tirto.id - Salah satu hal yang membatalkan puasa ialah masuknya suatu benda atau zat ke dalam tubuh secara sengaja. Lantas, bagaimana dengan mengorek telinga, ngupil, hingga menggigit kuku? Apakah ketiga perkara ini dapat membatalkan puasa?
Puasa merupakan ibadah wajib bagi umat muslim mukalaf, yang tidak memiliki uzur syar'i. Ibadah di bulan Ramadan tersebut ditunaikan dengan menahan hawa nafsu, mulai sebelum terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Batasan waktu terkait pelaksanaan puasa ini secara umum telah dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 187. Berikut ini penggalannya:
"......maka sekarang campurilah, dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu, serta makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan antara benang putih dan hitam. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai waktu malam tiba.......".
Dalam kitab Fath al-Qarib dijelaskan beberapa hal yang bisa membatalkan puasa. Yang pertama adalah masuknya suatu benda atau zat melalui lubang tubuh.
Yang kerap menimbulkan kebingungan di kalangan muslim adalah ketika seseorang memasukkan benda ke telinganya untuk membersihkan kotoran. Selain itu, ada juga perkara seseorang yang membersihkan hidung menggunakan jari tangan.
Perkara lain yang tak jarang ditemui adalah kebiasaan menggigit kuku. Hal ini secara kesehatan jelas tidak diperbolehkan sebab kuman di jari tangan berpotensi masuk ke dalam mulut.
Lantas, bagaimana hukumnya jika tiga perkara tersebut dilakukan saat Ramadan? Apakah dapat membatalkan puasa?
Hukum Mengorek Telinga dan Ngupil saat Puasa Ramadhan
Dalam Fath al-Qarib dijelaskan bahwa puasanya seorang muslim akan batal jika ada benda masuk ke dalam tubuh melalui lubang yang berpangkal pada organ bagian dalam, di fikih disebut jauf.
Namun, ada batasan kedalaman tertentu yang dikategorikan bisa membatalkan puasa. Dalam hidung, batas awalnya adalah bagian yang disebut muntaha khaysum (pangkal insang) yang sejajar dengan mata
Batasan awal pada telinga terdapat di bagian dalam yang sudah tidak tampak oleh mata. Pada bagian mulut, batasnya terdapat pada tenggorokan yang disebut dengan hulqum.
Jika merujuk pada ketetapan tersebut, mengorek telinga yang biasanya menggunakan cotton bud dapat membatalkan puasa. Apabila secara sengaja mengorek telinga hingga ke bagian yang jauh ke dalam dan melewati batas awal jauf, puasanya batal.
Hal yang sama juga berlaku untuk ngupil. Namun, memasukkan jari ke hidung dengan tujuan membersihkan kotoran biasanya hanya sebatas di dalam rangka hidung (tulang lunak), sehingga hukumnya tidak batal.
Dalam Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab Jilid 7 dijelaskan juga tentang perkara meneteskan air atau minyak atau yang lainnya di telinga, lalu sampai ke otak.
Ada dua pendapat tentang hal ini. Pertama, pendapat dari Al Mushannif menyatakan puasa muslim yang melakukan hal tersebut dinyatakan batal.
Kedua, tidak batal, pendapat dari Abu Ali As-Sinji, Al Qadhi Husain dan Al Faurani, dan dinilai shahih oleh Al Ghazali. Seperti halnya menggunakan celak mata, mereka mengklaim bahwa tidak ada jalan yang menghubungkan antara telinga dan otak.
Hal berbeda berlaku untuk hidung, sebab tetesan air yang masuk bisa sampai ke otak lewat jalan yang terbuka. Dikatakan dalam Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab, "Tetesan air yang melewati insang hidung dinilai melampaui batasan batin dan dianggap membatalkan puasa."
Apakah Menggigit Kuku Membatalkan Puasa?
Memasukkan sesuatu melalui lubang tubuh dapat membatalkan puasa apabila telah melewati batas awal. Dalam mulut batasannya adalah tenggorokan.
Namun, ketentuan tersebut berlaku salah satunya ketika seorang muslim berkumur. Tidak membatalkan puasa sebab airnya hanya berada di mulut, tidak masuk ke dalam tubuh dan melewati tenggorokan.
Lalu, bagaimana jika memasukkan jari ke dalam mulut atau menggigit kuku?
Perkara tersebut dapat menggunakan ketentuan dari Imam Nawawi dalam Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab. Seorang muslim diperbolehkan menelan ludah sendiri, dengan syarat masih murni dan tidak tercampur dengan zat lain.
Imam Nawawi menganalogikan salah satu kasus seorang tukang jahit yang membasahi benang dengan air ludang dengan cara memasukkannya ke dalam mulut, lalu memintalnya. Menurut kitab tersebut jika tidak ada basah yang terpisah, puasanya tidak batal dengan menelan air ludahnya setelahnya.
Namun, jika ada basah yang terpisah dan ia menelannya, ada dua pendapat yang disebutkan oleh Imam Al Haramain dan para pengikutnya dan Al Mutawalli. Pertama, tidak batal, sebagaimana pendapat syaikh Abu Muhammad Al Juwaini, "Seperti halnya sisa air kumur-kumur tidak membatalkan puasa."
Kedua, dan merupakan pendapat yang paling shahih dan yang diputuskan oleh jumhur bahwa ia batal karena tidak ada alasan darurat baginya, dan ia menelannya setelah terpisah dan meninggalkan perutnya.
Dengan demikian, memasukkan jari atau menggigit kuku saat puasa hukumnya tergantung pada: apakah ada basah yang terpisah atau tidak. Jika ada, puasanya batal. Sementara itu, apabila tidak ada basah yang terpisah--seperti berkumur dan mengeluarkan airnya kembali--ia tidak batal.
Penulis: Beni Jo
Editor: Fadli Nasrudin