tirto.id - Puasa qadha (pengganti) untuk Ramadan hukumnya wajib, sedangkan puasa pada bulan Muharam sunah. Jika kedua ibadah ini digabungkan pelaksanaannya, maka disifati boleh dengan niat utama mengerjakan puasa qadha.
Umat Islam memang diwajibkan melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh pada Ramadan, yang berlangsung 29 atau 30 hari.
Namun, Allah memberikan keringanan untuk golongan tertentu, yaitu musafir (orang yang dalam perjalanan), ibu hamil atau menyusui, perempuan yang haid, juga orang sakit, untuk tidak mengerjakan puasa pada masa ketika mereka terhalang, dan menggantinya pada hari lain di luar Ramadan.
Firman Allah dalam Surah al-Baqarah:184, "... Siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan tersebut pada hari-hari lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin ..."
Sabda Nabi Muhammad saw., "Sungguh Allah Yang MahaPerkasa dan MahaMulia telah membebaskan puasa dan separuh salat bagi orang yang bepergian, dan membebaskan pula puasa untuk orang hamil dan orang yang menyusui.” [HR. al-Khamsah].
Mengqadha atau mengganti puasa Ramadan hukumnya wajib. Pengerjaannya dapat dilakukan secara berturut-turut, misalnya seseorang yang tidak puasa pada Ramadan 6 hari, lantas menggantinya 6 hari beruntun. Selain itu, puasa qadha dapat dilakukan satu demi satu dengan syarat utang puasa tetap terbayar tuntas.
Diutamakan, umat Islam yang berkewajiban mengqadha puasa, mengerjakannya sesegera mungkin setelah bulan Ramadan berakhir. Namun, bisa jadi karena berbagai halangan, qadha puasa itu baru dapat dikerjakan pada bulan Muharam ini.
Pada Muharam, terdapat banyak hari istimewa yang bisa diisi ibadah puasa. Yang ada secara rutin adalah puasa Senin dan Kamis, juga puasa Ayyamul Bidh (pertengahan bulan). Selain itu ada puasa tasua (9 Muharam) dan asyura (10 Muharam).
Dalam artikel "Tiga Macam Puasa Muharram" oleh Hengky Ferdiansyah di laman NU Online, dinukil hadis riwayat dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, "Puasa paling utama setelah Ramadan adalah puasa pada bulan Allah, yakni Muharam. Sementara salat paling utama setelah salat fardu adalah salat malam".
Dalam riwayat dari jalur Abdullah bin Abbas, ketika Rasulullah saw. mengajurkan umat Islam berpuasa Asyura, ada sahabat yang bertanya, "Ya Rasulullah, bukankan hari Asyura adalah hari yang dimuliakan
oleh kaum Yahudi dan Nasrani?"
Nab menjawab, "Jika aku bertemu dengan tahun depan, insyaAllah kita akan berpuasa pada hari kesembilan (Muharram)". Nabi wafat sebelum Muharam tahun berikutnya, namun ibadah puasa untuk menyelisihi atau membedakan dari kaum Yahudi dan Nasrani dilakukan umat Islam, antara sebelum 10 Muharam (puasa hari ke-9) atau jika terlewat, hari ke-11.
Hukum Puasa Sunah Muharam Digabung Qadha Ramadhan
Orang yang akan melaksanakan ibadah puasa qadha Ramadan sekaligus puasa sunah untuk bulan Muharam, hukumnya adalah boleh dilakukan. Dengan catatan, disertai dengan beberapa ketentuan.
Mengutip penjelasan Buya Yahya dalam "Bolehkah Puasa Sunnah Muharram Tetapi Masih Punya Hutang Puasa Wajib" di video Youtube (diunggah pada 7 September 2019), syarat pertama adalah, melihat kembali alasan seseorang meninggalkan puasa wajibnya lantas mengqadha.
Jika ia sengaja meninggalkan puasa wajib tanpa alasan atau halangan yang diperbolehkan syariat, maka orang tersebut mesti terlebih dahulu membayar utang puasa wajibnya, baru melakukan puasa sunah.
Jika puasa qadha Ramadan disebabkan oleh alasan yang jelas, seperti haid, menyusui, atau sakit, maka orang tersebut boleh melaksanakan puasa sunah terlebih dahulu. Artinya, qadha puasa Ramadan dilakukan usai mengerjakan puasa sunah.
Sebenarnya, yang paling menguntungkan bagi orang yang masih berutang puasa dengan alasan yang dibenarkan, adalah dengan melaksanakan puasa qadha tersebut pada hari puasa sunah. Misalnya, puasa pada 9, 10, atau 11 Muharam.
Dalam hal ini, niat qadha puasa tetap dilafalkan, tanpa perlu menyebutkan niat puasa sunah. Dengan demikian, ia mendapatkan pahala karena mengganti puasa yang ditinggalkan, dan ia mendapatkan pahala pula karena mengerjakan puasa pada hari kala puaa sunah dianjurkan.
Pejelasan dari Buya Yahya mengenai hal ini dapat disimak melalui video berikut.
Penulis: Beni Jo
Editor: Fitra Firdaus