tirto.id - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid merespons dan mengkritisi sikap pemerintah menahan 40 mantan karyawan Freeport yang melakukan aksi di depan Istana Negara, tadi malam (13/2/2019).
Menurut HNW, para mantan karyawan Freeport yang sudah jauh dari Papua dan berbulan-bulan menuntut haknya di Jakarta, ternyata mendapat jawaban dari pemerintah lewat penangkapan dan penahanan.
"Harusnya tidak begitu. Ketika Pemerintah Indonesia begitu bangga bisa mengambil 51 persen saham PT. Freeport, harusnya kebanggan ini juga tertular dari rekan-rekan kita pekerja PT. Freeport," kata HNW saat ditemui di kompleks DPR RI, Kamis (14/2/2019) siang.
HNW menilai seharusnya bentuk protes para mantan pekerja itu tidak direspons dengan ditangkap, tapi harusnya diterima dan dipahami permasalahan yang ada.
"Ya mereka maunya ketemu dengan presiden, demonya di istana jadi jelas alamatnya ke mana. Wajar saja harusnya presiden memberikan respons. Apalagi presiden selalu membanggakan bisa membeli 51 persen tapi nyatanya tidak dibalik defidennya sampai 2020," katanya.
Ia juga menilai penangkapan pihak kepolisian kepada mantan karyawan Freeport, yang kebanyakan adalah warga asli Papua, tidak menunjukkan sensitifitas kepada warga Papua. HNW menilai hal tersebut rentan menimbulkan separatisme.
"Mereka jauh-jauh loh dari Tembagapura atau Timika Papua datang ke Jakarta, untuk ke Jakarta ditangkap, jangan dong. Seharusnya rekan-rekan polisi ini Papua masalah sensitif. Jangan dari masalah ini kemudian membesarkan kelompok yang akan melakukan separatisme OPM," lanjut HNW.
Sejak Senin (4/2/2019) pekan lalu, sekitar 50 orang mantan karyawan PT Freeport Indonesia (PT FI) menginap dengan membangun tenda di depan Istana Negara, Jakarta Pusat. Di bawah tenda-tenda tersebut mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol. Kadang bermain gitar atau menonton film.
Namun, pada Rabu (13/2/2019) malam saat melakukan aksi ketika presiden ingin keluar dari Istana Negara, 40 orang mantan karyawan ditangkap dan ditahan di Polda Metro Jaya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Nur Hidayah Perwitasari