tirto.id - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyoroti sejumlah permasalahan yang masih perlu dibenahi oleh Kemenkes, khususnya berkaitan kepentingan masyarakat.
"Sarana dan prasarana kesehatan di pelosok-pelosok Indonesia yang belum terpenuhi, sehingga untuk apa punya kartu [JKN] tetapi tidak dapat mengakses sarana kesehatan," kata Ketua IDI Daeng Faqih ditemui di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019).
"Distribusi dokter dan tenaga kesehatan yang merata, tentunya di daerah yang sudah ada fasilitas yang mumpuni, banyak dokter dikirim ke suatu daerah tetapi tidak ada fasilitas yang membuat dokter itu bisa bekerja," lanjutnya.
Kemudian, ujar Daeng, masalah sistem kesehatan. Pasalnya, menurut Daeng, jika sistem kesehatannya baik, maka dokter dan tenaga kesehatan akan menjadi baik juga dalam bekerja.
Sebaliknya, jika sistemnya tidak baik, maka dokter baik pun tidak bisa menjadi baik dalam ber praktik kedokteran.
"Komitmen terhadap usaha promotif dan preventif tidak sebatas kata-kata, tetapi dengan usaha yang konkret. Salah satunya dengan anggaran yang cukup dan pengarusutamaan fungsi puskesmas. Puskesmas jangan lagi mengurusi JKN atau BPJS dalam kuratif," ujar Daeng.
"Tetapi fokus ke usaha promotif dan preventif. Kita hanya memiliki 9.850 puskesmas di Indonesia dan yang terakreditasi paripurna hanya sedikit sekali sekitar 100 [puskesmas], artinya hanya 1 persen," lanjutnya.
Dengan itu, jelas Daeng, jika dibagi rata dengan penduduk Indonesia, maka satu puskesmas harus menjaga 27 ribu penduduk.
"Kalau serius bekerja, ini saja sudah kelabakan pastinya. Terlebih, kondisi geografis menjadikan masalah semakin sulit, bayangkan, apalagi disambi dengan mengurus BPJS," ungkap Daeng.
"IDI sangat prihatin dengan meningkatnya jumlah orang sakit yang tidak terkendali. Dan ini akan menurunkan target-target SDGs serta beban JKN menjadi tinggi dengan banyaknya orang sakit," lanjutnya.
Daeng juga menyoroti masalah Indonesia yang masih tertinggal dari segi penggunaan teknologi.
Ketinggalan tersebut terjadi akibat dari regulasi yang sangat tidak mendukung terhadap eksisnya dunia kedokteran dan pelayanan kesehatan di Indonesia.
"Oleh karena itu, IDI meminta untuk segera diperbaiki. Sebagai contoh, di Malaysia, pajak obatnya dihilangkan, begitu pula pajak alkes, dan banyaknya regulasi yang menjadikan dokter-dokter di Malaysia eksis bisa bersaing," ujar Daeng.
"Kami merasakan terdapat regulasi yang menyulitkan misalnya tentang pendirian klinik, dan saat ini PMK 30/2019" lanjutnya.
Kemudian, Daeng menyoroti masalah mengembangkan dunia kedokteran di Indonesia secara utuh, mulai dari masa pendidikan dokter, hingga selepas para dokter bertugas.
Pada program pendidikan spesialis, perlu realisasi penerapan insentif dan perlindungan hukum bagi peserta pendidikan.
"Distribusi dokter dan dokter spesialis dilakukan dengan prinsip kolaborasi dengan stimulasi berupa reward dan insentif yang proporsional sesuai beban geografis serta jaminan kepastian dan perlindungan hukum yang lebih baik," ujar Daeng.
"IDI mendorong realisasi penerapan basic salary bagi dokter umum dengan besaran yang mencerminkan apresiasi terhadap proses pendidikan dan pelatihan yang telah dijalani untuk mencapai lisensi dokter, beban dan risiko pekerjaan yang dihadapi oleh para dokter umum," katanya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali