tirto.id - “Saya titip salam kepada teman-teman wartawan sampaikan kepada masyarakat, Jakarta sedang tidak baik-baik saja, angka COVID-19 terus naik, BOR (Bed Ocupancy Rate) terus naik, jumlah orang yang masuk rumah sakit makin meningkat.”
Siapa sangka pernyataan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadhil Imran pada Kamis, 17 Juni 2021 tersebut menjadi pertanda buruk bagi DKI. Tepat hari ini, Selasa, 22 Juni 2021, Jakarta merayakan hari jadi atau HUT ke-494 dengan kondisi “Jakarta sedang tidak baik-baik saja.”
Berdasarkan data DKI di laman corona.jakarta.go.id yang diakses Tirto, pada 21 Juni 2021 pukul 16.40 WIB menunjukkan, kasus COVID-19 di DKI Jakarta sudah tembus 474.029 pasien dengan total kematian mencapai 7.905 orang periode 1 Juni 2020 hingga 20 Juni 2021.
Apabila dirata-rata dengan rentang tanggal yang sama (1 Juni 2020-20 Juni 2021), total rata-rata tingkat positif harian di Jakarta sudah mencapai 1.212 kasus per hari dengan rata-rata 19 orang meninggal per hari. Jika dibandingkan dengan nasional, angka rata-rata DKI Jakarta sudah menyumbang sekitar 1/7 dari rata-rata meninggal di Indonesia yang mencapai hampir 137 orang per hari.
Jika dilihat lebih spesifik, grafik kasus DKI toh mengalami naik-turun. Jakarta pernah hanya mencatat 61 penambahan kasus pada rentang waktu yang sama, yakni 4 Juni 2020. Angka tersebut lantas mengalami fluktuasi dan merangkak secara bertahap hingga menyentuh kasus harian di angka 3.000-an pertama pada 13 Januari 2021.
Angka kasus positif tersebut lantas mengalami fluktuasi naik-turun di sekitar angka 2.000-3.000 hingga akhirnya memuncak berada di angka 4.213 yakni pada 7 Februari 2021. Kini, rekor pun dipecahkan lagi per Minggu, 20 Juni 2021 dengan angka penambahan kasus baru sebanyak 5.582 kasus.
Tentu saja, selama setahun terakhir, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, bersama Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria dan jajaran DKI Jakarta tidak berdiam diri. Sejumlah langkah berusaha diambil Anies sejak Juni 2020 hingga Juni 2021.
Setelah berusaha menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di awal pandemi terus-menerus, Anies memperketat PSBB pada September 2020 ketika kasus COVID-19 kembali melonjak. Salah satu cara adalah upaya menerapkan Work from Home (WFH) pada 11 September 2020 sebagai upaya memperketat PSBB.
Akan tetapi, langkah PSBB ternyata tidak membuat angka penularan COVID-19 di Jakarta turun sehingga memunculkan wacana menarik rem darurat PSBB atau lockdown. Hal tersebut langsung diprotes pemerintah pusat, salah satunya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto karena mengakibatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun kala itu.
Bukan hanya kali September 2020, Anies juga ingin menarik rem darurat pada 6 Januari 2021 ketika kasus COVID-19 Jakarta kembali naik. Akan tetapi, langkah rem darurat akhirnya urung dilakukan dan berakhir dengan perpanjangan PSBB transisi.
Kini, Jakarta kembali lagi mengalami insiden serupa pada Juni 2021. Kenaikan kasus COVID-19 berturut-turut di Jakarta sejak awal Juni hingga akhirnya terakhir tembus 5.582 kasus pada 20 Juni 2021 memicu kembali wacana lockdown. Namun pemerintah pusat justru memberikan instruksi penambahan fasilitas perawatan daripada lockdown atau PSBB ketat.
“Khusus untuk terkait dengan lokasi ataupun peningkatan daripada DKI nanti Pak Menkes akan menambahkan, tapi utamanya pemerintah melalui pemerintah pusat itu mendorong penambahan fasilitas baru,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan daring, Senin (21/6/2021).
Selain berpolemik dengan pemerintah pusat, Anies dan Riza pernah memicu konflik karena bertemu dengan Rizieq Shihab, eks pentolan Front Pembela Islam (FPI) dan memicu kerumunan. Bahkan, Riza Patria bertemu dengan Rizieq dalam acara keagamaan di Tebet, Jakarta Selatan secara terang-terangan pada akhir 2020. Tidak lama berselang, Anies dan Riza terkonfirmasi positif COVID-19 meski akhirnya sembuh.
Sudah Tepatkah dari Sisi Epidemologi?
Ahli Kesehatan Masyarakat dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai DKI sudah cukup baik dalam penanganan COVID-19. Ia bahkan menyebut Jakarta sebaiknya tetap menjadi teladan bagi provinsi lain.
Hermawan beralasan, faktor utama yang patut diapresiasi dari DKI adalah soal keterbukaan data dan kecepatan data. Bagi epidemiolog, keterbukaan data bisa menjadi basis untuk mengelola data.
Selain itu, kata dia, laju testing di DKI Jakarta sudah cukup baik, bahkan 30 persen testing nasional berasal dari Jakarta. Akan tetapi, tantangan DKI saat ini bukan sebatas untuk melihat kasus DKI saja. Ia menilai, DKI harus melihat daerah sekitar untuk menangani pandemi.
“Kita berharap DKI dalam suasana pandemi ini selain tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan testing, tracing dan treatment, tetapi memperkuat sinergi dengan pemda sekitar, Pemprov Banten dan juga Pemprov Jabar supaya pada wilayah-wilayah supporting city seperti bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) itu betul-betul kompak," kata Hermawan kepada Tirto, Senin (21/6/2021).
Kini, situasi DKI berbeda dibandingkan situasi awal pandemi ketika Jakarta dan daerah penyangga, yakni Provinsi Banten dan Jawa Barat harmonis dalam penanganan COVID. Jakarta mengalami tantangan karena laju kasus terus naik akibat tes yang tinggi, sementara daerah lain tidak mampu mengikuti karena keterbatasan fasilitas.
“Jadi logikanya begini. Semakin bagus testing, sebenarnya semakin besar temuan kasus, tetapi penyelamatan nyawa itu akan semakin baik karena cepat dirawat ketimbang tidak ada laporan kasus, tetapi tiba-tiba warga masyarakat banyak yang kolaps tidak tertangani dan pada akhirnya meninggal dunia,” kata dia.
Ia menambahkan “Kita banyak menemukan kasus itu di berbagai daerah saat-saat ini di kala hampir semua rumah sakit di pulau Jawa untuk rujukan COVID sudah overcapacity saat ini," kata Hermawan.
Di sisi lain, DKI Jakarta punya tantangan lain yakni hubungan dengan pemerintah pusat. Ia mengingatkan, kunci utama epidemiologi adalah menekan laju mobilitas untuk menekan kerumunan dan penyebaran virus. Sementara itu, DKI saat ini sangat terbuka. Keterbukaan terjadi karena DKI merupakan pusat sentra ekonomi, pemerintahan hingga bisnis sehingga penghentian mobilitas secara total memicu ekonomi berhenti total.
Ia pun melihat Jakarta berusaha menangani COVID-19 dengan mengajukan beberapa kebijakan seperti menarik rem. Akan tetapi, kebijakan tersebut mengalami tantangan karena PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB menegaskan segala kebijakan harus diajukan kepada pemerintah pusat sebelum diputuskan daerah.
Oleh karena itu, kata dia, tantangan DKI tidak hanya soal bersinergi dengan daerah, tatapi juga pemerintah pusat. “Kita melihat memang dilema besar Pemda DKI ketika harus mensinergikan dengan pemerintah pusat sekaligus mengharmonisasikan dengan pemerintah daerah sekitarnya," kata Hermawan.
Konflik Pusat dan Jakarta Menjadi Persoalan
Ahli Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan melihat wajar Jakarta dengan pemerintah pusat mengalami konflik. Ia beralasan, pemerintah pusat lebih condong pada pendekatan ekonomi sehingga ada ketidaksepahaman antara pemerintah pusat dengan DKI Jakarta.
“Jakarta dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi dari seluruh kota di Indonesia diharapkan menjadi lumbung pemulihan ekonomi. Istilahnya, Jakarta tutup maka ekonomi Indonesia mayoritas akan macet," kata Satria kepada reporter Tirto.
Satria menambahkan, “pandangan ini conflicting dengan Gubernur DKI apalagi pandangan politik antara pusat dan DKI kerap berbeda, meruncing sejak dalam pemilihan. Sehingga, kita berbicara teknis, berseberangan kepentingan juga.”
