tirto.id - Rendahnya tingkat kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerepotan. Sebab, data itu merupakan salah satu pintu masuk untuk menyelidiki adanya potensi korupsi pejabat negara.
Di kalangan anggota DPR, misalnya, kepatuhan hanya tercatat sebesar 21 persen per tanggal 19 Januari 2019. Angka ini cukup memprihatinkan karena masih sangat rendah.
“Kami buka klinik LHKPN khusus di Gedung DPR, ternyata penyampaian elektroniknya hanya 21 persen,” kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, di Gedung Merah Putih KPK, Rasuna Said, saat itu (14/1/2019).
Mirisnya, Wakil Ketua DPR Fadli Zon justru mengusulkan agar kewajiban mengisi LHKPN dihapus. Ia menganggap LHKPN tak lagi diperlukan karena kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan pejabat sudah tuntas lewat Surat Pelaporan Tahunan (SPT) Pajak.
Belakangan, sikap Fadli itu dijawab oleh petinggi KPK dengan ide cukup cemerlang: mengintegrasikan SPT Pajak dengan LHKPN. Disebut cemerlang, karena data di kedua lembaga itu bisa saling menguatkan.
Ditjen Pajak bisa mengerek pendapatan dari potensi pajak yang selama ini luput dari pengawasan, sementara KPK bisa menilai integritas pejabat negara dari perbedaan data di SPT Pajak dengan LHKPN.
“Itu ide sangat menarik dan harus kita dorong bersama. LHKPN bisa digunakan oleh pegawai pajak untuk memverifikasi nilai dari SPT Pajak. Kan, kita tahu pajak penghasilan pribadi masih rendah. Artinya ada penerimaan negara yang belum tergali potensinya,” kata Koordinator Divisi Riset ICW, Firdaus Ilyas, Senin (4/3/2019).
Namun, yang perlu dicatat, integrasi data itu mesti diiringi dengan kepatuhan para pejabat dalam melaporkan LHKPN. Setidaknya, kata Ilyas, dalam mengisi formulir online yang sudah disediakan oleh KPK.
Sebab, kata Firdaus, berbeda dengan LHKPN, SPT Pajak tidak bisa diakses langsung oleh publik.
“Biasanya data pajak yang bisa dibuka untuk kepentingan projustisia,” imbuh Firdaus.
Hal itu juga diatur dalam Undang-Undang (UU) 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 34 ayat (1) beleid tersebut menjelaskan: setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak.
Menurut Firdaus, ketidakpatuhan pejabat melapor LHKPN, selain membuat pengawasan yang dilakukan oleh KPK tak optimal, juga akan merugikan publik.
“Karena LHKPN juga bisa dijadikan dasar untuk meritokrasi. Misalnya pejabat tidak bisa maju lagi sebagai caleg kalau SPT dan LHKPN-nya bermasalah,” kata Firdaus.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama berujar, sebenarnya koordinasi antara Kemenkeu dengan KPK dalam hal pencegahan korupsi dan optimalisasi penerimaan pajak sudah terjalin.
Namun, selama ini memang penggunaan data SPT Pajak untuk membantu tugas-tugas KPK masih belum optimal. Lantaran itu, kata Yoga, instansinya menyambut baik wacana integrasi data yang digulirkan oleh KPK.
“Kalau ada peningkatan dalam konteks penyidikan kasus oleh KPK, kami, kan, selalu bisa memberikan datanya ke mereka," tutur Yoga.
Lagi pula, selama ini LHKPN yang diminta KPK dari para pejabat juga mewajibkan penyertaan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) serta nomor Induk Kependudukan (NIK). Sehingga jika ada potensi korupsi, maka akan lebih mudah terdeteksi dari tidak sinkronnya data antara kekayaan dengan penghasilan resmi tersebut, baik berupa aset maupun tabungan.
"Kalau KPK melihatnya ada penambahan harta tidak sesuai profile pendapatan dia, itu kan ada masalah di kredibilitas dan sebagainya. Kalau pajak, kan, berbeda, kalau ada perbedaan pendapatan terhadap profile dia, berarti terhutang dan belum dibayarkan pajaknya,” kata Yoga.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz