Menuju konten utama

INDEF: Penggunaan Utang Pemerintah Masih Belum Produktif

Menurut Bhima, pengeluaran dari penerbitan SBN hanya diperuntukan untuk belanja birokrasi yang konsumtif.

INDEF: Penggunaan Utang Pemerintah Masih Belum Produktif
Pekerja menyelesaikan pembangunan jalur di stasiun kereta api ringan atau Light Rail Transit (LRT) Taman Mini, di Jakarta, Senin (14/1/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

tirto.id - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menjelaskan, penggunaan utang di era Jokowi-JK masih tersebar ke berbagai sektor yang kurang produktif misalnya untuk kebutuhan gaji ASN hingga kebutuhan birokrasi.

Bhima mengatakan, biaya pembayaran tersebut berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) yang saat ini mencapai 80 persen. Menurut Bhima, pengeluaran dari penerbitan SBN hanya diperuntukan untuk belanja birokrasi yang konsumtif. Sementara belanja untuk infrastruktur tidak mendapat porsi yang besar.

"Konsumtif. Belanja pegawai, belanja barang. Sementara belanjanya yang benar-benar untuk modal seperti infrastruktur itu trennya naiknya kecil banget. Relatif lebih kecil dibandingkan belanja lainnya. ini yang jadi pertanyaan," kata dia kepada Tirto, Sabtu (2/2/2019).

"SBN itu pemanfaatannya dicampur-campur jadi kita enggak tahu SBN itu benar untuk infrastruktur belanja pegawai, belanja sosial atau belanja apa," lanjut dia.

Utang pemerintah tengah menjadi sorotan setelah capres Prabowo Subianto menjuluki Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai “menteri pencetak utang”.

Bhima, menuturkan, untuk mengukur efektivitas utang salah satunya bisa dilihat dari tingkat pertambahannya dibanding dengan tingkat pertumbuhan ekonomi satu negara.

“Kalau sekarang rata rata per tahunnya 10 persen utang pemerintah tapi ekonomi tumbuhnya hanya 5,1 persen, konsumsi flat 5 persen, ekspor 6,6 persen. Yang jadi dipertanyakan sebagai pembayar pajak kok enggak korelatif sih?” kata Bhima.

Berdasarkan penelusuran Tirto, pembengkakan utang mencapai Rp3.769 triliun (2015), Rp4.216 triliun (2016), dan Rp4.825 triliun (2017). Dengan kata lain, ada kenaikan utang sebesar 11 persen pada periode 2015-2016 dan 14 persen pada periode 2016-2017.

Kondisi itu, kata Bhima, mematahkan argumen pemerintah yang selalu mengatakan utang pemerintah masih berada di batas aman.

“Katanya utang enggak apa-apa naik. Toh masih masih di bawah 60 persen terhadap PDB. Kan tapi di sisi lain produktivitas utang terhadap ekspor kemudian terhadap pertumbuhan ekonomi itu korelasinya harus positif. Jangan seperti sekarang,” jelas dia.

Baca juga artikel terkait UTANG INDONESIA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Alexander Haryanto