Satria menambahkan, kebijakan apa pun yang diambil di Jakarta untuk penanganan COVID-19 sulit dilakukan. Ia beralasan, Jakarta sangat heterogen dan padat penduduk sehingga kebijakan PSBB maupun PPKM tidak akan efektif, apalagi pengawasan dilakukan dengan pendekatan manual.
“Hal ini menandakan bahwa kebijakan menekan Covid di Jakarta setengah hati karena dampak konflik kepentingan elit dan lumbung ekonomi," kata Satria.
Kemudian, Satria juga menyinggung bagaimana pemerintah pusat memberikan kelonggaran dengan pemulangan Rizieq yang memicu kerumunan. Anies dan Riza pun ikut menghadiri kerumunan itu. Oleh karena itu, wajar jika istilah herd stupidity yang digagas epidemiolog Pandu Riono menjadi masuk akal.
“Jadi pemerintah dan masyarakat saling mengisi kekosongan ini dan masyarakat tidak salah ketika melihat pemimpin kita juga melakukan pelanggaran dan sebagainya sehingga dua kontribusi ini yang membuat mungkin kasus ini menjadi tinggi 5 ribu," kata Satria.
Ia menambahkan, lonjakan kasus juga terjadi akibat kehadiran varian yang berbahaya. "Ingat kita ini masuk varian delta, saya pikir varian yang kita sudah lihat di India banyak kasusnya sehingga ini menjadi contoh sendiri. Kita jangan sampai begitu," tutur Satria.
Satria mengatakan, penanganan COVID-19 yang ada sudah cukup dengan penanganan pembatasan sosial. Namun ia mendorong agar ada penegakan peraturan di lapangan karena tidak sedikit klaster COVID-19 muncul dari pekerja yang membawa ke rumah. "Jadi diperketat dan komitmen kepala daerah juga harus muncul," kata Satria.
Ahli kebijakan publik Trubus Rahardiansyah melihat penanganan COVID di Jakarta merupakan dampak dari sikap setengah hati pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan COVID.
"Idealnya pemerintah pusat dan daerah itu kan harusnya kolaboratif tapi saya lihat malah kompetitif maka yang terjadi banyak sekali kebijakan yang bersifat kontraproduktif," kata Trubus kepada reporter Tirto, Senin.
Sebagai contoh, pemerintah pusat menerbitkan kebijakan PPKM mikro, tetapi tidak konsisten menjalankan regulasi. Di sisi lain, daerah tidak menerapkan kebijakan, bahkan tidak banyak dilaksanakan. Ia mencontohkan ketika penetapan status zona merah. DKI Jakarta sudah punya payung hukum instruksi gubernur untuk zonasi dan akan menerapkan lockdown di zona merah. Faktanya tidak ada penerapan lockdown di zona merah hingga wacana penerapan jam malam. "Tapi kan itu nggak dilaksanakan," tegas Trubus.
Di sisi lain, pemerintah pusat tidak mau memberikan wewenang kepada daerah. Hal tersebut lewat PP 21/2020 tentang PSBB dan Permenkes Nomor 9 tahun 2020 tentang prosedur permohonan PSBB belum dicabut. Alhasil, daerah tidak bisa bergerak bebas. Ia menyebut pemerintah pusat tidak mau melepaskan "panggung" penanganan COVID ke daerah.
Selain itu, pemerintah pusat tidak mengambil opsi lockdown karena biaya yang dikeluarkan besar, bahkan Jakarta dengan pendapatan besar tidak bisa mengakomodir itu. Oleh karena itu, ia melihat pemerintah tidak mengeluarkan aturan turunan mengenai karantina wilayah sebagai solusi penanganan COVID dan memilih opsi PPKM mikro yang tidak jelas.
Sebagai contoh, Pemprov Jogja tidak bisa mengambil opsi lockdown untuk menekan kasus karena intervensi pusat padahal PPKM mikro tidak efektif. Pada akhirnya, rakyat kebingungan melihat pemerintah pusat dan menjadi korban dalam kasus COVID-19.
"Artinya Anggaran nggak ada, makanya pilihannya ppkm mikro yang gak jelas arahnya dan gak ada formula. Kalau pemerintah mau berani harusnya pasal 9 UU 6/2018 tentang karantina menyebut ada karantina, ada lockdown. itu harusnya diturunkan jadi PP. Itu gak pernah ada," Kata Trubus
"Pada akhirnya yang terjadi di lapangan penanganan COVID hampir setengah hati semua," tegas Trubus.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz