tirto.id - Human Rights Watch (HRW), organisasi untuk isu hak asasi manusia (HAM), menilai SKB 3 Menteri tentang aturan busana di sekolah masih diskriminatif. Alasannya, aturan ini hanya berlaku untuk sekolah di bawah pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan sekolah di bawah Kementerian Agama dan Provinsi Aceh dikecualikan.
"Peraturan soal busana di Indonesia merupakan bagian dari serangan yang lebih luas oleh kelompok konservatif terhadap kesetaraan gender dan kemampuan perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan hak mereka, seperti pendidikan, mata pencarian dan tunjangan sosial," ujar Elaine Pearson dari Human Rights Watch dalam rilis laporan terbaru organisasi ini berjudul 'Aku Ingin Lari Jauh: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia', Kamis (18/3/2021).
Pemerintah, menurut HRW, harus mengambil langkah hukum tambahan untuk menyudahi diskriminatif setelah ada SKB Tiga Menteri terkait regulasi jilbab di sekolah.
Aturan diskriminatif berbusana memiliki sejarah panjang di Indonesia, yang menjadikan perempuan dan anak di sekolah dan tempat kerja sebagai korban, menurut HRW. Pemerintah pusat hingga daerah mesti membebaskan mereka dalam memilih pakaian tanpa mengorbankan hak mereka atas pendidikan atau pekerjaan, tambahnya.
"Pemerintahan Jokowi harus memegang teguh dan menegakkan SKB Tiga Menteri yang melarang pemaksaan jilbab dan kemudian melangkah lebih jauh dengan mengakhiri semua peraturan yang diskriminasi gender di sekolah atau tempat kerja," kata Pearson.
Laporan 'Aku Ingin Lari Jauh' memotret praktik intimidatif pemerintah mengatur cara berpakaian perempuan dan anak. Misalnya, mewajibkan penggunaan jilbab, busana muslim yang menutupi bagian kepala, leher dan dada.
Dalam laporan tersebut, HRW mencatat aturan diskriminatif berbusana sudah ada sejak 2001. Tercatat 60 peraturan dikeluarkan pemerintah daerah untuk mewajibkan penggunaan busana muslimah.
Pada 2014, Kemendikbud mengeluarkan aturan dan contoh busana muslimah dengan penggunaan rok panjang, kemeja lengan panjang dan jilbab. Meski diklaim tidak mewajibkan tapi aturan ini berpotensi sebagai bentuk tekanan oleh pihak sekolah kepada murid, menurut HRW. Aturan ini menjangkau hampir 300 ribu sekolah negeri di 24 provinsi di Indonesia.
Menurut HRW, aturan tersebut telah memantik perundungan dan tekanan psikologis terhadap perempuan dan anak perempuan. Dampak sanksi oleh masing-masing otoritas misalnya dikeluarkan dari sekolah, dipaksa mengundurkan diri dan kehilangan pekerjaan.
“Jika kami mencapai pelanggaran 100 poin, kami akan diminta mengundurkan diri dari sekolah. Kerudung haruslah tebal, tidak ada rambut yang terlihat, dan jilbab harus cukup lebar untuk menutupi dada. Baju harus cukup panjang untuk menutupi pinggul. Jika kerudung terlalu tipis atau terlalu pendek, guru akan [menggambar] tanda silang dengan spidol di baju atau jilbab. Begitu pula kemeja yang tidak menutupi pinggul akan dicoret,” ujar seorang perempuan yang diwawancarai oleh HWR, bercerita pengalamannya akan sistem skor di sebuah SMA Negeri di Solok, Sumatera Barat:
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Zakki Amali