tirto.id -
"Ada 40 persen utang kita dipegang oleh investor asing. Ketika terjadi pengetatan moneter global dana ditarik kembali ke AS atau ke negara maju, sehingga berujung ke melemahkan kurs rupiah," ujar Bhima kepada Tirto pada Senin (28/8/2018).
Sementara itu, bahan baku, barang modalnya sebagian impor terutama proyek-proyek pembangkit listrik 50 persen lebih bahan bakunya impornya. Meliputi besi, baja, mesin elektrik. "Itu menjadi beban berat untuk defisit neraca perdagangan dan CAD," ungkapnya.
Apalagi, pembangunan infrastruktur lebih melibatkan BUMN saja. Istilahnya dari BUMN, untuk BUMN dan dikelola oleh BUMN berserta anak cucu perusahaannya.
"BUMN cari utang untuk infrastruktur, yang mengerjakan BUMN itu sendiri. Sehingga yang menikmati [untung dari] proses infrastruktur adalah BUMN. Kontraktor yang lain khususnya yang menengah kecil tidak dapat bersaing dengan BUMN," ujarnya.
Akibatnya, berdasarkan data Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia (Gapensi) ada ribuan kontraktor mati dalam 3 tahun terakhir. Suatu hal yang anomali di tengah pemerintah gencar membangun infrastruktur.
"Hal itu karena proyek pembangunan infrastruktur tidak dirasakan hingga masyarakat paling bawah. Dan bisa dibilang juga pembangunan infrastruktur tidak padat karya, tapi padat modal," ungkapnya.
Berkaca dari pengalaman penanganan proyek infrastruktur era Jokowi ini, Bhima mengatakan capres dan cawapres ke depan bisa meneladani sikap Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.
Menurut Bhima, Capres-cawapres harus mampu bersikap lebih rasional dalam menentukan rencana proyek pembangunan infrastruktur nasional, yang dapat mendorong kesejahteraan masyarakat.
"Evaluasi pembangunan infrastruktur yang dilakukan Mahathir Mohamad bisa menjadi salah satu contoh bagaimana pemimpin yang baru terpilih di Malaysia, tapi memiliki sikap yang cukup jelas, yaitu proyek-proyek infrastruktur yang berdampak kecil kepada ekonomi dan kecil berdampak pada serapan tenaga kerja harus dievaluasi kembali mau enggak mau," ujar Bhima.
Tidak boleh takut terhadap tekanan-tekanan dari kreditor asing yang ingin Indonesia terus berutang untuk pembangunan infrastruktur. "Infrastruktur selesai, tapi ternyata impact-nya kecil terhadap ekonomi. Dari 225 proyek strategis nasional saat ini harapannya dilakukan evaluasi dan rasionalisasi," ungkapnya.
Salah satu proyek infrastruktur yang kurang rasional, menurutnya, adalah pembangunan Light Rail Transit (LRT) di Palembang yang meramaikan momentum Asian Games 2018.
"Setelah Asian Games bagaimana tingkat pengembaliannya. Apakah dengan membangun LRT bisa menurunkan biaya logistik? Kan enggak. Harusnya yang dibangun kereta api cepat untuk kawasan industri pelabuhan, tapi itu tidak dibangun. Malah yang dibangun transportasi massal yang enggak berhubungan langsung dengan penurunan biaya logistik," ujarnya.
Pembangunan infrastruktur penting dengan prinsip dapat menurunkan biaya logistik. Apalagi di tengah harga minyak mentah dunia yang trennya sedang tinggi, itu menjadi sangat penting.
Patut dicatat, sebagian besar bahan pembangunan infrastruktur nasional berasal dari impor. Jika tidak hati-hati dapat membuat bengkak defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) seperti yang terjadi pada kuartal II/2018 yang sebesar 3 persen terhadap PDB atau senilai 8 miliar dolar AS.
"Sehingga pembangunan infrastruktur yang rasional tidak akan jadi beban bagi CAD dan infrastrukturnya dapat fokus menurunkan biaya logistik," ungkapnya.
Menyadari Indonesia sebagai negara kepulauan jadi sepakat bahwa pembangunan infrastruktur itu penting. Misinya cukup positif jika untuk mengurangi biaya logistik dan memperkuat konektifitas antar wilayah.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri