tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi memutuskan ibu kota akan pindah ke Kalimantan Timur, tepatnya di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Akan ada migrasi besar-besaran karenanya. Setidaknya 180 ribu Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS bakal pindah mengikuti lokasi kementerian/lembaga (K/L) tempat mereka bekerja.
Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Syafruddin berjanji pemerintah akan menyiapkan fasilitas untuk mereka, setidaknya rumah.
“Paling tidak kalau fasilitas perumahan sudah disiapkan oleh negara, tidak akan mengontrak-ngontrak rumah atau beli-beli rumah seperti sekarang,” kata Syafruddin saat jumpa pers di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Yang Syafruddin bayangkan begini: para ASN tidak perlu lagi bangun pagi buta hanya agar tidak telat sampai kantor, seperti yang selama ini dialami, misalnya, PNS yang tinggal di Bekasi atau Depok dan kantornya ada di Jakarta.
Sebaliknya, mereka hanya perlu berjalan kaki kira-kira 500 meter. Mereka juga bisa pakai transportasi umum. Yang jelas, tak ada lagi macet dalam kamus para PNS.
Sementara Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan hunian para PNS bermodel vertikal, bukan rumah yang menempel di tanah.
“Rumah susun. Apartemen mungkin. Ini kan kota masa depan,” kata Basuki di kompleks parlemen, Rabu (28/8/2019).
Apa Kata PNS?
Syafruddin memastikan tidak akan ada PNS yang menolak rencana ini. “Mau semua, siapa bilang ada yang nolak? Enggak ada, enggak ada yang nolak.”
Syafruddin barangkali benar. Tapi bukan karena para PNS antusias. Ada yang terpaksa menyetujuinya karena memang tidak ada pilihan lain. Misalnya seorang narasumber Tirto di Kementerian PUPR yang enggan namanya disebut.
“Saya bukannya setuju. Tapi sebagai abdi negara, apa adanya, makan dan menyekolahkan anak, kan, dari gaji saya semua sebagai PNS,” ucapnya kepada reporter Tirto.
“Gimana anak saya sekolah?” tambahnya.
Harapan dia, selain fasilitas pendidikan yang lengkap untuk anaknya, rumah yang dijanjikan juga berstatus hak milik. “Masak di sana saya ngontrak, padahal di sini punya rumah?”
Sementara PNS di lingkungan Sekretariat DPR RI, Tomo (33), pikir-pikir dengan rencana ini.
“Saya kurang sreg ya kalau terlalu banyak fasilitas yang di-sharing. Saya bayangannya rumah petak. Saya masih mau liat dulu ukurannya berapa,” kata Tomo kepada reporter Tirto.
Tomo sudah berkeluarga dan punya dua anak. Bila fasilitas tidak mendukung, termasuk jika yang diberikan adalah rusun, ia mengaku tidak akan membawa keluarga. Kemungkinan lain, dia tidak pindah dan pensiun dini, dengan pertimbangan terpisah dari anak dan istri itu menyedihkan.
Ada pula yang semringah betul. Misalnya Tomo Sakti (27), PNS di lingkungan Sekretariat Jenderal Majelis Perwakilan Rakyat (MPR). Buat Tomo, perpindahan PNS ke ibu kota baru menguntungkan karena ia bisa memperoleh rumah sekaligus melepaskan diri dari ruwetnya jalanan.
Saat ini Tomo masih bujang dan menghuni kontrakan di Depok, Jawa Barat.
“Secara aset saya belum punya, masih kontrak. Jadi nanti punya yang disediakan pemerintah. Kalau pindah transportasi juga lebih bagus daripada energi habis buat pulang kerja,” ucap Tomo kepada reporter Tirto.
Tomo juga tidak keberatan kalau misalnya rumah yang diberikan sebatas hunian vertikal. Yang pasti pemerintah bisa memastikan ketersediaan fasilitas dasar seperti air.
“Kalau enggak, nanti bisa jadi senjata makan tuan. Takutnya ASN enggak betah. Nanti pada mikir ‘ya mendingan saya nanti kerja swasta di Jakarta’,” ucap Tomo.
Setahu Tomo, memang tidak semua PNS mau pindah, terutama mereka yang sudah cukup tua.
“Kalau saya gak punya mobil dan sopir beda. Tapi ada yang sudah agak tua, dia enggak mau pindah karena merasa nanti merepotkan. Dia sudah punya rumah dan sepertinya mau pensiun dini.”
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino