Menuju konten utama

IMPARSIAL Kritik Rencana Kemendikbud Gandeng TNI untuk Mengajar

Imparsial menganggap rencana Kemendikbud untuk menggandeng TNI sebagai pengajar di daerah terluar harus ada keputusan politik dari presiden.

IMPARSIAL Kritik Rencana Kemendikbud Gandeng TNI untuk Mengajar
Sejumlah aktivis menggelar Aksi Kamisan ke-576 bertajuk Menolak Dwi Fungsi Militer di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/2/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/wsj.

tirto.id - Direktur IMPARSIAL Al Araf mengkritisi rencana Kemdikbud yang ingin menggandeng TNI dalam pelibatan bantuan tenaga pengajar di daerah terpencil.

Menurut Al Araf, pelibatan TNI sebagai tenaga pengajar harus ada keputusan politik dari Presiden. Alasannya, basis dasar militer disiapkan untuk perang. Jika kemudian, militer dilibatkan dalam hal lain maka harus ada keputusan politik dari Presiden.

"Jadi kalau tadi ditanya soal guru, maka basis dasarnya adalah apakah pelibatan itu didasarkan keputusan politik? Kalau tidak, itu suatu kekeliruan," kata Al Araf saat ditemui di Komnas HAM, Jumat (1/3/2019) siang.

Keputusan politik yang dimaksud oleh Al Araf adalah Presiden RI harus mengeluarkan peraturan khusus berupa Perpres. Karena TNI berada di bawah komando Presiden langsung.

"Berikutnya, apakah Presiden dalam menilai pelibatan TNI mengajar itu menganggap situasi dan kondisinya memang di daerah tersebut tak memiliki kapasitas guru yang ada?" tanya Al Araf.

Jika memang demikian, jelas Al Araf, Presiden harus mengasumsikan bahwa kebijakan pelibatan TNI dalam mengajar hanya bersifat sementara, tidak permanen.

"Ngapain lama-lama? Karena militer hanya baris berbaris untuk tentara," katanya.

Al Araf juga mempertanyakan mengapa Kemdikbud harus melibatkan TNI untuk mengajar, padahal di saat yang sama banyak guru yang bergaji honorer yang tak dimanfaatkan oleh Kemendikbud.

Kemendikbud sedang mempersiapkan 900 TNI AD dari Batalyon 303 Raider Garut dan Batalyon 600 Raider Balikpapan untuk menjadi guru cadangan di Nunukan dan Malinau, Kalimantan Utara. Menurut Mendikbud, rencana itu dilakukan karena sangat sulit untuk menaikkan status guru honorer menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Menurut Pemerhati Pendidikan Doni Koesoema A rencana itu tidak tepat. Ia berpendapat, persoalan mendasarnya adalah Kemendikbud belum optimal dalam melakukan pemerataan guru di daerah terluar.

"Kualitas guru, banyak yang hanya lulusan SMA, tidak adanya insentif sebagai guru, dan kondisi geografis yang sulit," ujar pria yang juga tercatat sebagai tenaga ahli di Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan (PASKA) Kemendikbud ini.

Baca juga artikel terkait KEMENDIKBUD atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Agung DH