tirto.id - Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mengungkapkan kinerja industri farmasi menjadi lebih tertekan imbas Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diwajibkan pemerintah kepada hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Menurut Ketua Umum IAI, Noffrendi Roestam, ketika terkuak kabar harga obat mahal di pasaran, produsen obat utamanya obat generik dan generik bermerek, justru harus menjual obat dengan harga murah kepada para peserta JKN.
Dalam hal ini, kata dia, harga obat murah dapat terjadi karena pemerintah memaksa para produsen menjual obat buatannya dengan harga yang sangat miring. Sebagai contoh, harga obat originator di Malaysia dijual dengan harga sektar Rp5.800, sedangkan di Indonesia obat yang sama dihargai sebesar Rp15 ribu.
"Luar biasanya, ketika dia masuk e-katalog (e-commerce obat JKN), ini jadi sekitar Rp1.500-an. Jadi, turun 50 persenan [harga] obat itu. Ini yang generik bermerek, apalagi yang generik aja tanpa merek, itu harganya [turun] 50 persen lagi. Pemerintah di Program JKN bisa menekan sampai cuma Rp100. Ibaratnya pemerintah itu menekan [harga obat] untuk JKN," kata dia dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (25/7/2024).
Menurut Noffrendi, produsen masih mau ambil bagian dalam ekosistem JKN ini karena diiming-imingi volume yang besar dari kebutuhan obat untuk para peserta JKN.
Berdasarkan catatan IAI, dari tiga jenis obat, originator, generik bermerek dan generik, kebutuhan obat tablet untuk JKN dengan harga khusus mencapai 93 persen dari pasokan dijual, dengan harga di bawah Rp500. Sedangkan 77 persen obat sirup dihargai sekitar Rp7 ribu dan 65 persen injeksi hanya sebesar Rp2 ribu.
"Kami khawatir, kalau terus menekan harga, yang terjadi adalah kekosongan obat, orang nggak mau lagi produksi. Kalau teman-teman sering dengar ada obat-obatan kosong, ya karena itu. Harganya sudah sangat murah sekali, terutama kalau untuk JKN," keluh Noffrendi.
Padahal, untuk mencapai kemandirian produksi obat seperti yang dicita-citakan pemerintah, produsen obat perlu melakukan riset dan pengembangan (R&D). Apalagi, sebelum bisa menjual obat, perusahaan harus melakukan riset dan pengujian berkali-kali untuk mendapatkan obat yang aman dan berkhasiat untuk manusia.
"Harapan kita [JKN] dilanjutkan, cuma harapan kita [juga] harga bisa realistis, untuk industrinya bisa berkembang, jadi harganya harga yang rasional. Sebab obat ini punya nilai sosial, bukan produk biasa, karena bisa menyembuhkan orang. Dan ini kita penting karena untuk ketahanan dalam negeri kita, yang belum kan dari sisi bahan baku," ungkap Noffrendi.
Soal harga obat mahal, lanjut dia, perlu ditilik kembali jenis obat apa yang mengalami kenaikan. Noffrendi menjelaskan, dari ketiga jenis obat, originator yang hanya bisa didapatkan melalui impor memang memiliki harga jual lebih tinggi.
Sedangkan generik bermerek yang sering kali merupakan tiruan dari originator, dijual dengan harga lebih rendah karena sudah bisa doproduksi sendiri oleh produsen obat lokal.
"Yang kemarin diributkan dan bermasalah itu yang [obat] originator. Itu cuma 10 persen yang pakai, bukan 90 persen. Jadi kalau dikatakan obat di Indonesia mahal, yang mana dulu?” tukas Noffendri.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi