Menuju konten utama

INDEF Jelaskan Alasan Sri Mulyani Sering dapat Kritik Soal Utang

"Di era Sri Mulyani ini kenapa dihujani kritik, karena SBN itu menawarkan bunga yang relatif tertinggi di Asia Pasifik," kata Bhima.

INDEF Jelaskan Alasan Sri Mulyani Sering dapat Kritik Soal Utang
Menteri Keuangan Sri Mulyani. ANTARA FOTO/M Ricky Ardiansyah

tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani kerap dikritik soal kebijakannya mengenai utang. Bahkan, belakangan mantan Direktur Bank Dunia ini mengeluarkan sebuah puisi soal penggunaan utang setelah disebut sebagai “menteri pencetak utang” oleh cawapres Prabowo Subianto.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memang ada perubahan tata kelola utang. Menurut dia, era presiden sebelumnya, seperti di masa kepemimpinan Soekarno, Soeharto sampai SBY, pinjaman mendominasi sekitar 80 persen dan SBN (Surat Berharga Nasional) 20 persen.

Sementara di masa kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla, kata Bhima, justru SBN yang mendominasi sampai 80 persen, sedangkan pinjaman hanya 20 persen.

“Sekarang ini ada perubahan paradigma. Jadi perubahan paradigmanya, kita lebih banyak menerbitkan surat utang atau SBN," kata Bhima kepada Tirto, Sabtu (2/2/2019).

Bhima kemudian mengatakan, utang di era Presiden Soekarno, Soeharto, Abdurahman Wahid, Megawati sampai SBY juga masih di dominasi dengan pinjaman bilateral dan multilateral.

"Jadi kita utang kalau enggak ke Jepang ke Amerika, kalau enggak ke sana, ke Korea atau ke Bank Dunia gitu ya,” ungkap dia.

Sebagai contoh, jika Indonesia meminjam uang dalam bentuk pinjaman multilateral dan bilateral kepada Cina, maka proyek-proyek yang dikerjakan harus sesuai keinginan peminjam. Mulai dari alat berat sampai tenaga kerja.

Apabila utang pinjaman berasal dari lembaga terkait, misalnya IMF. Kekurangannya adalah akan ada potensi kebijakan di dalam negeri terkena intervensi.

Sementara SBN, negara yang menerbitkan surat berharga bisa mengurangi ketergantungan dari negara lain. Pasalnya, peran salah satu atau beberapa investor tidak terlalu dominan.

Namun, pemerintah Indonesia tampak cenderung memilih penerbitan SBN untuk mendapatkan uang meski skema ini memiliki bunga yang besar yaitu 8 persen. Buktinya, porsi SBN mendominasi sampai 80 persen dari total utang. Sementara jika skema pinjaman dengan konsep utang bilateral dan multilateral hanya memiliki bunga 1,2 persen.

"Bedanya apa, di era Sri Mulyani ini kenapa dihujani kritik, karena SBN itu menawarkan bunga yang relatif tertinggi di Asia Pasifik. Jadi dia (SBN) sampai 8 persen bunganya per tahun. Sementara kalau pinjaman di era SBY dan sebelum-sebelum presiden itu memang pinjaman itu relatif lebih rendah bunganya. Sekarang pun bisa menawarkan sekitar 1 sampai 2 persen ya," jelas Bhima.

Ia mengatakan, di tahun 2010 porsi SBN masih di angka 20 persen. Angka ini berbeda dibandingkan sekarang yang mencapai 80 persen

"Jadi SBN itu sudah ada sebenarnya dari lama tapi porsinya masih kecil dulu. Nah sekarang terbalik 80 persen SBN 20 persennya pinjaman. Jadi ada konsekuensi kita membayar bunga lebih mahal. Itu yang dikritik tuh yang tertinggi se-Asia Pasifik," kata Bhima.

Baca juga artikel terkait UTANG INDONESIA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Alexander Haryanto