tirto.id - Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ester Sri Astuti menilai izin lingkungan turut menghambat pengembangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia.
Salah satunya, adalah ketentuan pengelolaan limbah yang jadi syarat penerbitan izin lingkungan dan diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 16 tahun 2012.
Dalam beleid tersebut, industri TPT dipaksa menjaga chemichal oxygen demand (COD) dan biologycal oxygen demand (BOD) di level 115. Level tersebut, menurutnya memberatkan pengusaha lantaran lebih tinggi ketimbang negara-negara lain.
"Bayangkan regulasi KLHK Permen 93/2019 itu menetapkan parameter limbah tekstil itu lebih tinggi dari standar Eropa. Artinya parameter kualitas limbah ini dinilai terlalu tinggi dibanding negara lainnya," ucap Ester di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Kebijakan tersebut juga dianggap tidak adil lantaran industri lain seperti minyak sawit mentah dan kertas diperbolehkan di level yang lebih tinggi. "Kasihlah normal at least sama dengan negara lain. Kami mengimbau ini untuk menyelamatkan industri tekstil," imbuhnya.
Di samping itu, kebijakan perpajakan juga disinyalir ikut membebani pengusaha tekstil indonesia. Pasalnya, seluruh produk tekstil baik dari hulu hingga hilir dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN).
Hal ini membuat produk tekstil Indonesia kalah saing dengan negara lain lantaran harganya lebih mahal.
Pemerintah memang telah menyediakan mekanisme restitusi PPN bagi eksportir TPT. Namun, tetap saja pengenaan PPN memberatkan pengusaha dan membebani arus kas perusahaan.
"Kita harus berkaca dari China yang membanjiri produk TPT di Indonesia. Mereka memberikan pengembalian pajak ke produsen tiongkok yang melakukan ekspor sehingga harga mereka lebih kompetitif, dan ada insentif ke perusahaan yang melakukan ekspor," ujarnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana