tirto.id - Usai magang di Google pada 2006, Paul Davison kembali ke kampus untuk menyelesaikan studinya di Stanford University. Lulus, Davidson lantas bekerja untuk Metaweb, startup yang menurut Dan Nosowitz dari Fast Company "sulit dijelaskan". Bagi kalangan awam, Metaweb merupakan startup "database online". Namun, secara teknis, startup ini memberikan layanan teknologi "untuk memahami kata dalam database". Makna "tahu" dalam "saya ingin tahu", misalnya, paling tidak mengandung dua arti berbeda. "Tahu" dapat berarti "keingintahuan" atau dapat pula merujuk pada makanan yang terbuat dari ampas kedelai. Metaweb mengurai kata/kalimat bermakna ganda dalam suatu database yang kian membesar.
Davison tidak bekerja sebagai juru teknik atau juru coding bagi startup ini, melainkan di bagian product partnership. Maka, tatkala Google membeli Metaweb pada 2010, Davison memilih hengkang, melepaskan kesempatan menjadi karyawan tetap Google, untuk bergabung dengan venture capital (VC) Metaweb, Benchmark. Sebagai salah satu VC tertua di Silicon Valley, Benckmark memiliki program bernama entrepreneurs-in-residence yang memberikan kesempatan bagi anak muda memahami dunia startup lebih dalam.
Sebagaimana dikisahkan Melia Russell dalam laporannya untuk Business Insider, keputusan Davison melepas kesempatan bekerja di Google dilakukan karena ia merasa "memiliki banyak ide (startup) di kepala". Melalui bantuan Benckmark, ide yang hinggap di kepala Davison itu berbuah menjadi startup bernama Highlight, aplikasi untuk mengirim notifikasi informasi lokasi (koordinat) pada teman.
Sial, Highlight gagal di pasaran. Tak menyerah, Davison lalu menciptakan Roll (semacam aplikasi kamera) dan Short (aplikasi untuk mengirimkan foto pada orang-orang di sekitar). Lagi-lagi, dua produk itu gagal. Pada 2016, Highlight (beserta Roll dan Short) akhirnya dijual ke Pinterest. Tak ingin menyandang status karyawan Pinterest, Davison lalu menjadi CEO CoinList, startup bursa uang kripto. Akhirnya kita tahu: gagal.
Beruntung, rentetan kegagalan yang menimpa Davison tidak dialaminya seorang sendiri. Rohan Seth pun mengalaminya. Hijrah dari India untuk bekerja selama lima tahun di Google, Seth resign pada 2012. Bekerjasama dengan mantan teknisi Microsoft bernama Rohan Dang, Seth membentuk Memry Labs, startup yang menciptakan berbagai aplikasi bertema sosial. Tercatat, dalam usia pendeknya (tiga tahun), Memry Labs merilis enam aplikasi berbeda. Nahas, kesemua aplikasi bikinan Memry Labs gagal di pasaran. Seth akhirnya harus merelakan menjual Memry Labs pada Opendoor yang sedikit lebih sukses.
Tentu, memperoleh kegagalan dari ide-ide yang coba direalisasikan sangat menyesakan dada. Bagi Seth sendiri, kesedihannya bertambah manakala buah hatinya, Lydia, lahir dengan mutasi genetik acak dalam DNA sehingga memiliki masalah fisik dan mental.
Tak ingin melihat putrinya menderita, Seth dan istrinya, Jennifer yang seorang karyawan Google, siang-malam membaca berbagai literatur terkait mutasi genetik. Tak ketinggalan, mereka sering menemui ilmuwan/dokter di bisang DNA. Kembali merujuk laporan Russell, sebagai tech savvy sekaligus pendiri startup, Seth mendirikan organisasi nirlaba, Lydian Accelerator, untuk mengadakan penelitian terkait mutasi genetik.
Suatu hari di musim gugur 2019, Davison menemui teman lamanya, Seth, yang membutuhkan bantuan untuk memproleh dana bagi Lydian Accelerator dari investor. Usai dana senilai USD 2 juta akhirnya diperoleh untuk Lydian Accelerator, Seth dan Davison sepakat bekerjasama menciptakan Clubhouse, sebuah startup yang, menurut Seth dan Davidson, bertujuan "membangun pengalaman sosial yang terasa lebih manusiawi, di mana alih-alih memposting, Anda dapat berkumpul dengan orang lain dan berbincang".
Clubhouse
"Ini adalah perubahan besar terkait cara jaringan sosial internet berkerja," tutur Dave Morin, pendiri Path (masing ingat?), tentang Clubhouse.
Clubhouse adalah media sosial baru di jagat maya. Facebook adalah tempat untuk membagi segala hal ke teman (Cambridge Analytica), Twitter adalah sarang adu mulut, dan Instagram adalah ruang pamer lewat foto. Clubhouse berbeda. Ia merupakan medium sosial di internet berbasis audio. Melalui aplikasi Clubhouse, yang baru tersedia hanya untuk iOS, pengguna dapat mengikuti forum-forum (room) yang mendiskusikan berbagai hal, mulai dari politik, startup, teknologi, film, buku, bitcoin, investasi, rahasia wirausaha, bitcoin lagi, investasi lagi, rahasia wirausaha lagi, hingga obrolan tidak jelas.
Jika Anda belum sempat menggunakannya--karena media sosial ini masih dalam tahap beta dan baru mengizinkan pendaftaran melalui undangan--Clubhouse mirip webinar di Zoom minus video. Atau, Cloubhouse pun dapat dianggap sebagai podcast--tanpa perbincangan yang telah diatur (scripted). Karena Clubhouse memiliki berbagai forum perbincangan, media sosial ini pun dapat diimajinasikan sebagai Reddit versi audio.
Sajian utama Clubhouse merupakan forum-forum yang mendiskusikan berbagai tema. Namun, jika Facebook dan Twitter membiarkan siapapun berinteraksi, Clubhouse sebaliknya. Pada forum-forum yang digelar, Anda, yang kemungkinan orang biasa-biasa saja, hanya menjadi pendengar. Di sisi lain, ada pihak yang tenar--hingga sedikit tenar (atau mengaku tenar)--atau praktisi yang menjadi pembicara. Nama-nama tenar yang telah bergabung dan berbicara di Clubhouse adalah Elon Musk, Mark Zuckerberg, Marc Andreessen, Ben Horowitz, Mark Cuban (ketiganya merupakan investor terkemuka di Silicon Valley), Drake, hingga Tony Fernandes (bos Air Asia). Di Indonesia, ada nama Joko Anwar, Fajar Nugros, Winston Utomo (IDN Media), Kevin Aluwi (co-founder Gojek), Sandiaga Uno, hingga Ridwan Kamil. Dalam setiap forum yang digelar, Clubhouse mengharuskan adanya moderator.
Interaksi dari pendengar hanya dapat dilakukan jika si pendengar angkat tangan dan moderator mengizinkan.
Karena banyak tokoh tenar menggunakan Clubhouse, aplikasi ini meroket. Pada Mei 2020, Clubhouse hanya memiliki 600.000 pengguna. Kini jutaan orang telah bergabung dan VC berbondong-bondong memberi modal. Clubhouse hari ini memiliki valuasi hingga USD 1 miliar.
Tentu, sebagai media sosial, pengguna biasa-biasa saja seperti saya dan Anda pun dapat membuat forum obrolan sendiri. Jika forum hendak dibuka untuk publik, harus ada yang menjadi moderator. Jika obrolan hanya tertutup untuk teman semata, bebas.
Sudah satu tahun kita diberondong undangan konferensi pers dan webinar yang digelar di Zoom. Pada titik itu Clubhouse bisa melelahkan. Yang terjadi adalah obrolan ngalor-ngidul tanpa kejelasan akhir (dan inti perbincangan), meskipun pengguna sangat mudah untuk meninggalkan obrolan. Tak ketinggalan, interaksi antara pembicara dan pendengar terasa kurang. Jika Anda selektif memilih mana kanal yang di-subscribe, Youtube masih terlalu menyenangkan untuk menghabiskan waktu di dunia maya.
Lalu, apakah Clubhouse aman?
Jika pertanyaan ini diajukan kepada pemerintah Cina, maka jawabannya adalah tidak. Sejak awal Februari lalu, Beijing memblokir Clubhouse karena memuat forum tentang Uighur. Terkait keamanan dari sisi teknis aplikasi, Sara Morrison dari Recode menyebut Clubhouse meminta penggunanya untuk dapat mengakses kontak. Ketika akses kontak diberikan, Clubhouse akan mengambil alih daftar kontak dan menautkan si pemberi akses dengan orang yang ada di daftar kontak yang juga telah bergabung. Fitur ini, bagi Morrison, mengancam privasi. Terlebih, Clubhouse tidak membeberkan secara gambang kebijakannya terkait penggunaan data pengguna.
Tapi, siapa peduli?
GetContact, aplikasi yang meminta "akses Kontak dan memodifikasinya," misalnya, populer di Indonesia dan duduk di posisi ke-18 sebagai aplikasi terpopuler di Google Play. Di sisi lain, Eszter Hargittai, dalam studinya bertajuk "'What Can I Really Do?' Explaining the Privacy Paradox with Online Apathy" (2016), menyebut bahwa kemungkinan besar masyarakat memang tidak akan peduli informasi dirinya dikonversi semena-mena untuk kepentingan perusahaan, meskipun umumnya mereka tahu bahwa data diri dan privasi merupakan barang berharga.
Inilah privacy paradox alias paradoks privasi. Dengan salah satu alasannya bahwa aplikasi dapat digunakan secara gratis, dan layannya menyenangkan, masyarakat maya tak berpikir berulangkali ketika mereka membagi nama asli, tanggal lahir, hingga orientasi politik. Dan dalam studi berjudul "Automated Analysis of Privacy Requirements for Mobile Apps" yang terbit pada jurnal Internet Society edisi 2017, Sebastian Zimmeck menyebut bahwa 71 persen dari 17.991 aplikasi yang bertebaran di dunia maya tidak memiliki kebijakan privasi yang jelas. Dan dari 9.050 aplikasi yang memiliki kebijakan privasi yang jelas, Zimmeck mengklaim menemukan banyak inkonsistensi antara apa yang dinyatakan oleh aplikasi dan fungsi kode aplikasi tersebut.
Editor: Windu Jusuf