Menuju konten utama

Hukum Keluar Madzi dengan Sengaja, Apakah Membatalkan Puasa?

Cairan bening atau madzi bisa keluar jika seseorang terangsang, baik disengaja maupun tidak. Lalu, bagaimana hukum keluar madzi dengan sengaja saat puasa?

Hukum Keluar Madzi dengan Sengaja, Apakah Membatalkan Puasa?
Ilustrasi Foto Ramadhan 2024. foto/IStockphoto

tirto.id - Setiap Ramadan, umat muslim yang tergolong mukalaf diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh, kecuali ada uzur syar'i.

Sejak subuh hingga magrib, umat muslim wajib menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa. Termasuk di antaranya makan, minum, dan berhubungan suami-istri.

Poin terakhir disebut di atas menimbulkan beberapa pertanyaan di beberapa kalangan masyarakat. Utamanya terkait dengan keluarnya cairan bening atau biasa disebut madzi.

Lantas, apakah keluar cairan dari kemaluan wanita membatalkan puasa? Bagaimana jika itu terjadi pada laki-laki? Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut, simak penjelasan di bawah ini.

Hukum Keluar Madzi dengan Sengaja Saat Puasa

Cairan bening yang keluar dari alat kelamin sewaktu nafsu syahwat timbul disebut madzi. Dari segi tekstur, madzi lebih mirip air kencing. Namun, cara keluarnya tidak memancar dan tidak berbau.

Madzi biasanya keluar ketika seseorang menyentuh atau melihat lawan jenis kemudian terangsang. Hal ini bisa terjadi pada perempuan maupun laki-laki. Lantas, apakah keluar cairan dari kemaluan wanita membatalkan puasa?

Para ulama berbeda pandangan terkait hukum keluar madzi dengan sengaja saat puasa, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Namun, mereka bersepakat bahwa cairan yang keluar saat terangsang hukumnya najis. Cairan yang dimaksud di sini adalah madzi.

Meskipun najis, cara menyucikannya cukup dengan membersihkan menggunakan air dan berwudu. Terkait hukum keluar lendir dari kemaluan wanita saat puasa, Syekh Hasan Hitou pernah menjelaskannya dalam kitab Fiqh ash-Shiyam.

"Jika seorang suami mencium istrinya dan dia sedang berpuasa, kemudian merasa nikmat dan keluar madzi, tetapi tidak mengeluarkan mani, jumhur berpendapat puasanya tidak batal, dan itu adalah pendapat ulama Syafi’iyyah tanpa ada perbedaan di antara mereka."

Syekh Hasan Hitou menyandarkan pendapatnya kepada Ibnu al-Mundzir yang merujuk pada pandangan Hasan al-Bashri, asy-Sya’bi, al-Awza’i, Abu Hanifah, hingga Abu Tsaur.

Dalam konteks berhati-hati demi menyempurnakan ibadah puasa, Imam Malik dan Imam Ibn Ishak punya pendapat lain. Konteksnya adalah jika keluar cairan dari kemaluan wanita saat terangsang, misalnya setelah mencium suami, atau sebaliknya. Menurut mereka, jika orang tersebut dalam kondisi puasa, ia mesti mengganti puasanya.

Menganut pendapat ini, keluar cairan dari kemaluan wanita membatalkan puasa. Begitu juga jika terjadi pada laki-laki.

Ibnu Hajar Asqalani dalam kitab Fathul Baari memuat perkataan Imam Malik dan Ibn Ishak. Berikut redaksi lengkapnya.

"Hendaknya seseorang mengganti puasa dan membayar kafarat apabila keluar mani. Tetapi apabila yang keluar adalah madzi, maka ia cukup mengganti puasanya tanpa membayar kafarat.”

Imam Ahmad memiliki pandangan sama seperti Imam Malik dan Ibnu Ishak. Syekh Hasan Hitou, masih dari kitab yang sama, Fiqh ash-Shiyam, memaparkan perkataan Imam Malik dan Imam Ahmad terkait hukum keluar madzi apakah membatalkan puasa atau tidak.

Keluar Air Madzi Apakah Membatalkan Puasa?

Sebagaimana dijelaskan di atas, ada perbedaan pendapat terkait hukum keluar madzi dengan sengaja. Namun, perbedaan pandangan di kalangan ulama lahir sebagai upaya membantu umat muslim menyempurnakan ibadah puasa.

Pendapat yang paling masyhur menurut jumhur ulama adalah madzi tidak membatalkan puasa. Secara sederhana, madzi keluarnya seperti air kencing dan tidak melalui proses inzal layaknya air mani.

Meskipun demikian, puasa semestinya tidak hanya dimaknai sebagai ibadah yang hanya menahan lapar, haus, dan hasrat untuk berhubungan suami-istri semata.

Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin Jilid I memaparkan terdapat 3 tingkatan orang berpuasa. Yang pertama adalah puasa orang awam. Yang kedua, puasa orang khusus. Lantas, yang terakhir adalah puasa khusus dari khusus. Jenis puasa terakhir adalah puasa dalam level nabi-nabi, orang-orang shiddiq, dan orang-orang muqarrabin.

Puasa orang awam bertujuan hanya menghindari makan, minum, dan godaan syahwat.

Sementara itu, puasa khusus adalah puasa yang ditunaikan tidak hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan. Namun, dia juga memuasakan indera dan alat geraknya dari melakukan berbagai hal yang dilarang. Pendengaran, penglihatan, ucapan, hingga gerak tangan dan kaki diusahakannya agar tidak sampai melakukan tindakan maksiat.

Merujuk pada pandangan terkait puasa khusus, mencegah kesengajaan mengeluarkan madzi akan lebih utama dilakukan. Ini tentu saja lebih baik dibanding memikirkan bahwa keluar madzi tidak membatalkan puasa.

Bersikap hati-hati dalam setiap hal ketika berpuasa akan lebih baik. Rasulullah saw. bersabda, "Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahalanya selain lapar, dan berapa banyak orang yang salat malam tidak mendapatkan selain begadang". (H.R. Ibnu Majah 1680).

Baca juga artikel terkait HAL YANG MEMBATALKAN PUASA atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fitra Firdaus
Penyelaras: Fadli Nasrudin