Menuju konten utama

INDEF: Utang Pemerintah Terus Naik, Tapi Belum Dorong Produktivitas

"Sejauh ini, 3 tahun terakhir dimana nilai utang kita secara signifikan meningkat, produktivitas tidak kunjung meningkat," kata peneliti INDEF, Ahmad Heri Firdaus.

INDEF: Utang Pemerintah Terus Naik, Tapi Belum Dorong Produktivitas
(Ilustrasi) Pekerja industri tekstil menyelesaikan pesanan jahitan pakaian muslim di De'Cantiqu Factory, Cibiru, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/10/2017). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Utang pemerintah Indonesia per Februari 2018 sudah mencapai Rp4.034 triliun. Kementerian Keuangan mencatat rasio utang itu 29,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) 2018 yang sebesar Rp13.798 triliun.

Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus mencatat utang pemerintah terus melonjak dalam tiga tahun terakhir. Pada 2015, angka utang Indonesia Rp3.165,13 triliun. Sementara di tahun 2017, nilai utang menjadi Rp3.466,96 triliun. Adapun berdasar asumsi APBN 2018, total utang pemerintah ialah Rp4.772 triliun.

Namun, dia menilai peningkatan utang tersebut belum memperlihatkan dampak positif berupa kenaikan produktivitas ekonomi dalam negeri.

"Sejauh ini, 3 tahun terakhir dimana nilai utang kita secara signifikan meningkat, produktivitas tidak kunjung meningkat. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi kita yang relatif stagnan di kisaran 5 persen. Sulit sekali terdongkrak," kata Heri di kantor INDEF Jakarta pada Rabu (21/3/2018).

Selama ini Kementerian Keuangan memang menyatakan rasio utang Indonesia terhadap PDB saat ini masih aman. Selain itu, pemerintah juga mengklaim peningkatan utang akan berdampak positif sebab dipakai untuk pembiayaan infrastruktur.

Heri mengakui pembangunan infrastruktur tidak bisa dilihat dampaknya terhadap perekonomian nasional dalam jangka pendek. Ia menyadari bahwa dampak pembangunan infrastruktur tidak dapat dirasakan seketika, tapi sifatnya jangka panjang.

"Memang infrastruktur impactnya jangka panjang, namun meskipun infrastruktur baru menghasilkan dampak jangka panjang, setidaknya harus ada confidence [kepercayaan diri] dari dunia usaha," ujar dia.

Heri berpendapat seharusnya pembangunan infrastruktur mendorong optimisme dunia usaha sehingga kemudian mendongkrak tingkat produktivitas industri. Indikatornya bisa dilihat pada peningkatan nilai tambah dan daya saing produk domestik, ekspor, serta penyerapan tenaga kerja hingga pertumbuhan.

Dia menambahkan, berdasar perkembangan nominal PDB selama 2015-2017, pertumbuhan hanya 8,74 persen. Sementara, kenaikan utang pemerintah selama 3 tahun itu ialah 14,81 persen.

"Kesimpulannya utang tumbuh double digit, tapi ekonomi tumbuh single digit. Akibatnya, laju penambahan utang yang lebih kencang dari pertumbuhan ekonomi, akan semakin menggerogoti stabilitas perekonomian ke depan. Ini tentu akan banyak implikasi yang luas terhadap perekonomian," kata Heri.

Pada 15 Maret lalu, Direktur Strategi dan Portfolio Utang Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan, Schneider Siahaan mengklaim rasio utang Indonesia terhadap PDB masih lebih kecil dibandingkan negara-negara tetangga dalam periode yang sama.

Dia mencontohkan rasio utang Thailand sebesar 41,8 persen, Malaysia 52,7 persen, Vietnam 63,4 persen dan Brazil 81,2 persen. "Masih di bawah ambang batas 60 persen yang ditetapkan UU Keuangan Negara No.17/2003," ucap Schneider.

Menurut dia, utang luar negeri (ULN) Indonesia sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya. Schneider optimistis utang-utang tersebut dapat lunas dalam jangka waktu jatuh tempo 9 tahun mendatang asalkan dikelola dengan baik.

Baca juga artikel terkait UTANG PEMERINTAH atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom