengan menyesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) atau Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP).

Sementara itu, pemerintahan Indonesia memiliki tiga level bagi masyarakat untuk mengajukan usulan, yaitu tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pemerintah pusat. Usulan masyarakat dapat disampaikan di Musyawarah Perencana Pembangunan Daerah (Musrenbangda) dan Musyawarah Perencana Pembangunan Nasional (Musrembangnas) secara tidak langsung.

Bagi masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi atau pengetahuan luas terhadap kebijakan anggaran pemerintah, menurutnya, tidak hanya dibutuhkan perhatian pada pengeluaran negara, tapi juga penerimaan.

"Masalah penerimaan, kita tahu bahwa tax ratio kita masih sangat rendah. Mereka juga harus sadar terhadap pajak, misalkan. Kita tahu bahwa tidak semua masyarakat sadar pajak," ungkapnya.

Baca juga artikel terkait ANGGARAN NEGARA atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari