tirto.id - Nama besar Honda dan Yamaha kembali terusik setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan kedua produsen sepeda motor tersebut ihwal penolakan terhadap keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam kasus kartel. Kedua pabrikan motor asal Negeri Matahari Terbit ini dinyatakan bersalah oleh KPPU terkait pengaturan harga yang merugikan konsumen untuk segmen skuter matik 110 – 125 cc di Indonesia 2012-2014.
Putusan MA ini tercantum di Nomor Register 217 K/PdtSus-KPPU/2019, pada 23 April 2019. Sebelumnya Yamaha dan Honda juga telah mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara pada 5 Desember 2017. Namun PN Jakarta Utara menolak upaya banding tersebut, dan memutuskan untuk menguatkan putusan KPPU.
Dengan mengacu pada putusan MA, artinya kedua pabrikan tersebut terbukti melakukan praktik kartel, sesuai dengan putusan sidang KPPU pada 20 Februari 2017. Pada sidang tersebut Yamaha dikenai denda Rp25 miliar, dan Honda Rp22,5 miliar.
Ahmad Muhibbuddin, General Manager Corporate Communication PT Astra Honda Motor (AHM), produsen motor Honda, menanggapi putusan MA dan menghormati putusan tersebut. Namun, pihak AHM mengklaim belum menerima salinan putusan MA. AHM tetap pada pendirian mereka, menolak telah melakukan kartel.
“Yang pasti kami menolak tuduhan KPPU telah melakukan kartel dengan mengatur harga dengan pesaing kami. Kami selama ini telah bersaing di pasar secara fair dan dalam persaingan yang fair ini mustahil terjadi pemufakatan untuk mengatur harga,” kata Muhibbuddin kepada Tirto.
“Fakta di pasar, kami bersaing ketat dengan terus mengeluarkan beragam model dan varian produk baru untuk memenuhi keinginan konsumen. Dan dalam menjalankan bisnis, kami selalu mematuhi perundangan yang berlaku dengan tidak merugikan konsumen,” tegasnya.
Sementara itu, pihak produsen motor Yamaha, melalui Public Relation Manager PTYamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM), Antonius Widiantoro, belum menjawab telepon maupun pesan yang dikirim Tirto saat dimintai tanggapannya.
Antara Denda Minim dan Narasi Buruk Citra
Putusan KPPU yang mengganjar denda maksimal Rp25 miliar kepada Honda dan Yamaha memang nilainya tak seberapa dengan perputaran uang triliunan rupiah dari hasil jualan sepeda motor matik kedua pabrikan tersebut.
Berdasarkan data penjualan sepanjang 2018 yang dirilis Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), Honda berhasil melego sebanyak 4.759.202 unit sepeda motor. Sekitar 80 persen atau sebanyak 3.807.361 unit merupakan skuter matik (skutik). Bila harga rata-rata sepeda motor matik Rp18 juta per unit, Honda mampu membukukan pendapatan Rp68 triliun dari penjualan motor matik saja.
Sedangkan Yamaha pada 2018 lalu berhasil menjual sebanyak 1.456.088 unit. Penjualan skutiknya sekitar 1.164.870 unit, bila dikalikan dengan rata-rata harga Rp18 juta, artinya Yamaha berhasil meraih penjualan sekitar Rp21 triliun dari motor matik.
Sudaryatmo, Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menilai jumlah denda yang dijatuhkan kepada Honda dan Yamaha kurang adil. “Jadi akan lebih fair kalau dendanya itu adalah presentase dari nilai keuntungan yang diperoleh secara tidak adil,” kata Sudaryatmo.
Namun, persoalannya pada UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, denda yang bisa diberikan memang maksimal Rp25 miliar. Pihak KPPU sudah lama mendesak ada perubahan nilai denda ini. Namun, revisi UU No 5 tahun 1999, masih sebatas masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas) bertahun-tahun di DPR.
Pihak AISI memilih bungkam saat dimintai tanggapan soal anggotanya yang terjerat kasus kartel harga sepeda motor matik setelah putusan MA. “Kami no comment dulu ya, masih sensitif soalnya,” ujar Hari Budianto, Sekretaris Jenderal AISI kepada Tirto.
Mantan Ketua Umum AISI, Gunadi Sindhuwinata, dalam laporan Tirto sebelumnya pernah mengatakan kasus kartel yang menjerat Yamaha dan Honda memengaruhi citra kedua merek tersebut di pasar global. Apalagi Honda, Yamaha, dan Suzuki adalah penopang ekspor sepeda motor di Indonesia.
“Pasti akan berpengaruh, kita itu kan ekspor, kalau dianggap ini harga tak benar bagaimana? Para prinsipal sangat menjunjung tinggi persaingan usaha,” kata Gunadi.
Namun, narasi semacam ini berkebalikan dengan data di atas kertas, ekspor sepeda motor Indonesia dalam tren terus tumbuh. Setidaknya data AISI berbicara, saat kasus kartel diputuskan KPPU pada 2017, ekspor sepeda motor tercatat 434.691 unit, dan pada 2018 malah naik pesat jadi 627.421 unit.
Di luar persoalan denda dan citra, ada yang paling krusial yaitu bagaimana sikap Honda dan Yamaha merespons putusan MA dengan melakukan perubahan perilaku. Sudaryatmo, Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mendesak Yamaha dan Honda segera menurunkan harga jual motor matiknya setelah putusan kasasi MA.
“Mestinya kan ada penurunan harga, kira-kira seperti itu. Sebab kasus ini kan berawal dari kenapa harga motor matik Yamaha dan Honda selalu beriringan, ternyata dari pembuktian KPPU itu harganya jauh di atas fair price,” katanya kepada Tirto.
Dengan adanya selisih harga antara fair price dengan banderol resmi yang dipatok Yamaha dan Honda, ia mengatakan tak hanya terjadi consumer lost, tapi juga excessive margin (keuntungan yang berlebih).
“Kartel itu indikasinya ada dua, pertama konsumen harus membayar di atas fair price, jadi harus ada mekanisme untuk konsumen menutup kerugian tadi. Bagaimana dengan konsumen yang sudah membeli di atas harga wajar?” katanya.
Namun, bila melihat putusan KPPU, memang tak ada kewajiban bagi Honda dan Yamaha untuk menurunkan harga. Sehingga keinginan YLKI agar harga sepeda motor bisa turun nampaknya bakal sulit terealisasi. Hukuman dengan denda minim masih jadi pekerjaan rumah untuk melawan kartel, karena yang penting adalah perubahan perilaku dari pelaku kartel.
Editor: Suhendra