tirto.id - Apa hukumnya buka puasa lebih dulu karena kerja berat dan tidak kuat menyelesaikannya hingga magrib? Apakah pekerja berat diperbolehkan tidak berpuasa? Bagaimana penjelasannya menurut hadits?
Puasa Ramadan merupakan ibadah wajib yang harus dijalankan umat Islam yang telah mukalaf serta tidak memiliki uzur syar’i. Muslim harus menahan diri dari lapar, dahaga, dan hal-hal lain yang membatalkan, mulai terbit fajar (subuh) hingga tenggelamnya matahari (magrib).
Uzur syar’i adalah keadaan di luar kemampuan diri manusia yang menyebabkan syariat memberikan kemudahan (rukhsah) bagi kaum muslim tidak menunaikan ibadah wajib seperti puasa Ramadan. Kendati demikian, muslim dengan kategori tersebut tetap harus mengqada puasanya di hari lain selain Ramadan.
Allah Swt. berfirman mengenai adanya kemudahan bagi umat Islam yang memiliki uzur syar’i dalam Surah Al-Baqarah ayat 184 berikut:
Artinya: “[Yaitu] beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan [lalu tidak berpuasa], maka [wajib mengganti] sebanyak hari [yang dia tidak berpuasa itu] pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (QS. Al-Baqarah [2]: 184).
Allah Swt. senantiasa memberikan kemudahan bagi umatnya dalam beribadah. Hal itu dijelaskan dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 185. Berikut ini penggalan ayatnya:
"...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Apakah Boleh Buka Puasa Lebih Dulu Karena Kerja Berat?
Kerja berat menjadi salah satu bentuk lanjutan dari uzur syar’i, dengan syarat tertentu. Artinya, harus ada hal-hal tertentu yang dipenuhi bagi orang-orang yang bekerja berat, sebelum berbuka puasa lebih awal.
Imam Nawawi Al-Bantani dalam kitabNihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in memasukan perkara kerja berat ke dalam kategori uzur syar’i sakit sebagai berikut:
“Ulama membagi tiga keadaan orang sakit. Pertama, kalau misalnya penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayamum, maka penderita makruh untuk berpuasa. Ia diperbolehkan tidak berpuasa.
Kedua, jika penyakit kritis itu benar-benar terjadi, atau kuat diduga kritis, atau kondisi kritisnya dapat menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ tubuhnya, maka penderita haram berpuasa. Ia wajib membatalkan puasanya.
Ketiga, kalau sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayamum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia tidak khawatir penyakitnya bertambah parah.
Sama status hukumnya dengan penderita sakit adalah buruh tani, petani tambak garam, buruh kasar, dan orang-orang dengan profesi seperti mereka.”
Tidak hanya Imam Nawawi, para ulama fikih juga memasukan kerja berat ke dalam uzur syar’i. Namun, seseorang yang bekerja berat tetap wajib memasang niat puasa di malam hari. Kemudian, berbuka puasa lebih awal boleh dilakukan ketika mengalami kondisi kepayahan dan berisiko menemui keadaan berbahaya saat bekerja berat.
Syekh Said bin Muhammad Ba’asyin dalam kitab Busyrol Karim menyampaikan ketentuan puasa dan berbuka lebih awal orang yang bekerja berat sebagai berikut:
“Ketika memasuki Ramadan, pekerja berat seperti buruh tani yang membantu penggarap saat panen dan pekerja berat lainnya, wajib memasang niat puasa di malam hari. Kalau kemudian di siang hari menemukan kesulitan dalam puasanya, ia boleh berbuka. Tetapi kalau ia merasa kuat, maka ia boleh tidak membatalkannya [tetap berpuasa].”
Kaum muslim yang bekerja berat serta melakukan buka puasa lebih awal wajib hukumnya mengqada di lain waktu setelah bulan suci tersebut sebelum datangnya Ramadan berikutnya. Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarah Al Muhadzdzab menyebutkan, “Jika ia mengakhirkan puasa qadha sampai datang Ramadan berikutnya tanpa uzur, ia telah berdosa [....].”
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin