tirto.id - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan praktik jual beli kamar/lapak tempat tidur di lapas sudah berlangsung menahun. Hal ini, berdasarkan penelitian ICJR, sejalan dengan kondisi buruk dalam lapas dan rutan di Indonesia.
“Kondisi penuh sesak rutan dan lapas membuat hak dasar misalnya tempat tidur yang layak pun menjadi dapat diperdagangkan. Situasi kelebihan kapasitas terus terjadi tanpa solusi konkret,” kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu,Minggu (6/2/2022).
Per 30 Maret 2020 atau saat awal pandemi, jumlah tahanan dan narapidana di Indonesia mencapai 270.721 orang dengan kapasitas total hanya 131.931 orang. Beban rutan/lapas saat itu mencapai 205 persen. Lantas pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan asimilasi di rumah, angka beban lapas sempat turun pada Agustus 2020 menjadi 175 persen.
Mulai 2021 beban lapas kembali meningkat, pada Juni 2021 terdapat beban 200 persen dengan jumlah 271.992 orang atau lebih banyak dari sebelum pandemi dan hingga Januari 2022, beban rutan dan lapas mencapai 223 persen.
Periode tujuh tahun terakhir, pemerintah memiliki banyak momentum untuk berbenah, seperti dari terjadinya pandemi COVID-19 hingga terjadinya kebakaran Lapas Kelas I Tangerang yang mengakibatkan 48 orang warga binaan meninggal. Langkah-langkah penyelesaian kelebihan beban tersebut telah direkomendasikan yakni langkah langsung yang dapat dilakukan oleh eksekutif jajaran Kementerian Hukum dan HAM, hingga langkah jangka menengah melibatkan DPR.
Bila pemerintah benar serius mengatasi permasalahan kelebihan beban rutan dan lapas, menurut Erasmus, terdapat banyak hal yang bisa dilakukan segera. Salah satunya, UU Narkotika yang merupakan masalah utama selama ini, jelas membutuhkan perhatian lebih untuk dikaji ulang.
Ada beberapa upaya langsung eksekutif untuk mengurangi beban rutan/lapas. “Pertama, amnesti/grasi massal bagi pengguna narkotika untuk kepentingan sendiri yang terjerat UU Narkotika berbasis penilaian kesehatan, karena jumlah pengguna narkotika saat ini mencapai 103.081 orang,” terang Erasmus.
Kedua, kebijakan presiden serukan polisi dan jaksa tidak melakukan penahanan rutan untuk pengguna narkotika/tindak pidana ekspresi misalnya penghinaan. Alternatif penahanan non-rutan dapat digunakan seperti tahanan rumah dan kota. Pemerintah juga dapat mendorong penggunaan mekanisme jaminan yang sudah diatur dalam KUHAP.
Ketiga, untuk kasus penggunaan narkotika, yang tidak membutuhkan rehabilitasi medis di lembaga, maka presiden dapat menginstruksikan jaksa untuk menuntut dengan rehabilitasi rawat jalan, mendayagunakan peran puskesmas tanpa perlu memindahkan kelebihan beban rutan/lapas ke pusat rehabilitasi.
Keempat, masih untuk kasus penggunaan narkotika, presiden bisa meminta jaksa untuk menuntut menggunakan Pasal 14a dan c KUHP tentang pidana bersyarat dengan masa percobaan untuk pengguna narkotika, atau syarat rehabilitasi jalan ataupun inap berdasarkan kebutuhan.
Kelima, untuk tindak pidana paling banyak lainnya semisal pencurian dan penganiyaan (tidak untuk kekerasan seksual) dilakukan pendekatan penanganan kasus dengan pengarusutamaan peran korban (restoratif justice), dengan mengutamakan penggunaan ganti kerugian pada korban yang selaras dengan pertanggungjawaban pelaku, bisa dengan memperbanyak penggunaan Pasal 14c KUHP tentang pidana bersyarat berupa penggantian kerugian dengan masa percobaan.
Praktik jual-beli ilegal lapas kembali diungkapkan seorang warga binaan pemasyarakatan Lapas Cipinang, WC, mengatakan ia dan tahanan lain harus membayar untuk dapat kamar di selama menjalani masa hukuman.
WC mengaku harus menyerahkan duit kepada sipir untuk bisa mendapatkan ruangan. “Kalau untuk tidur di kamar, (setoran) antara Rp5 juta-Rp25 juta per bulan. Biasanya mereka yang mendapatkan kamar itu bandar narkoba besar,” ucap dia, Kamis (3/2).
Para tahanan harus membayar kamar lantaran tempat tidur di lapas karena lapas sudah kelebihan beban. Misalnya, ketika mereka ingin tidur di lorong blok beralaskan kardus, maka harus melaporkan kepada tahanan pendamping. ‘Beli tempat’ ini pun memiliki harga sendiri, tergantung ‘besarnya tempat tidur yang dibeli.’
Umpama tahanan ingin ‘beli tempat’ di lorong dekat pot dengan alas kardus, maka mereka harus menyetor Rp30 ribu per pekan. WC menyatakan praktik jual beli ini telah lama berlaku dan diduga menjadi sumber pemasukan petugas lapas. Para tahanan tak berani melaporkan transaksi ini karena mereka tak mau dipindahkan ke sel isolasi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri