tirto.id - Komedian Tukul Arwana dilarikan ke rumah sakit karena mengalami pendarahan otak dan telah menjalani operasi di RS Pusat Otak Nasional (RS PON), Cawang, Jakarta Timur.
Kabar sakitnya Tukul pun ramai dibahas oleh warganet karena Tukul baru saja menjalani vaksinasi COVID-19. Tukul Arwana menerima vaksin pada 18 September 2021.
Namun faktanya informasi tersebut tidak benar dan berita itu adalah hoaks.
Direktur Utama Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RS PON) Mursyid Bustami menegaskan, pendarahan otak yang dialami Tukul tidak ada kaitannya dengan vaksinasi COVID-19.
Menurut Mursyid, belum ada bukti ilmiah kuat dan valid yang menunjukkan bahwa ada kaitan antara pemberian vaksinasi COVID-19 dengan terjadinya pecahnya pembuluh darah hingga saat ini.
“Terkait adanya info bahwa vaksin berisiko menyebabkan stroke pendarahan otak, kami klarifikasi bahwa secara ilmiah pun tidak ada hubungan antara stroke pendarahan dengan vaksin COVID-19,” ujar Mursyid dalam Keterangan Persnya seperti dikutip situs resmi Kementerian Kesehatan, Senin (27/9/2021).
Kalaupun ada efek samping dari pemberian vaksinasi COVID-19, lanjutnya, sifatnya masih sangat ringan dan mudah diatasi seperti demam, nyeri, mengantuk, lapar dan lain-laim.
Efek ini pun biasanya tidak berlangsung lama, maksimal 2 hari setelah penyuntikan vaksin.
Ia menjelaskan, sekitar 20% orang yang mengalami stroke pendarahan disebabkan oleh adanya penyumbatan pada pembuluh darah di mana penyebab utamanya karena tingginya faktor risiko tertentu dan bukan disebabkan oleh vaksin COVID-19.
Faktor risiko dari stroke dan menjadi common respector di antaranya diabetes, hipertensi, pola makan yang buruk, merokok, obesitas, kurang aktivitas fisik, alkohol, dan narkotika.
“Kalau stroke pendarahan biasanya adalah penderita hipertensi. Yang terjadi adalah tidak kuatnya pembuluh darah menahan tekanan darah yang tinggi, sehingga terjadilah kebocoran,” kata Mursyid.
Mursyid lalu menyebutkan bahwa sebenarnya faktor risiko ada 2 yakni yang bisa dikendalikan dan tidak bisa dikendalikan.
Untuk faktor risiko yang bisa dikendalikan, jelas Mursyid, sebaiknya dicegah sedini mungkin agar tidak menjadi bom waktu ke depannya.
Upaya pencegahan yang bisa dilakukan adalah mulai menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Tidak melakukan aktivitas yang dapat menimbulkan masalah kesehatan di masa depan seperti merokok, konsumsi minuman beralkohol, batasi konsumsi gula, garam dan lemak.
Sementara untuk faktor risiko yang tidak bisa dikendalikan yakni umur, genetik jenis kelamin.
Untuk mengetahuinya sebaiknya melakukan cek kesehatan secara berkala untuk mengetahui riwayat kesehatan sehingga apabila ada kelainan dalam tubuh bisa diketahui dan diantisipasi sedini mungkin.
“Untuk mengetahui itu, maka dilakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari faktor risiko sehingga bisa kita kendalikan secepatnya,” pungkasnya.
Editor: Iswara N Raditya