tirto.id - Sebuah forum dialog internasional mendesak negara-negara di dunia untuk mulai berani membangun kerja sama untuk mengatasi akar penyebab kemiskinan dan aksi-aksi ekstremisme, sebab jika tidak ancaman terorisme dan migrasi global akan semakin memburuk baik di negara kaya maupun miskin.
Dialog internasional mengenai pembangunan negara dan perdamaian (International Dialogue on Peacebuilding and Statebuilding/IDPS) yang dipimpin Swedia menyebutkan pada Selasa, (4/5/2016), bahwa aksi kekerasan ekstremisme belakangan ini - seperti serangan teror yang telah terjadi di Paris dan Brussels - bersama dengan migrasi massal memberikan tantangan besar bagi semua bangsa.
Untuk itu, Menteri Kerja Sama Pembangunan Internasional Swedia Isabella Lövin, seperti dikutip oleh kantor berita Antara dari Reuters, mengimbau semua negara untuk mempercepat serta meningkatkan upaya untuk mengatasi penyebab konflik dan mencapai tujuan global mengakhiri kemiskinan akut pada 2030.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah konflik secara global tidak berubah selama satu dasawarsa terakhir antara 31 dan 37, namun 2014 merupakan tahun paling mematikan sejak akhir Perang Dingin, demikian menurut Program Data Konflik Uppsala Swedia.
Lonjakan itu sebagian besar akibat konflik Suriah dan Irak.
Lebih lanjut, beberapa studi menunjukkan bahwa jika aksi internasional tidak terkoordinir hingga 2030, dua pertiga masyarakat miskin dunia akan hidup di negara-negara dan kawasan yang dilanda kekerasan dan kerentanan endemi.
Konflik, kemiskinan dan perubahan iklim telah memaksa 60 juta orang meninggalkan kampung mereka - jumlah tertinggi sejak Perang Dunia II - dengan 1,5 miliar orang hidup di negara-negara rentan, yang dinyatakan sebagai negara miskin dengan struktur negara lemah.
Lövin mengatakan kegagalan mengatasi penyebab konflik atau kemiskinan akut akan memperburuk ketidakstabilan dunia, sehingga komitmen untuk mendukung negara-negara yang rentan dan dilanda konflik sangat mendesak untuk diperbaharui.
"Meningkatnya arus pengungsi, kekerasan ekstremisme, peningkatan perang dan konflik, serta bencana-bencana terkait iklim telah mengubah lanskap global," katanya, dalam sebuah pernyataan pada pertemuan IDPS ke-5 itu.
Pertemuan IDPS itu sendiri dilakukan dalam bayang-bayang serangan di Prancis dan Belgia oleh ISIS yang masing-masing menewaskan 130 dan 35 orang.
Lövin mengatakan perubahan dalam lanskap dunia menyoroti pentingnya peran IDPS yang lebih kuat.
IDPS sendiri diluncurkan pada 2008 dengan misi menemukan cara untuk mendukung negara-negara keluar dari konflik dan kerentanan serta mencapai ketahanan dan perdamaian melalui dialog politik.
IDPS mencakup lebih dari 40 negara, sembilan organisasi multilateral termasuk Bank Dunia dan PBB, serta kelompok-kelompok masyarakat madani yang jumlahnya semakin bertambah.
Lövin menyerukan kepada negara-negara anggota IDPS untuk memperbaharui komitmen apa yang disebut sebagai New Deal (Perjanjian Baru) pada 2011, yang mengusulkan lima tujuan pembangunan negara dan perdamaian - politik yang legal, keamanan, keadilan, dasar-dasar ekonomi, serta pemasukan dan jasa.
"Sekarang lebih penting dari apapun untuk mengatasi akar penyebab konflik, untuk berperang melawan kemiskinan akut dan menciptakan ketahanan," kata Lövin. (ANT)