tirto.id - Seorang pemuda 28 tahun bergegas dari kediamannya menuju panggung Salle Érard di Paris. Ia dijadwalkan tampil pada Sabtu 3 Maret 1888. Di belakang panggung, ia sibuk menenangkan dirinya sendiri yang gemetar bukan main. Maklum, hari itu benar-benar menegangkan karena ia akan menggelar permainan piano perdananya di kota Paris.
Keringat dingin mengalir deras dari balik rambut keritingnya yang tebal. Salle Érard bukan panggung biasa, melainkan panggung milik keluarga pemilik pabrik piano, harpa, dan harpsichord, Mereka dihormati karena kualitas produknya begitu bagus. Terlebih Salle Érard yang kecil itu punya kualitas akustik yang sangat bagus dan pernah jadi tuan rumah untuk resital para musisi besar seperti Charles Valentin Alkan, hingga Camille Saint-Saens. Belakangan, nama-nama seperti Éric Satie dan Maurice Ravel pun menggelar resital di sana.
Pukul sembilan malam, pemuda itu naik panggung dan membungkuk memberi penghormatan ke arah penonton yang bertepuk tangan. Sebelum gemuruh tepuk tangan benar-benar berhenti, ia sudah mengambil posisi duduk di depan pianonya. Beberapa saat kemudian, ia mengisi ruangan dengan serangkaian not C minor Variations karya Beethoven. Musiknya berlanjut ke karya Chopin dan 4 set musik karyanya sendiri, lalu menutupnya dengan Rhapsody karya komposer Hungaria, Franz Liszt.
Penonton puas. Mereka berdiri dan bertepuk tangan. Ignacy Jan Paderewski, nama pemuda itu, langsung berdiri dan membungkuk sekali lagi untuk berterima kasih pada penonton selayaknya ritual resital musik Barat pada umumnya. “Bravo Paderewski!” teriak seseorang dari kursi penonton.
Karier Musik dan Politik
Paderewski lahir di Kurilicka, wilayah Podolian Governorate, Imperium Rusia--kini wilayah Ukraina. Sejak kecil ia tertarik pada musik. Kondisi ekonomi keluarganya yang terbilang berkecukupan membuatnya lebih mudah mempelajari musik. Salah satunya dengan menyewa seorang pelatih piano sebelum masuk ke Warsaw Conservatory di usianya yang baru 12 tahun. Enam tahun kemudian, ia lulus dengan baik dan menikahi teman satu almamaternya, Antonina Korsakówna.
Nasib pasangan baru itu nahas. Antonina meninggal beberapa minggu setelah melahirkan. Paderewski yang bersedih memutuskan mendedikasikan waktunya untuk mendalami musik dengan lebih serius. Pada 1881 ia pindah ke Berlin untuk belajar komposisi musik dengan berguru pada musisi kenamaan, Jerman Friedrich Kiel dan Heinrich Urban.
Setelah pindah ke Berlin, aktivitasnya sebagai pianis membuka pintu bagi Paderewski untuk bergaul dengan berbagai golongan sosial masyarakat. Terutama ketika ia mendapat kesempatan bertemu dengan Helena Modrzejewska, artis Polandia. Mereka mengatur serangkaian pertunjukan publik di Polandia yang salah satu tujuannya untuk menggalang dana bagi Paderewski yang ingin melanjutkan studi pianonya. Acara itu sukses besar. Paderewski mendapat cukup dana untuk pindah ke Vienna dan belajar di bawah bimbingan maestro Theodor Leschetizky.
Karier musiknya kian berkembang. Paderewski juga mendapatkan keuntungan finansial yang cukup untuk menetap di Amerika Serikat pada 1913. Ia membeli tanah dan bangunan seluas sekitar 810 hektare di California. Paderewski juga mencurahkan perhatiannya pada situasi politik yang dinamis. Salah satu peran pentingnya dalam dunia politik adalah mendanai pembangunan monumen untuk mengenang 500 tahun peperangan Grunwald.
Sejak itu, status Paderewski mulai dikenal sebagai seniman dermawan. Ia mulai terlibat dalam politik praktis ketika menjadi anggota aktif Komite Nasional Polandia di Paris. Komite ini merupakan awal mula gerakan yang ingin melahirkan negara Polandia merdeka.
Meski begitu, di akhir masa Perang Dunia ke-1, kota Poznań dan wilayah Polandia lainnya masih abu-abu. Belakangan, Paderewski ikut andil dalam membangkitkan semangat penduduk Polandia untuk melakukan pemberontakan terhadap militer Jerman yang dikenal dengan sebutan Greater Poland Uprising.
Pada 1919, status Polandia akhirnya menjadi negara independen yang dipimpin oleh Józef Piłsudski. Dalam struktur pemerintahan negara baru itulah Piłsudski menunjuk Paderewski sebagai Perdana Menteri sekaligus deputi menteri urusan luar negeri.
Dalam Paris Peace Conference tahun itu, Paderewski menjadi perwakilan Polandia bersama dengan Roman Dmowski untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Polandia, terutama yang berkaitan dengan batas-batas wilayah serta hak minoritas. Paderewski menandatangani Kesepakatan Versailles yang menandai kemerdekaan Polandia setelah PD-1.
Pada bulan-bulan berikutnya, kiprah politik Paderewski cukup gemilang. Di antaranya berhasil menggelar pemilihan parlemen yang demokratis, meratifikasi kesepakatan Versailles, dan mengesahkan aturan perundangan yang melindungi etnis minoritas.
Namun, di luar pencapaian itu, administrasi pemerintahannya kacau hingga publik yakin bahwa ia bukan seorang politikus andal. Kepercayaan rakyat pun luntur dan memaksanya untuk mengundurkan diri.
“Ia menerima banyak sekali kritik yang memperlihatkan kegagalannya sebagai administrator dan politikus. Salah satu tuduhan paling berat yang diarahkan padanya: ia menyeret Polandia semakin tunduk pada kekuatan dunia Barat,” tulis Mieczysław B. Biskupski dalam The United States and the Rebirth of Poland, 1914 - 1918 (1987:503).
Pada 1922 Paderewski akhirnya benar-benar mundur dari dunia politik meski sempat menjadi diplomat untuk Polandia. Setelah itu ia kembali menjadi pianis. Konser pertamanya setelah sekian lama absen digelar di Carnegie Hall, AS. Ia juga sukses menggelar konser di Madison Square Garden sebelum menjalani tur keliling AS.
Pada 27 Juni 1941, kondisi kesehatan Paderewski menurun secara mendadak. Ia didiagnosa mengalami pneumonia. Meski sempat agak membaik, ia akhirnya meninggal malam itu juga di New York dan dimakamkan di Arlington, Virginia. Baru pada 1922, ketika komunisme di Polandia berakhir, jenazahnya dipindahkan ke Warsawa dan dikuburkan di Katedral Agung St. John.
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi