Menuju konten utama

Ibu, Hutan, dan Kritik terhadap Modernitas Indonesia

Hutan lebih sering tampil sebagai tempat penuh hantu dalam film Indonesia. Film Sunya menyodorkan hutan yang lain.

Ibu, Hutan, dan Kritik terhadap Modernitas Indonesia
Avatar Eric Sasono

tirto.id - Hutan kerap muncul sebagai sarang hantu dalam film Indonesia. Salah dua yang paling kentara adalah Jelangkung (Rizal Mantovani dan Jose Purnomo, 2001) dan Hantu (Adrianto Sinaga, 2007) yang menjadikan hutan sebagai tempat asing dan menakutkan bagi para tokoh utama yang kebanyakan berlatar kelas menengah urban. Mereka masuk hutan dalam rangka perjalanan piknik memanfaatkan waktu luang, baik untuk memenuhi rasa penasaran mencari hantu (Jelangkung) maupun sebentuk petualangan dalam pendakian gunung (Hantu).

Hutan punya peran berbeda dalam film Sunya (2016) garapan sutradara Hari Suhariyadi alias Hari Dagoe. Sekalipun hutan dihuni sosok mistis sejenis hantu, tempat itu bukan semata situs yang membuat orang menemukan makhluk supernatural yang menakutkan. Hutan dalam film Sunya memainkan peran penting dalam penggambaran tentang pencarian jati diri manusia modern Indonesia.

Tulisan ini ingin meninjau hutan sebagai motif visual dalam film ini dan membandingkannya dengan film lain yang punya penggambaran kurang lebih serupa untuk masuk ke dalam tema film itu sendiri.

Hutan dalam Sunya

Saya mulai dengan geografi hutan dalam film Sunya.

Hutan itu terletak di pinggir jalan sebuah desa yang dekat dengan tempat tinggal para tokohnya. Maka hutan di situ bukanlah wilayah terpencil serupa terra incognita yang seru untuk dijelajahi seperti pada Jelangkung maupun Hantu. Hutan terus mengundang untuk dimasuki lantaran setiap hari sang tokoh utama, Bejo (Erlando Saputra), pulang pergi ke sekolah lewat jalan di pinggir hutan itu.

Maka asal persentuhan tokoh utama film dengan hutan bukan dari keingintahuan kelas menengah urban yang berjarak, melainkan menjadi bagian dari ingatan masa kecil: akrab sekaligus sayup-sayup. Bukan hanya secara geografis ia dekat dengan Bejo, hutan juga akrab lantaran tokoh mistis di dalamnya muncul dan memperkenalkan diri serta mengundang Bejo kecil masuk ke dalam hutan.

Momen inilah yang menjadi kunci bagi Bejo untuk bolak balik memasuki hutan guna mencari jati dirinya di sana.

Dengan posisi begini, pencarian jati diri Bejo dalam Sunya menjadi perjalanan mistis ketimbang geografis yang bersifat turistik khas kelas menengah. Dalam Jelangkung dan Hantu, perjalanan berupa pelancongan fisik berkat ketersediaan waktu luang untuk kemudian menyadari bahwa dunia supernatural punya akibat mematikan (seperti genre film horor umumnya). Sedangkan pada Sunya, perjalanan bertujuan mengatasi krisis akibat sosok nenek (Sri Purwani) yang sakit, sekaligus memenangkan cinta Raisya (Astri Kusumawardani).

Kedua sebab ini ternyata saling terhubung oleh sesuatu yang unik: politik.

Ibu

Metafor politik dalam Sunya tampil telanjang jika dibandingkan dengan film yang juga menempatkan hutan sebagai situs pencarian diri, Mencari Rembulan alias Another Trip to the Moon (Ismail Basbeth, 2012).

Mencari Rembulan (selanjutnya ditulis: Rembulan) menceritakan tokoh perempuan (Tara Basro) yang dipaksa menikah oleh ibunya, lalu melarikan diri ke hutan dan bertemu serta hidup dengan tokoh perempuan lain. Hutan dalam Rembulan menjadi tempat melarikan diri dan penemuan jati diri ketika sang tokoh utama keluar dari dominasi dan struktur kekuasaan yang dipaksakan kepadanya. Namun struktur kekuasaan dalam Rembulan digambarkan terbatas dalam lingkungan keluarga, terutama antara ibu dan anak.

Posisi ibu dalam Rembulan tidak seperti tipikal film Indonesia Orde Baru yang berkebaya dan semata pelengkap ayah. Juga tidak seperti posisi ibu dalam Ada Apa dengan Cinta? (Rudi Soedjarwo, 2002) yang menjadi penyintas kekerasan domestik dan hidup sebagai orangtua tunggal. Ibu dalam Rembulan (dan juga Sunya) mirip posisi ibu dalam Opera Jawa (Garin Nugroho, 2010) sebagai seorang matriark yang punya kekuasaan besar dalam struktur keluarga.

Adanya sosok ibu sebagai matriark yang dilawan dalam Rembulan saya catat sebagai hal istimewa dalam film Indonesia mengingat selama ini posisi ibu adalah pemberi kehidupan, seperti ibu pertiwi, yang bukan hanya heorik tetapi juga (niscaya) mulia dan luhung. Pada Rembulan, sang ibu juga memiliki kekuatan supernatural yang mencoba mengendalikan hidup sang anak perempuannya dengan kekuatan itu.

Inilah yang menjadi sumber perlawanan sang anak perempuan yang lantas menemukan semacam homoerotika sebagai jalan keluar.

Dalam Sunya, sosok ibu (atau nenek?) juga digambarkan sebagai matriark. Namun lebih dari sekadar penguasa dalam struktur keluarga, ia juga metafor untuk soal politik yang lebih besar dan ini dibicarakan terbuka untuk menjadi kunci memahami pencarian diri Bejo. Sosok ibu sedang sakit keras dan untuk menyelamatkannya Bejo merasa hanya bisa dengan menjadi presiden.

Premis ini jadi mengedepankan pertanyaan: apakah sosok ibu adalah ibu pertiwi yang sedang kritis sehingga untuk menyelamatkannya seseorang harus menduduki tampuk tertinggi kekuasaan suatu negara?

Namun motivasi ini bisa terkait hal lain. Bejo sedang berupaya mendapatkan cinta politisi perempuan bernama Raisya. Padahal Raisya mengejek Bejo yang derajat politiknya lebih rendah. Lalu: apakah sesungguhnya Bejo sedang mencampuradukkan motivasi merebut cinta Raisya dengan delusi penyelamatan sang ibu periwi?

Maka jika pada Rembulan, tokoh utama film melakukan perlawanan terhadap sang matriark, pada Sunya tidak ada perlawanan semacam itu sekalipun sang matriark sama-sama berupaya mengendalikan dan menentukan kehidupan tokoh utama. Ibu Pertiwi dalam Sunya masih menempati posisi paling sentral dan menentukan motivasi hidup sang tokoh ketimbang dilawan seperti yang digambarkan tokoh perempuan dalam film Menuju Rembulan.

Namun jika dibandingkan dengan Opera Jawa (Garin Nugroho, 2010), kedua film ini masih menempatkan sosok matriark tidak dalam posisi ideal. Dalam Opera Jawa, tokoh Rahwana (Eko Supriyanto) mencoba masuk kembali ke dalam rahim ibu – dalam posisi tubuh meringkuk seperti fetus – ketika cintanya ditolak. Pada Sunya dan Rembulan, posisi fetus tokoh-tokohnya justru terjadi ketika mereka berada jauh dari sosok ibu dan sedang berada di dalam hutan.

Apakah hutan – dan bukan ibu – yang merupakan rahim sejati bagi manusia dewasa yang berkesadaran?

Posisi fetus sebagai posisi pra-lahir manusia tampil dalam Sunya dan Rembulan, menandaskan bahwa film-film ini menginginkan adanya pencarian diri kepada sesuatu yang murni, ke dalam esensi yang bersifat pra-sosial dan pra-budaya. Posisi fetus dalam Sunya menegaskan penerimaan terhadap dunia mistik, karena ini membuat Bejo berhasil melepaskannya dari bayang-bayang Rohman (Eko Supriyanto) yang selama ini dianggap sebagai sahabat terbaik dan pelindungnya. Sementara pada Rembulan, posisi fetus merupakan perlawanan berbau homoerotika terhadap kekuatan supernatural.

Modernitas

Bagaimana motif-motif visual yang saya bahas ini terkait dengan modernitas?

Jika manusia modern ditandai munculnya kesadaran baru untuk keluar dari otoritas yang menyuapi pengetahuan sekaligus memaksakan kedaulatan eksternal, maka film seperti Rembulan dan Sunya mencoba mengajukan gagasan tentang "kelahiran kembali" manusia modern justru ketika mereka berada di luar struktur keluarga.

Gagasan seperti ini tidak banyak diajukan dalam film Indonesia. Manusia Indonesia modern juga pada umumnya tidak lagi dipersoalkan posisi kesadarannya. Umumnya kesadaran manusia bukan sesuatu yang perlu mengalami pencarian, apalagi di luar struktur keluarga, yang dalam film-film Indonesia amat sering menjadi dasar bagi pembentukan manusia. Akademisi seperti Karl Heider (1992) dan Krisna Sen (1994) dalam studi mereka tentang film Indonesia memberi perhatian besar sekali kepada soal keluarga dan individu dalam film Indonesia.

Yang unik dari pencarian posisi manusia modern dalam Rembulan dan Sunya adalah adanya faktor supernatural dalam pembentukan kesadaran baru yang mendasari perlawanan terhadap kedaulatan eksternal. Rembulan agak bersifat fatalistik dalam menempatkan faktor kekuatan supernatural, dan perlawanan terhadapnya nyaris tak bermanfaat. Sekalipun dalam film itu sempat digambarkan bahwa ada peluang pembentukan kehidupan berpasangan sesama perempuan sebagai alternatif dari dominasi matriark dalam keluarga. Bandingkan ini dengan Berbagi Suami yang menempatkan lesbianisme sebagai pemecahan bagi kehidupan poligami yang menguntungkan laki-laki.

Namun apakah kesadaran dalam Rembulan adalah kesadaran modern? Ismail Basbeth tampak tidak terlalu mempersoalkannya, dan berbagai elemen visual dalam Rembulan justru menunjukkan bahwa lepasnya kedaulatan eksternal berupa keluarga berakibat pada kehidupan yang primal – mencari makan dengan berburu – dan jauh dari bentuk kesadaran modern.

Sedangkan Sunya menegaskan pencarian diri manusia modern terkait langsung dengan pembentukan manusia politik dalam negara modern yang umumnya berbentuk negara nasional. Kehendak menjadi presiden merupakan ambisi politik modern yang terkait langsung dengan negara nasional. Dengan model ungkapan seperti ini, keinginan Sunya cukup jelas: mengungkapkan penggunaan kehidupan mistik dalam kehidupan negara modern bernama Indonesia.

Sunya pun tampil sebagai kritik terhadap modernitas Indonesia. Jika modernitas diartikan sebagai patahan alias rupture dari yang tradisional alias yang lama dengan segala yang baru yang mendasarkan diri pada rasionalitas, maka hal tidak pernah terjadi di Indonesia. Patahan seperti itu tidak pernah ada dan kehidupan manusia Indonesia dan bentukan kolektifnya sesungguhnya bersandar pada keberadaan dunia paralel yang terus berjalan berdampingan.

Mirip dengan jalan utama menuju ke sekolah dan hutan lebat di sebelahnya dalam kehidupan Bejo.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.