tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani membenarkan bila saat ini pembayaran utang pemerintah mengalami kenaikan seiring naiknya nominal utang yang diterbitkan pemerintah. Terutama bila besaranya turut membengkak lantaran penurunan harga komoditas dan ekspor.
Namun Sri Mulyani meminta utang pemerintah itu dilihat dalam konteks yang lebih besar serta bukan hanya nominalnya.
“Yang harus dilihat dan dibandingkan tidak hanya nominal. Nanti itu membingungkan dan cenderung menakut-nakuti masyarakat,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kementerian Keuangan pada Selasa (29/1).
Sri Mulyani menjelaskan bahwa dari utang tersebut pemerintah mampu memberikan manfaat bagi perekonomian. Seperti menjaga stabiltias ekonomi, membangun infrastruktur, menekan angka kemiskinan hingga menjaga pertumbuhan ekonomi.
“Itu tujuannya jadi jangan sampai kehilangan konteks,” ucap Sri Mulyani.
Sebelumnya, Faisal Basri melalui blog pribadinya memberi catatan terkait pembayaran utang pemerintah yang dinilai meningkat signifikan dalam 5 tahun terakhir.
Kendati utang Indonesia masih berada jauh di bawah batas rasio utang terhadap PDB, beban pembayarna utang terhadap APBN dianggap terus meningkat. Menurut Faisal, pembayaran utang meningkat dari 7,5 persen menjadi 11,7 persen di tahun 2019 dari belanja total dan 11,1 persen menjadi 17,9 persen dari belanja pemerintah pusat.
Disamping itu, ia juga mengkritisi surat utang pemerintah Indonesia dalam rupiah yang dipegang investor asing pada porsi 37,8 persen. Lebih besar dari rata-rata negara berkembang lain yang hanya 25 persen dari porsi totalnya.
Menurutnya, Hal itu dapat membuat perekonomian Indonesia menjadi rentan terhadap gejolak eksternal. Belum lagi tingkat pengembalian untung utang Indonesia (yield) yang bertenor 10 tahun mencapai 8,1 persen per 25 Januari 2019.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nur Hidayah Perwitasari