tirto.id - Sejak 2005-2018, Indonesia Corruption Wach (ICW) mencatat sebanyak 22 advokat terjerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, salah satu di antaranya adalah Frederich Yunadi, mantan pengacara Setya Novanto.
Hal tersebut diungkapkan anggota Divisi Judicial Monitoring ICW, Emerson F Yuntho di Jakarta, Minggu (14/1/2018). “Dalam catatan ICW, sedikitnya sudah ada 22 advokat dijerat dengan UU Tipikor,” kata dia.
Emerson menyebutkan, ke-22 advokat itu terdiri atas 16 advokat terlibat dalam kasus penyuapan, empat advokat dalam kasus merintangi penyidikan, dan dua advokat memberikan keterangan yang tidak benar.
Dari data ICW, kasus yang melibatkan 22 advokat itu, mayoritas ditangani oleh KPK sebanyak 16 orang, sisanya ditangani kejaksaan sebanyak lima orang dan kepolisian sebanyak satu orang.
“Hukuman paling tinggi untuk advokat yang terbukti bersalah adalah Haposan Hutagalung divonis 12 tahun penjara,” kata Emerson.
Haposan Hutagalung terlibat dalam mafia kasus Gayus Halomoan Tambunan dengan memberikan keterangan tidak benar asal-usul harta Gayus, menyuap penyidik Polri Arafat Enanie dan Komisaris Jenderal Susno Duadji sewaktu menjabat sebagai Kepala Bareskrim Polri.
Kemudian OC Kaligis dalam perkara suap kepada hakim dan panitera PTUN Medan, Sumatera Utara pada 2015, di tingkat Peninjauan Kembali hukumannya menjadi tujuh tahun penjara.
Sedangkan Frederich Yunadi ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menghalangi dan merintangi penyidikan kasus e-KTP dengan tersangka Setya Novanto pada 10 Januari 2018 sehingga saat ini sudah ditahan di KPK.
Jangan Diskreditkan Advokat
Sementara itu, anggota Komisi Pengawas Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kaspudin Noor mengharapkan, momentum penetapan tersangka Frederich Yunadi saat ini, janganlah untuk mendiskreditkan advokat.
Mantan komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) itu menambahkan, hitungan 22 advokat itu, masih kalah jauh dengan para politisi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.
“Ini bukan membela pengacara, profesi pengacara itu penegak hukum yang paling tidak mempunyai 'power', karena dia membela kliennya dalam posisi sebagai pesakitan hingga membutuhkan harapan-harapan melalui bantuan hukum. Hingga bisa dikatakan advokat itu tidak punya palu, penjara, surat penangkapan dan penahanan,” kata dia.
Kaspudin menambahkan, terjadinya advokat terlibat korupsi itu tidak berdiri sendiri, tentunya karena ada pihak-pihak yang sama-sama dalam perbuatan itu, sehingga pekerjaan advokat tidak terlepas dari aparat penegak hukum lainnya.
“Ini kan bukan kemauannya, tapi akibat 'keadaan terpaksa' hingga mencari jalan seperti itu. Ingat advokat itu tidak digaji oleh negara hingga mencari kebutuhan sehari-harinya baik untuk keluarga maupun pribadinya dengan menjalankan tugas advokat. Kadang-kadang klien ini mencari juga orang yang bisa atau advokat yang berkolusi,” kata dia.
Ia menambahkan “sebenarnya mencari advokat yang baik itu, sangat banyak sekali. Karena itu janganlah membuat patah semangat advokat.”
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz