tirto.id - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Prof dr Ilham Oetama Marsis mengatakan pihaknya menunda pelaksanaan putusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI berupa sanksi pemecatan dan pencabutan rekomendasi izin praktik dr Terawan Agus Putranto.
"PB IDI menunda melaksanakan putusan MKEK karena keadaan tertentu. Ditegaskan bahwa hingga saat ini dr Terawan Agus Putranto masih berstatus sebagai anggota IDI," kata Marsis dalam konferensi pers di kantor PB IDI Jakarta, Senin (9/4/2018) dilansir Antara.
Keputusan penundaan tersebut, menurut Marsis, dilakukan karena IDI masih melakukan proses verifikasi dan mengumpulkan bukti-bukti tambahan terkait putusan yang diberikan dari MKEK juga jawaban dari dr Terawan dalam forum pembelaannya yang dilakukan pada Jumat (6/4/2018).
Terapi medis oleh dr Terawan Agus Putranto mengundang polemik. Mengklaim metode terapi 'cuci otak' bisa ampuh mengobati stroke, sang dokter kepresidenan itu mengaku telah melayani 40 ribuan pasien sejak 2004. Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto sejak 2015 itu telah menjadi magnet bagi para politisi berobat kepadanya.
Namun, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI menilainya lain. Majelis mencabut izin sementara keanggotaan Terawan sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia selama 12 bulan, terhitung sejak 26 Februari 2018.
Sementara itu, Marsis menjelaskan putusan MKEK IDI hanya berupa rekomendasi kepada PB IDI, sementara PB IDI bertugas sebagai eksekutor rekomendasi tersebut.
Ia mengatakan penundaan tersebut sangat tergantung pada pembuktian dengan hasil akhir putusan.
"Penundaan bagi kita sangat tergantung pada bukti-bukti, bisa suatu pembebasan dari tuduhan, namun bisa juga kita melakukan rekomendasi dari MKEK," ujarnya.
Sebelumnya, MKEK IDI merekomendasikan agar putusan pemberian sanksi kepada dr Terawan berupa pemecatan sebagai anggota IDI selama satu tahun dan pencabutan rekomendasi izin praktik.
MKEK IDI beralasan dr Terawan dianggap mengiklankan diri terkait metode terapi cuci otak melalui DSA yang dilakukannya, menarik bayaran besar, dan menjanjikan kesembuhan pada pasien di mana hal tersebut bertolak belakang dengan etika kedokteran.
Secara ilmiah, pengobatan baru ala Terawan tersebut juga masih diragukan oleh promotor disertasinya, Prof. dr. Irawan Yusuf, Ph.D., guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makasaar.
Menurutnya, peran utama brainwash hanya meningkatkan aliran darah pada otak terhadap pasien stroke kronis, dan memperbaiki suplai darah ke jaringan tersumbat ke otot jantung. Dari sana, oksigen, nutrisi, dan obat bisa memperpanjang napas, sehingga gejala klinis bisa membaik. Sementara kesimpulan yang ditonjolkan oleh dokter Terawan "terlalu berlebihan".
Dalam putusan Majelis, Irawan menegaskan bahwa temuan Terawan belum dapat dijadikan terapi alternatif untuk mengganti terapi standar. Dari sini, tegasnya, brainwash atau brainspa jelas bukan untuk penyembuhan.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani