tirto.id - DPRD DKI Jakarta berencana menarik retribusi dari kantin sekolah yang dinilai berpotensi menghasilkan pendapatan tinggi. Wakil Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta, Sutikno, mengatakan hendak menarik retribusi dari kantin sekolah usai mengetahui bahwa sekolah menarik tarif sewa per lapak senilai Rp5 juta per tahun.
"Kantin di SMA 32 di daerah Cipulir, ada sekitar 14 kantin (tenant), setiap tahunnya membayar Rp5 juta, berarti sudah Rp70 juta di satu sekolah," ucap Sutikno dalam keterangannya, Kamis (21/11/2024).
Ia lantas meminta Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta mendata jumlah kantin di dalam sekolah. Politikus PKB itu menilai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) harus jeli saat hendak menggali potensi pendapatan daerah dari retribusi.
Sutikno berharap, Disdik DKI dapat mengkaji soal penarikan retribusi kantin sekolah. Disdik DKI juga diminta mengusulkan pembuatan payung hukum soal tarif retribusi kantin sekolah.
“Sekolah didata kantinnya. Ini bisa menjadi pemasukan retribusi. Harus teliti, harus jeli, ada potensi uang masuk,” tuturnya.
“Sudah kami sampaikan ke Inspektorat [DKI] agar ada payung hukumnya. Biar sama-sama tidak melanggar aturan dan sesuai ketentuan, sehingga pendapatan retribusi bisa naik,” sambungnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdik DKI, Purwosusilo, mengatakan terdapat sekitar 1.788 kantin tersebar di seluruh sekolah negeri. Sebanyak 1.305 kantin di SD, 293 kantin di SMP, 117 kantin di SMA, dan 73 kantin di SMK.
Purwosusilo mengaku sepakat untuk menyiapkan rancangan payung hukum mengoptimalkan potensi pendapatan retribusi daerah dari seluruh kantin sekolah.
“Memang perlu regulasi memayungi pemanfaatan aset kantin sekolah. Nanti akan kami koordinasikan ke BPAD (Badan Pengelola Aset Daerah),” ujarnya.
Ditolak
Pedagang Kantin
Rencana penarikan retribusi sontak ditentang para pedagang di kantin sekolah di Jakarta. Salah seorang pedagang di kantin di SMPN 191 Jakarta, Aan, mengaku keberatan dengan rencana penarikan retribusi sekolah. Pasalnya, dia harus membayar Rp850 ribu per bulan untuk menyewa lapak di SMPN 191 Jakarta Barat.
Aan mengaku pendapatannya per hari tidak mencukupi jika harus membayar uang sewa sekaligus retribusi kantin sekolah. Ia enggan mengungkapkan berapa pendapatannya per hari. Namun, Aan mengatakan pendapatannya habis hanya untuk belanja kebutuhan berjualan.
"Pendapatan sepi. Berat, enggak bisa [bayar retribusi kantin]. Ini saja kami sudah bayar per bulan Rp850 ribu. Kalau pajak berat," katanya melalui sambungan telepon, Jumat.
"Jadi, ya, pendapatannya enggak sesuai lah [dengan pengeluaran]. Pendapatan [per hari] buat muter-muter belanja," lanjut dia.
Aan berharap DPRD DKI Jakarta tidak menarik retribusi pedagang di kantin sekolah. Sebab menurutnya ia terpaksa harus menaikkan harga jualannya jika memang retribusi pedagang diterapkan.
Kini, tambah Aan, saat ia menaikkan harga jualannya, tak ada murid yang membeli dagangan tersebut. Di satu sisi, harga sembako dinilai semakin melambung.
"Enaknya kalau buat saya jangan [menerapkan retribusi pedagang] kalau bisa, karena enggak sesuai sama penghasilan," ucapnya.
"Dulu kan pasar murah, sembako murah, kalau sekarang kan sembako naiknya bukan main. Anak-anak tahu sendiri, [harga] dinaikkan seribu, enggak ada yang beli. Es buah jadi Rp5 ribu berat [untuk murid]," lanjut dia.
Tanggapan Ekonom
Direktur Riset di Bright Institute, M Andri Perdana, menilai pedagang di kantin sekolah ibarat setelah jatuh tertimpa tangga pula. Sebab, kata dia, banyak regulasi yang dinilai tidak menguntungkan mreka.
Misalnya, kata Andri, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), penerapan makan bergizi gratis, hingga rencana penarikan retribusi pedagang di kantin sekolah.
"Bagi mereka, tentu adalah berita yang sangat buruk ya. Mungkin ke depannya akan banyak usaha tersebut yang mati, dan mungkin hanya beberapa saja yang bisa bertahan kalau kita lihat dari retribusi itu," ucapnya melalui sambungan telepon.
Menurut Andri, DPRD DKI Jakarta seharusnya mencari pendapatan daerah selain dari retribusi pedagang kantin. Legislatif Jakarta disebut bisa memaksimalkan pendapatan daerah dari sektor hiburan atau sektor properti.
Pasalnya, Andri menilai sektor hiburan dan properti dapat memberikan pendapatan daerah yang besar bagi DKI Jakarta.
Andri mempertanyakan sikap DPRD DKI yang hanya berani memalak masyarakat kalangan menengah ke bawah, tetapi melempem kepada masyarakat menengah ke atas.
"Mereka jauh lebih berani untuk memajaki kelas-kelas yang rentan ya, yang kondisinya cukup berat, dibandingkan yang mereka masih sangat bisa dipajaki, yaitu kelas atas," tuturnya.
Andri meminta DPRD DKI menyimulasikan pendapatan yang bisa didapatkan dari retribusi pedagang di kantin sekolah. Meski terdapat seribu-an kantin sekolah di Jakarta, Andri meyakini retribusi yang akan didapat tak signifikan meningkatkan pendapatan DKI.
Terlebih, pemerintah pusat hendak menerapkan makan bergizi gratis. Program itu otomatis membuat penjualan pedagang di kantin sekolah menurun.
"Saya rasa, kalau disimulasikan sekalipun, retribusi terhadap kantin sekolah itu ya sangat tidak signifikan terhadap seluruh kebutuhan fisik yang ada saat ini ya," tutur Andri.
Tanggapan Pengamat Kebijakan Publik
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menilai penarikan retribusi kantin sekolah merupakan program yang tidak realistis. Pasalnya, penarikan retribusi itu dapat menyebabkan pedagang di kantin sekolah berujung bangkrut.
Mengingat, kata Trubus, pedagang di kantin sekolah tidak berjualan selama 24 jam. Mereka hanya berjualan selama ada murid di sekolah.
"Saya melihat rencana itu kurang realistis ya. Kalau ditarik retribusi, ya pedagang kantinnya dapat bangkrut. Yang nama ya sekolah, kantinnya juga tidak beroperadi selama 24 jam kan. Cuman dalam beberapa jam saja, selama ada murid," urai Trubus melalui sambungan telepon.
Ia mengatakan, jika memang ditarik retribusi, pedagang di kantin sekolah bisa jadi menaikkan harga jualnya. Hal ini dapat membuat murid enggan membeli dari kantin sekolah dan membawa makan atau minum dari rumah. Ujungnya, pedagang di kantin sekolah akan mengalami kerugian hingga bangkrut.
Trubus menilai penarikan retribusi merupakan kebijakan yang tidak adil. Sebab, ada sekolah negeri yang diisi murid berlatar belakang masyarakat menengah atas, ada pula sekolah negeri yang sebaliknya.
Trubus menilai Pemprov DKI seharusnya memberikan subisidi kepada para pedagang di kantin sekolah. Sebab, para pedagang di kantin sekolah berperan besar menyediakan makanan bagi warga sekolah.
"Kalau saya melihatnya di Jakarta Selatan ada kantin yang penghasilannya tinggi. Ya itu kan sifatnya kasuistis. Kan banyak juga kantin-kantin yang sekolah-sekolahnya yang miskin-miskin, kan banyak," tutur dia.
Trubus mendorong DPRD DKI agar menarik retribusi dari sektor pelayanan maupun sektor pengingapan daripada pedagang di kantin sekolah.
"Menurut saya, lebih kepada sektor-sektor jasa saja kalau mau. Yang tinggi misalnya, kepada perhotelan atau tempat-tempat wisata. Tempat wisata-wisata itu, itu tinggikan saja retribusinya," katanya.
Tanggapan Pemprov
Meski menuai kontroversi, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi, tidak memberikan jawaban pasti atas rencana penarikan retribusi pedagang di kantin sekolah. Menurut Teguh, Sekretaris DKI Jakarta, Marullah Matali, terlebih dahulu hendak mengkaji rencana retribusi tersebut.
Menurutnya, kajian juga akan dilakukan oleh Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta, Michael Rolandi Cesnanta Brata.
"Tentunya memerlukan suatu kajian yang lebih cermat. Nanti kami serahkan kepada Pak Sekda, Kepala BPKD, untuk mengkaji lebih jauh bagaimana terkait masalah retribusi kantin," ucapnya kepada awak media, Jumat.
Teguh mengakui munculnya rencana itu terjadi saat pembahasan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) DKI Jakarta tahun anggaran 2025. Ia mengatakan belum ada laporan secara resmi soal rencana penerapan retribusi itu kepada dirinya.
"Kemarin kan itu wacana yang sempat muncul pada waktu pembahasan RAPBD, tapi ini secara khusus belum terlaporkan kepada saya," tuturnya.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Irfan Teguh Pribadi